Bab 1. Satu Tahun

2.3K 40 1
                                    

Semua orang tampak sibuk menyambut ramadhan tahun ini dengan mengadakan acara doa di pesantren Al-Qur'aniyah yang dipimpin oleh seorang ulama terkemuka di daerah tersebut.

Tampak gadis muslimah berbalut gamis dan berniqab hitam itu sedang menyiapkan makanan bersama para santriwati. Meskipun bergelar putri kesayangan kiayi, ia tetap terlihat sederhana berbaur dengan semua orang di area dapur.

Selain terkenal dengan ilmu agamanya, Adinda memang jago dalam hal memasak. Tampak ia sedang sibuk menyiapkan beberapa bumbu sambil berbincang bersama ustazah lainnya.

"Mau dibawa kemana?" Tanya Adinda melirik satu nampan makanan sedang dibawa oleh seorang santriwati.

"Ada tamu yang mau datang kak, kebetulan disuruh untuk disiapkan," jawabnya ramah.

"Biar saya, kebetulan saya mau pergi ke rumah ibu," balasnya beranjak sambil mengambil alih nampan itu.

Para ustazah dan santriwati yang melihat itu hanya terdiam kagum karena Akhlakul Karimah yang dimiliki oleh Adinda. Gadis itu pamit lalu berjalan menuju tempat pertemuan para tamu.

Saat hendak masuk, tak sengaja ia melihat Fariz ikut bergabung menyambut tamu spesial mereka. Belum sempat mengukir senyum, wajah Adinda muram ketika sorot matanya melihat sosok Dini sedang duduk di salah satu kursi di sana.

"Nak, kenapa diam di situ saja?" Panggil ibu menyadarkannya dari lamunan.

Dini dan Fariz kompak menggerakkan kepalanya ke arah pintu. Tampak Adinda hanya terdiam hening. Ia tak berlama-lama segera memberikan nampan makanan itu kepada salah satu santri lantas pamit.

"Maaf, tapi Dinda harus kembali ke dapur," jawabnya lemah.

"Dini baru pulang dari Kairo, ayo sambut saudara kamu dulu."

Dinda melirik Dini yang saat ini sedang terdiam hening seolah merasakan hal sama sepertinya.

"Kita bisa ngobrol nanti, Dinda lagi ditungguin sama anak-anak di dapur."

Setelah mengatakan itu Dinda segera pergi dan enggan menerima permintaan sang ibu. Entah kenapa langkahnya malah tidak tertuju pada dapur tapi pergi ke rumah utama. Hatinya gelisah karena Dini, apakah pernikahannya akan berakhir secepat ini?

Ia melirik ulama berjubah putih itu dengan tatapan hangat. Ayahnya sudah siap menyambut tamu mereka. Segera ia mendekat untuk menyapa.

"Ayah terlihat tampan sekali," ujarnya kagum.

"Dan kamu putri ayah yang paling cantik," balas Ayahnya lantas mencium puncak kepala sang puteri dengan senyum gembira.

"Apakah tamunya orang besar sehingga ayah menyambutnya dengan istimewa?"

Ayah dan sang anak tampak duduk di ruang tengah seolah melanjutkan pembicaraan di sana.

"Bagaimana mungkin ayah tidak mengistimewakan mereka sedangkan mereka akan membawa Puteri ayah untuk dijadikan menantu," ujarnya.

Dinda mengernyit heran, lantas siapa yang akan dijadikan menantu? Tidak mungkin Dini menerima perjodohan ayah, ia sendiri yang bilang akan mencari pasangannya sendiri.

"Apakah tahun ini ada pernikahan massal lagi?" Tanya Dinda ragu.

Ayahnya tersenyum kecil, ia menatap Puteri bungsunya dengan sorot mata hangat.

"Lantas siapa Puteri ayah selain kamu dan Dini?"

"Jadi, Dini menerima perjodohan ayah?"

"Iya," jawabnya yakin.

Dinda terdiam sebentar, apakah Dini berniat melupakan Fariz melalui perjodohan ini? Belum sempat tenggelam dalam lamunannya, sosok Fariz dan Dini tiba-tiba datang mengalihkan atensinya.

Sujud Terakhir Where stories live. Discover now