Chapter 13. Aliens

118 7 0
                                    

Bertemu dengan Sean di pagi ini untuk kedua kalinya membuat Brielle menyadari satu hal kalau aroma parfum Sean sangat kental dengan aroma leather.

Grayson, Sean, siapa diantara kedua pria itu yang berada di club saat Brielle mabuk atau tidak keduanya.

Duduk bersama Sean di meja makan panjang menikmati menu sarapan yang berbeda dari Sean. Brielle memilih untuk sarapan dengan sereal ketimbang masakan yang sudah dimasak oleh koki berupa Älplermagronen menu khas dari Swiss. Sambil makan Sean terus saja bertanya bagaimana kondisinya, masih pusing, atau ada rasa nyeri di tubuh, dan lain-lainnya. Sean juga bertanya apa Brielle ingin berjalan-jalan sekitar rumah untuk memulihkan rasa traumanya, Sean terus saja bertanya sampai Brielle harus mengancam pria itu.

"Sekali lagi kau bertanya aku pastikan sendok ini menancap di matamu."

Mendengar ancaman Brielle, Sean terkekeh.

Gila! Brielle harus segera lari dari rumah ini.

"Sean siapa kau? Di mana aku? Di mana semua barang-barangku?" Setelah membiarkan Sean terus bertanya kini saatnya Brielle yang bertanya.

Namun balasan Sean membuat emosi Brielle terguncang.

"Di rumahku, tempat paling aman. Rumah Sean. Soal barang-barangmu semua hilang mungkin dicuri."

Brielle tak bodoh kalau ucapan Sean adalah omong kosong, namun saat ini Brielle memilih mengalah mungkin besok atau nanti siang Brielle akan memberontak.

Selesai sarapan Brielle kembali ke kamar diantar salah seorang penjaga, sambil berjalan menuju tujuan mata Brielle melirik ke sana sini melihat situasi rumah yang tidak terlalu ramai. Brielle yakin jika dirinya ingin berlari mencari pintu keluar, Brielle pasti akan langsung menemukannya namun kakinya belum sanggup berlari.

Di dalam kamar Brielle duduk di lantai menghadap jendela, matanya menatap ke depan dan Brielle baru menyadari kalau dari rumah Sean menuju rumah tetangga di sebelah sana jaraknya cukup jauh. Rumah ini dikelilingi pohon dan jalan raya yang sepi.

Ternyata bukan Grayson yang membawanya ke sini.

Dan sampai saat ini Brielle masih belum tahu ia berada di mana. Brielle seperti alien yang jatuh ke bumi.

"Apa Raphael akan mencariku." Brielle bergumam pelan, matanya menatap pantulan wajahnya dan seketika kepalanya menggeleng.

"Aku harus keluar dari rumah ini sendiri."

Wanita itu mulai bangkit berdiri dan berkacak pinggang, perlahan Brielle menggerakkan kakinya seolah sedang latihan untuk lari maraton. Tapi Brielle tidak bisa kabur dari rumah ini tepat hari ini karena kemungkinan besar kalau Brielle lakukan itu Sean pasti akan menangkapnya.

Setidaknya Brielle harus tahu dulu ia berada di mana, di New York, California, Texas, atau sudah di luar Amerika.

"Mari kita bicara dengan Sean."

Selain mencari tahu soal keberadaannya Brielle juga penasaran soal bagaimana Sean mengenalnya.

Semua begitu misterius.

Berjalan keluar Brielle mengitari seluk-beluk rumah Sean. Dari ruang keluarga, ruang tamu, kamar-kamar, ruang kerja, dan dapur. Saat mengitari rumah ini Brielle melihat beberapa pria berdiri di sudut-sudut tertentu, tidak banyak mungkin sekitar lima atau enam orang. Memasuki dapur Brielle menemukan Sean sedang berdiri membelakanginya dia berdiri didepan kulkas besar yang terbuka.

"Kau akan memasak?" Spontan Brielle bertanya.

Sean menoleh. "Tidak, aku sedang melihat-lihat apa isi lemari es kesayanganku ada yang kurang atau tidak."

Semakin mendekati Sean aroma leather semakin tercium segar. "Sean, dari mana kau mengenalku?"

