Chapter 14. Isolated

116 7 0
                                    

Mobil Ferrari putih diikuti Jeep Wrangler berhenti di pintu belakang sebuah bar di pemukiman Harlem. Seorang pria berbadan besar yang berdiri di pintu bar membukakan pintu mobil Grayson. Saat Grayson keluar sekitar empat anak buahnya di mobil lain ikut keluar. Grayson memasuki bar yang bukan bar berkelas, beberapa bartender yang bertebaran sontak melihat pada Gray apa lagi dayang-dayang di belakangnya.

"Tuan Grayson, Pater dan para Algojomu sudah menunggu di dalam." Wanita berpakaian seksi sedang bersandar pada pintu bertuliskan 'No entry without permission' berucap dikala Gray berhenti di hadapannya. Wanita itu berjalan meninggalkan Gray namun dia menyempatkan memberi elusan manja serta kerlingan mata pada salah satu anak buah Grayson.

Pintu kayu tersebut dibukakan oleh anak buah Gray, beberapa orang di dalam segera menunduk singkat menyapa Gray.

"Tuan anak buahku berhasil menemukan Greta, perawat yang berada di dalam ambulans bersama nona Brielle." Ucap Arlo lantas dengan satu tangannya dia mengkode seorang pria untuk memperlihatkan wajah Greta. "Greta Yoris membawa nona Brielle ke Seattle."

Wanita itu ditarik rambut sebahunya agar kepalanya mendongkak, wajah yang memerah dapat Gray lihat apa lagi sudut bibirnya yang berdarah. Greta pasti memberontak sampai harus melakukan kekerasan fisik.

"Namun sayang Greta tidak tahu pasti ke mana nona Brielle dibawa." Ucap Arlo lagi.

"Baiklah." Grayson mendekati Greta sampai ia bisa mendengar isak tangis wanita itu yang lirih sambil bergumam.

"Lepaskan aku."

"Apa yang kau tahu soal Brielle?" Grayson menunduk satu tangannya menyentuh dagu Greta.

"Aku.. aku tidak tahu. Aku hanya perawat yang ditugaskan di dalam ambulans." Grayson memejamkan matanya lalu Greta kembali berucap.

"Yang aku tahu... pasien di ambulans akan dibawa, ke Seattle--"

"Oleh siapa?"

Mendengar suara Grayson yang pelan, berat, dan seolah dingin membuat Greta semakin terisak.

"Oleh siapa?" Grayson kembali bertanya.

"Tuan.. tuan Sean Adaku."

Saat itu juga Grayson menyentak dagu Greta dan berjalan mundur beberapa langkah. Arlo mendekati Gray, "Sean Adaku dia pelukis terkenal, putra bungsu dari Jordan Adaku."

Grayson menyentuh lehernya dan menggerakkannya ke kanan kiri meregangkan otot yang kaku. "Suruh semua anak buahmu mencari Brielle di Seattle, beritahu aku jika ada kemajuan." Grayson melirik Peter yang berdiri diam saja sejak tadi, dengan lirikan matanya Peter sudah tahu kalau dia harus mengikuti Gray.

Seiring kaki Grayson, Peter, dan empat anak buahnya menjauh suara tembakan dan jeritan memilukan terdengar samar-samar. Greta di dalam ruangan mendapat ajal begitu cepat dengan ditembak mati, mengenaskan namun mau bagaimana lagi... wanita itu bisa saja menjadi berbahaya jika dibiarkan hidup. Bisa saja Greta mengadukan ini pada polisi atau media walau itu tidak akan membuat Gray masuk penjara namun itu bisa membuat Gray muak dengan berita di mana-mana, lebih parahnya jika Greta tetap hidup wanita itu akan mengadukannya pada sosok Sean yang entah siapa.

...

Setelah pertengkaran kecil di siang hari itu sampai malam ini Brielle belum bertemu lagi dengan Sean. Brielle diam di kamar seharian jikalau lapar Brielle akan meminta seseorang membawakannya makan dan dikala bosan Brielle akan bertanya pada pelayan atau siapa pun itu mengenai di mana ia berada. Saat merasa haus dan bosan menjadi satu Brielle mendekat pada telepon rumah yang langsung tersambung pada bagian dapur.

"Bisakah buatkan aku minum, bawa ke kamarku."

Mendapat jawaban 'Baik nona' Brielle segera kembali duduk di sofa. Menunggu manis kehadiran pelayan yang pastinya dalam hati mereka mengumpati kesal atas ulahnya. Ditunggu punya tunggu akhirnya Mariana datang, senyum cerah milik Brielle menyambut Mariana yang menaruh segelas teh lemon.

"Aku di mana? Kau sudah berubah pikiran untuk memberitahu keberadaanku." Pertanyaan itu langsung terlontar untuk Mariana.

Marian hanya diam berdiri tanpa mau membuka suaranya.

