Chapter 10. Drowned in revenge

170 9 0
                                    

Brielle Bryson.
- Datanglah ke rumahku untuk sekedar meminum teh atau kopi bersama.

Sudah dua hari sepulang dari London, dan baru sekarang Brielle mengirim pesan pada Grayson di pagi hari. Tidak mendapat respons Brielle meninggalkan ponselnya di meja makan lalu kakinya melangkah menuju meja bar, di atas meja sana terdapat bungkus rokok yang masih tersegel rapi. Itu pasti milik Raphael.

Melihat bungkus tersebut selalu saja ada terbesit rasa ingin mencobanya, menghisap batang nikotin yang kata orang-orang mampu membuat pikiran tenang sesaat atau mampu melampiaskan masalah. Tapi apa boleh buat Brielle sama sekali tak bisa berhadapan dengan asap karena asma sialannya bisa kambuh kapan pun itu. Dan kalau sampai asmanya kambuh hingga melayangkan nyawa sebelum Brielle membunuh Grayson atau membalaskan dendam pada Valen... Brielle akan bangkit menjadi arwah penasaran yang luar biasa penasaran.

Brielle akan menjadi hantu yang ditakuti seluruh manusia.

"Nona Brielle, kau membutuhkan sesuatu?"

Brielle melirik ke belakang melihat seorang koki yang biasa memasak di sini. "Tidak, aku ingin membuat minum aku bisa melakukannya sendiri."

"Baik nona."

Sepeninggalnya koki itu sekarang Raphael datang membawa kabar, sambil membuka kulkas mengambil kaleng bir Brielle menajamkan pendengarnya.

"Tiket pesawat sudah aku pesan, aku juga sudah menghubungi Rickon untuk menjemput kita lusa dan sudah menyuruh Henne mengatur ulang jadwalmu."

Brielle mengangguk-angguk kecil sekarang ia mencapai meja makan, mengambil ponselnya dan melihat kalau pesannya sudah dibalas oleh Grayson. Pria itu menerima ajakkan Brielle dan akan datang ke rumah Brielle sore nanti, senyum manis yang tipis seketika terbit di bibir Brielle.

Beralih dari balasan pesan Grayson layar ponsel kini berubah menampilkan panggilan masuk dari kontak bernama 'Uncle Hans' sambil berjalan menuju kamarnya Brielle menerima panggilan tersebut.

"Kenapa cepat-cepat ingin pulang? Apa keinginanmu sudah tercapai?" Suara menggebu-gebu uncle Hans seketika menggelegar saat panggilan tersambung.

Brielle terkekeh pelan. "Sebentar lagi paman, semua pasti berjalan sesuai yang aku mau."

"Yang kau mau Gray mati agar Valen menderita sepertimu. Kau mau mengajak Valen menderita berjamaah."

Masuk ke dalam kamar Brielle menutup pintunya dengan keras lalu tangannya yang bebas maju-maju ke depan menunjuk-nunjuk melampiaskan ucapannya. "Kalau aku mau Gray mati aku bisa langsung penggal kepalanya, aku mau Grayson ikut menderita, kesakitan, lalu mati."

Suara helaan nafas gusar terdengar di seberang sana. "Aku tahu kau pasti akan bosan dengan ucapanku yang ini tapi, semua tindak tanduk yang kita lakukan pasti akan membuahkan hasil, tindakan kau yang buruk pasti akan berakhir buruk juga. Karma itu nyata--"

"Kalau karma itu nyata kenapa sampai sekarang Valen masih bahagia, Gray, Ellis.. mereka menari-menari di atas tangisku setiap malam. Valen memiliki keluarga bahagia sedangkan aku... bahkan sejak aku lahir aku tak memiliki kenangan dengan orang tuaku sendiri. Di saat anak-anak pergi ke sekolah diantar oleh ayah, mama, kakek, nenek, kakak, aku malah diantar oleh kau. Setiap rumah yang kumasuki memiliki foto keluarga yang tercetak besar tapi aku. Aku iri dengan mereka dan benci pada Hugo yang menyebabkan ini semua."

Ingin Hans menjawab ‘Kamu terlalu banyak drama Brielle’ tapi ia takut diamuk Brielle.

"Brielle--"

"Grayson mendapatkan apa yang aku tidak dapatkan. Kita memiliki ayah yang sama tapi aku mendapat takdir buruk. Aku tak mau Grayson terus berbahagia dengan segala kasih sayang di dunia ini."

"Lakukanlah apa yang kau inginkan, buang batu besar yang selama ini mengganjal di hatimu. Sudah ya aku matikan, aku harus mengunjungi makam ibumu."