Pertanyaan berbobot.

Masih belum mendapat respons Brielle menutup satu pintu lemari es dan bersandar pada pintu itu. Sean menatapnya, pria itu tersenyum manis.

"Sudah aku katakan anggap saja aku malaikat penolongmu."

"Di mana aku?"

"Di rumahku, kau aman di sini."

Berengsek, emosi Brielle rasanya terombang-ambing ingin meledak namun sekuat tenaga Brielle menahannya. Brielle tersenyum, "Perkenalkan dirimu."

"Aku Sean Jo Adaku."

"Fuck you Sean, answer my question correctly." Brielle berdesis pelan sedangkan Sean terkekeh. "Aku bisa bertindak gila, katakan di mana aku?"

"Di luar sana sangat bahaya Brielle, nyawamu terancam oleh predator yang tidak kau ketahui."

"Predator yang tidak aku ketahui adalah dirimu."

Sean menutup pintu kulkas satunya, tangannya terangkat hendak menyentuh rambut Brielle tapi wanita itu menjauh. "Percayalah padaku, di sini tempat paling aman. Lambat-laun kau akan mendapat jawaban atas pertanyaanmu." Sean mendekati Brielle sampai akhirnya dia bisa mengelus halus surai Brielle.

...

"ARGH BERENGSEK! SIALAN!"

Itu umpatan kasar yang keras dari Raphael saat tangannya yang dibalut Arm sling tersenggol oleh Gio yang membantunya memasangkan kemeja. Tatapan tajam segera Raphael berikan pada pria itu.

"Setelah ini aku yang akan membuat lenganmu patah!"

Gio memutar malas matanya dan dengan jahat pria itu sengaja menyenggol lengan Raphael sampai pria itu kembali mengumpat. "Entah kapan tanganmu akan pulih." Sindir Gio.

Hendak kembali menyahuti Gio namun semua itu diurungkan karena pintu kamar inap Raphael terbuka. Tampak Grayson, Nathan, serta tuan Valen memasuki kamar. Melihat Nathan mampu berjalan cukup baik walau wajahnya masih buruk dengan luka lecet dan memar membuat Raphael kesal.

"Selamat pagi tuan Raphael." Sapa Valen.

Raphael mengangguk sekilas pada Valen dan kembali menatap tajam Nathan. "Sialan kau Nathan, kau yang membawa mobil namun aku yang terluka parah."

Raphael rasa tuhan seolah lebih sayang pada Nathan ketimbang dia dan Brielle. Dalam kecelakaan tragis itu bisa-bisanya seorang Nathan sama sekali tidak terluka parah atau patah tulang sepertinya. Natha baik-baik saja hanya luka lecet dan memar di tubuh.

"Kau, kau lupa bahwa kakiku dijahit huh! Pergelangan tanganku juga terkilir.” Balas Nathan.

"Raphael." Panggilan Grayson membuat Raphael menutup mulutnya. "Kau sungguh tidak tahu apa Brielle memiliki seseorang di Seattle?"

"Demi tuhan aku tidak tahu." Raphael merampas jas di atas ranjang pasien, memakai jas berwarna coklat tua di satu lengannya.

"Aku masih belum mendapat petunjuk apa pun soal keberadaan Brielle." Ucap Grayson.

Raphael menghela nafasnya lalu duduk dipinggir ranjang sambil menatap Grayson. "Apa nona Brielle sungguh di Seattle?"

Hendak kembali bersuara namun getaran di ponselnya membuat Grayson lebih memilih melihat siapa yang mengirimnya pesan. Sedangkan itu Valen mulai berucap, bertanya-tanya bagaimana kondisi Raphael.

Saat membuka pesan itu Grayson bangkit dari duduknya berjalan menjauh menuju jendela. Peter mengirim sebuah foto seorang wanita yang diikat di kursi, wanita itu mengenakan pakaian putih yang tampaknya seorang perawat.

Peter
- Tuan bisakah kau temui aku malam ini, seorang perawat bernama Greta mengetahui keberadaan Brielle.

---

To be Continued..

UnbelievableWhere stories live. Discover now