Chapter 8. Something like that

183 9 3
                                    

Brielle menopang kepalanya dengan tangan kiri dan tangan kananya menuangkan botol minum wiski ke dalam gelas rock berisi es batu. Rambunya Brielle kibaskan ke belakang lalu ia meneguk minumnya yang dingin, segar, dan memabukkan. Kembali lagi Brielle menuangkan wiski ke dalam gelas dan meminumnya.

Sudah ada satu botol wiski yang kosong di atas meja makan tapi Brielle masih saja belum puas. Saat mata Brielle terbuka dengan sialan bayang-bayang wajah Grayson tampak tersenyum memenuhi kepalanya.

Brak!

"Berengsek!" Brielle menjerit bersamaan dengan tangannya menggebrak meja.

Sekarang Brielle bukan lagi menuangkan wiski pada gelas melainkan meminumnya secara langsung dari botol sampai habis lalu melemparnya ke lantai dan pecah berkeping-keping. Suaranya pecahannya begitu nyaring menggema di dapur yang sepi tengah malam seperti ini.

"Bajingan, kau tak boleh jatuh cinta Brielle. Pada pria dari keluarga busuk seperti itu."

"Argh!"

Brielle kembali menjatuhkan botol wiski satunya dan menangis tertunduk.

"Mama, aku merindukanmu."

Brielle melipat tangannya di atas meja menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan, matanya perlahan terpejam dan membawa raga wanita itu ke dalam mimpi.

Aku membawa nampan penuh berisi roti, buah, susu, dan kopi. Kakiku melangkahkan menuju kamar mama, saat aku masuk aku melihat mama duduk di kursi depan jendela yang masih tertutup tirai.

"Good morning, mama. Bagaimana tidur mama?"

Aku menaruh nampan di meja dan membuka tirai membuat sinar matahari pagi langsung menghangatkan kamar mama yang luas dan bersih ini. Aku menarik meja yang tadi mendekat pada mama, segelas susu coklat aku berikan pada mama yang masih saja menatap kosong ke depan.

"Mama, kali ini aku membuat susu coklat. Mama mau meminumnya?" Suaraku begitu lembut mengalun.

Mama tak merespons.

"Atau mama mau meminum kopiku?"

Masih saja mama diam, hatiku mulai berdenyut sakit.

"Bagaimana dengan buah apel. Mama mau?"

Lagi mama tak merespons, aku mendesah lirih. Sekarang aku mulai duduk di lantai, menaruh kepalaku di paha mama berharap tangan hangat mama mengelus kepalaku bukan menjambaknya seperti kemarin-kemarin.

Aku memejamkan mata dan bulir air mataku langsung mengalir. Aku mudah menangis jika membawa persoalan mama, hatiku tidak sekuat itu.

"Mama, kita tak punya foto bersama. Apa mama mau berfoto denganku, aku akan meminta Raphael menyiapkan kamera."

Mama tetaplah mama yang diam bagaikan patung. Mulutnya seolah terkunci rapat.

"Mama, bisakah mama memanggil namaku. Aku ingin mendengarnya, sekali saja. Mama tak mau berbagi masalah denganku tapi setidaknya aku mohon mama mau memanggil namaku."

Aku sungguh terisak tapi sekarang aku buru-buru menghapus air mataku dan mengangkat kepalaku, di sini bukan aku yang hanya terluka tapi juga mama. Aku mengambil tangan mama, menggenggamnya dan merasakan kalau tangan mama terasa kering.

"Apa suhu AC-nya terlalu dingin mama?"

Aku berjalan menuju laci mengambil pelembab tubuh dan kembali duduk di lantai sambil mengoleskan pelembab ke tangan mama.

"Hari ini aku akan melihat tanah yang sudah Raphael beli di Adelaide, aku akan membuka perkebunan baru di sana. Hari ini juga aku akan membantu paman Hans mengirim buah ke beberapa panti asuhan."

UnbelievableWhere stories live. Discover now