Suara panggilan telepon yang terputus membuat Brielle melempar ponselnya ke atas kasur. Sesuatu di hati bergejolak karena membahas masa lalu. Entah sampai kapan, dan kapan tepatnya letupan campur aduk di hatinya hilang berganti kebahagiaan. Namun sepertinya itu tak akan hilang, apa yang namanya kebahagiaan telah dikubur bersama manusia cantik bernama Jessi.

...

Menjelang sore Brielle diberitahukan kalau Grayson sudah datang ke rumahnya. Sebelum keluar kamar Brielle menyempatkan diri bercermin melihat penampilannya yang santai, celana jeans pendek dan atasan kemeja hitam satin dengan tiga kancing kemeja atasnya terbuka membuat bra hitamnya mengintip bersamaan dengan buah dadanya.

Keluar kamar menuju ruang tamu Brielle melihat Grayson yang berdiri lalu menyerahkan paper bag berisi dua botol red wine.

"Aku mengambilnya dari rumahku, mungkin kau akan suka."

Itu ucapan Grayson tadi saat dia menyerahkan alkohol yang Brielle rasa bukan sembarang alkohol.

Mencari tempat nyaman untuk duduk menikmati sore Brielle mengajak Gray singgah di pantry di belakang rumah yang memiliki sport menarik. Dindingnya terbuat dari kaca yang mengarah ke taman, kitchen island panjang dan lebar difungsikan sebagai meja makan, kulkas besar, lemari penuh piring dan gelas, serta laci-laci didinding di atas kitchen sink.

Dua gela kopi panas Brielle buat, satunya dia hidangkan untuk Grayson dan satunya lagi Brielle bawa ke kursi yang berhadapan dengan Grayson. Asapnya mengepul harum bahkan Grayson sampai menghirupnya beberapa kali.

Alih-alih merasa takut kalau niatnya meracuni Gray diketahui Brielle malah tertawa pelan. "Aku akan kembali ke negaraku lusa."

Gelas yang sudah diracuni kini tertempel pada bibir Grayson, pria itu meneguk minumnya sambil menatap Brielle dalam-dalam. "Cepat sekali, urusanmu sudah selesai di sini?"

"Yeah, seperti itulah. Aku percaya padamu, untuk masalah kerja sama kita ke depannya tolong beritahu saja Raphael."

"Seharusnya aku membawa sesuatu yang berkesan untukmu."

"Tidak perlu, karena aku sudah memberikan sesuatu yang berkesan untukmu. Maksudku, selama aku di sini kau sudah membuatku terkesan."

Walau pun Brielle merasa tenang tapi tetap saja, jantungnya sesekali berdetak kencang dan hatinya bergejolak. Merasa takut, senang, juga salah tingkah. Mendekati jam tujuh malam Grayson belum juga pulang dan hal itu membuat Brielle kesal bukan main, bahkan Brielle sampai harus mengusir Grayson.

"Kau sudah terlalu lama di rumahku, sebaiknya kau pulang. Aku miliki banyak urusan yang harus aku kerjakan."

Setelah mengatakan itu Grayson bergegas pergi pria itu tidak marah atau tersinggung dengan usiran Brielle. Selang beberapa menit kepergian Grayson sekarang si pemilik rumah ikut pergi. Brielle membawa Civic putih milik Raphael seorang diri untuk jalan-jalan melintasi jembatan Brooklyn yang terkenal, setelah melintasi jembatan mobil tersebut Brielle parkirkan di pinggir jalan yang tidak terlalu ramai.

Jalan kaki di langit gelap seorang diri dan hanya ditemani angin dingin tidak membuat Brielle merasa takut. Kakinya dengan mudah terus berjalan mendekati bawah jembatan sampai akhirnya Brielle benar-benar berada di bawah jembatan yang memiliki lampu remang-remang. Tak jauh dari tempat Brielle ada sekumpulan pria yang tengah mabuk-mabukan lalu ada juga gelandangan yang sedang makan.

Suara air mengalir terasa nyaring di telinga Brielle. Ponsel BlackBerry miliknya semasa remaja Brielle keluarkan dari saku celananya. Kedua tangan Brielle bergerak-gerak di atas ponsel lama tersebut sampai akhirnya ponsel itu Brielle lempar tenggelam ke dalam air.

"Kuharap masa depanmu seperti itu Valen, tenggelam." Bola mata Brielle benar-benar penuh dengan api dendam yang berkobar.

---

To be Continued...

UnbelievableOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz