Bab 24. Hujan

399 15 6
                                    

Suasana sore di pesantren begitu tenang, para santri tengah belajar ekskul di beberapa tempat, namun berbeda dengan Dinda yang tengah sibuk membersihkan kolam ikan.

Dinda sibuk membersihkan daun-daun kering yang jatuh di permukaan kolam tanpa memperhatikan bahwa sekelilingnya telah menjadi pusat perhatian orang.

Beberapa di antara mereka mulai membicarakan Dinda, mengaitkannya dengan pelanggaran peraturan yang tidak boleh menemui santriwan apalagi mengirimkan surat secara diam-diam.

"Tahu nggak? Katanya Dinda kena razia di pesantren gara-gara nyelipin surat buat mas Fariz!"

"Emang sih, emang susah banget ya ngikutin peraturan sederhana?"

"Iya nih, padahal semua orang tahu larangannya. Kenapa malah anak Kiayi sendiri yang melanggarnya?"

"Mungkin dia pikir surat itu bisa lolos lewat jalur orang dalam kalik ya?"

"Ya ampun, padahal kan udah jelas haram. Mungkin aja dia mikir mas Fariz lebih penting daripada aturan."

"Well, tapi apa boleh buat, kalau sudah cinta segala cara dilakukan, termasuk ngelewatin peraturan kayaknya."

"Pokoknya jangan sampe tertangkap lagi deh, ntar bisa jadi bahan omongan semua orang."

"Iya, atau malah jadi legenda 'Pemberontak Surat Cinta' di pesantren ini."

Meskipun bersikap acuh, Dinda merasa tersakiti karena dituduh atas suatu hal yang sebenarnya tidak terjadi. Orang-orang hanya melihat masalahnya dari permukaan saja, tanpa memahami situasinya secara lebih dalam.

Dinda memilih duduk untuk beristirahat sejenak setelah baru membersihkan 1/4 bagian kolam ikan. Dari tempat duduknya, Dinda dengan seksama mengamati sekelilingnya. Di area lapangan, suasana begitu hidup dengan para santri yang sedang belajar ekskul olahraga seperti bela diri, bermain bola, dan berbagai kegiatan lainnya.

Andai ia tidak nekat mengirimkan surat itu. Sudah pasti ia tidak akan melakukan pekerjaan yang melelahkan ini. Sejenak Dinda mengembuskan napas berat, berusaha menghilangkan rasa iri yang terpancar dari aktivitas para santri di lapangan.

Saat hendak melanjutkan pekerjaannya, nasib sial kembali menimpanya ketika hujan deras tiba-tiba jatuh membasahi tubuhnya. Seluruh santri mulai riuh meninggalkan lapangan. Begitupun Dinda segera berlari menuju gazebo di samping kolam ikan.

Sayangnya, Dinda tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya ketika tak sengaja menginjak permukaan tanah yang licin.

Byurrrr

Akhirnya Dinda jatuh ke dalam kolam ikan. Orang-orang sudah berteduh di tempat yang aman, lain dengan Dinda yang harus menahan sabar saat dihadapkan situasi genting seperti ini.

Ia berusaha naik ke atas kolam dengan kaki yang terkilir. Sorot matanya terlihat khawatir, Dinda begitu takut karena orang-orang sudah pergi dan tidak ada orang yang membantunya.

Tapi, dari jarak jauh pandangannya, seorang laki-laki berpayung hitam tampak diam menatapnya dengan netra yang tenang. Tidak ada tanda kekhawatiran apalagi belas kasihan untuk segera menolongnya.

"Tolong!" Teriak Dinda berusaha menarik atensinya, tapi pria itu enggan bergerak dari tempatnya.

"Kakiku sakit, tolongin aku!" Sekali lagi Dinda meminta tolong tapi pria itu malah berjalan ingin meninggalkannya, dimana belas kasihannya?

"Aku tidak bisa membayangkan saudariku menikah denganmu lalu kamu menelantarkannya sama seperti keadaanku sekarang. Aku rasa pilihanku sudah tepat untuk memisahkan kamu dengan Dini!" Teriak Dinda kali ini lebih geram.

Sujud Terakhir Where stories live. Discover now