"Kau begitu patuh rupanya. Baiklah kalau begitu di mana Sean."

"Tuan Sean berada di taman belakang."

"Baiklah aku akan menyusulnya." Brielle merampas gelas minumnya lalu berjalan keluar meninggalkan Mariana.

Malam-malam seperti ini keadaan rumah Sean terasa lebih bagus. Entahlah intinya lampu-lampu yang menghiasi rumah begitu cantik, lampu gantung, lampu yang tertempel di dinding, serta beberapa lampu yang menyorot pada lukisan besar-besar. Apa pekerjaan Sean? Lukisan-lukisan besar ini pasti berharga fantastis.

Selain lukisan terdapat pula patung beragam jenis ukuran menghiasi sudut-sudut rumah. Sampai di taman belakang Brielle melihat Gazebo segi delapan yang cukup besar tengah menampung Sean. Sean sedang sibuk melukis pada kanvas yang disanggah menggunakan Easel, di tangan kananya terdapat palet sedangkan tangan kirinya membawa kuas.

Pria itu menggunakan tangan kirinya.

"Kau pandai melukis, pasti wanita yang kau culik sebelum-sebelumnya kau lukis juga." Cetus Brielle yang melihat hasil lukisan Sean, gelas teh yang dia bawa ditaruh pada meja penuh beragam jenis cat. "Siapa wanita itu?" Kening Brielle mengerut melihat seorang wanita yang dilukis Sean, cantik dengan surai panjang serta senyuman manis. Rambutnya pirang, matanya biru.

"Ibuku. Terima kasih pujianmu."

Brielle menyeringai melihat cat biru mengotori wajah Sean. "Itu bukan pujian itu hinaan." Menepuk beberapa kali bahu Sean lalu wanita itu berjalan ke sisi lain guna memandangi Gazebo. Langit-langitnya dihiasi lampu-lampu berbentuk bunga yang menjuntai ke bawah membuat kesan Gazebo ini dipenuhi bunga.

"Di mana aku?" Sekian menit menatap kagum pada suasana Gazebo sekarang Brielle mulai bertanya, pertanyaan yang selalu sama. "Aku bagai alien yang jatuh ke bumi tanpa tahu tentang apa pun, sampai kapan kau menyekapku di sini-"

"Kau bebas mengeliling rumahku, hanya saja kau tidak boleh keluar dari rumah ini. Dunia luar sangat berbahaya."

Brielle tertawa pelan ia sekarang bukan mirip Alien lagi melainkan mirip dengan kisah dongeng dari Jerman berjudul Rapunzel. Disekap ibu tiri dengan alasan dunia luar berbahaya.

Berengsek!

"Brielle, aku mengenalmu lebih dari dirimu sendiri."

"Omong kosong semakin lama aku di sini semakin gila kau buat, berengsek. Kalau kau tidak bisa memberitahu keberadaanku biarkan aku sendiri yang mencari tahunya."

Rencana untuk kabur dilain hari sudah tidak bisa Brielle tunda lagi, apa pun hasilnya Brielle terima. Kakinya berjalan menjauh dari Gazebo dengan tergesa-gesa namun belum terlalu jauh tangannya sudah dicekal oleh Sean. Pria itu menatap tajam Brielle dan Brielle secara refleks menampar wajah Sean.

"Bajingan aku tidak tahu apa rencanamu dengan menyekapku seperti ini. Aku tidak mengenalmu! Dan aku berhak tahu di mana aku berada."

Cengkeraman Sean semakin keras dan ekspresi pria itu juga sama semakin keras, emosi sepertinya sudah membara di hati Sean. Brielle sama sekali tidak takut yang ada di kepalanya hanya satu lari.

"Lepaskan aku berengsek."

"Kau tidak tahu seberapa bahayanya dunia--"

Plak!

Lagi Brielle menampar wajah Sean karena telinganya sudah panas mendengar omong kosong pria itu, saat mulut Brielle terbuka hendak melontarkan umpatan kasar tanpa diduga Sean mencekiknya. Sangat keras.

"Kau ingin mati di luar sana, nyawamu terancam." Sean berdesis pelan.

Brielle memukul-mukul tubuh Sean sebisanya agar cekikan yang membuatnya tidak bisa bernafas terlepas. Demi tuhan Brielle tidak mau mati konyol hanya karena dicekik oleh pria yang ia tidak kenal apa lagi mati di tempat yang Brielle tidak ketahui. Semakin lama Brielle semakin sulit bernafas di saat nyawanya berada diujung tanduk Sean melepas cekikannya membuat Brielle seketika terjatuh lemas ke tanah dengan nafas yang tersengal-sengal.

Berengsek kau Sean! Aku akan membunuhmu!

Sean berlutut, menyentuh kepala Brielle atau lebih tepatnya mengelus surai hitam Brielle. "When your world is safe, I will let you fly like a bird wherever you want."

---

To be Continued..

UnbelievableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang