Bab 16. Pro & Kontra Poligami

522 16 2
                                    

"Menurut saya dalam situasi poligami, perhatian dan sumber daya pria dapat terbagi di antara beberapa istri, yang dapat menyebabkan kurangnya perhatian, dukungan emosional, dan stabilitas ekonomi bagi setiap istri. Ini salah satu alasan saya tidak menyetujui poligami, ujung-ujungnya keadilan itu selalu diperhitungkan. Meskipun pria menganggap bahwa ia telah melakukannya sesuai sunnah Rasulullah, tapi mereka tetap tidak tahu tentang keadaan batin yang dihadapi oleh istrinya. Pantas saja Allah berjanji memberikan surga, ujiannya memang tidak main-main," jelas Lalita mengemukakan pendapatnya, salah satu guru di panti asuhan yang memiliki tubuh langsing dan wajah anggun.

"Tidak semua pria memiliki pandangan yang jelas atau tegas terhadap poligami. Beberapa mungkin merasa netral atau tidak tertarik pada poligami dan lebih fokus pada hubungan monogami yang stabil. Tapi, setiap membicarakan topik poligami, saya selalu teringat pesan suami bahwa semua yang kita miliki sekarang hanyalah milik Allah, baik itu suami, anak, orang tua, dan sebagainya. Jadi, mau sebaik apapun kita menentang jika Allah menghendaki mau bagaimana lagi? Termasuk jika salah satu kita nantinya akan mendapatkan ujian ini, bersiaplah untuk menerima ujian yang berat demi mendapatkan rahmat Allah di akhirat," sahut Dinda mengingat suaminya enggan melakukannya meskipun ia ridha.

"Berarti kamu menyetujui jika suatu hari mas Fariz meminta untuk menikah lagi?" Tanya Sari, staf memasak di panti asuhan yang memiliki tubuh gempal. Berumur paling tua diantara mereka bertiga.

Dinda diam sejenak, teringat Fariz menolak menikahi Dini meskipun ia sudah mengizinkan. Bibirnya tiba-tiba mengukir senyum tipis, ia cukup bangga karena suaminya tidak begitu tergoda hanya karena nafsu. Suatu hari jika Fariz ingin meminta, ia begitu yakin akan menerimanya. Alasannya karena Fariz pasti akan mempertimbangkannya sebaik mungkin, dengan kata lain ia tidak mudah terpengaruh hanya karena nafsunya.

"Melihat dia tersenyum begitu, aku jadi yakin dia ikhlas untuk dipoligami," sindir Lalita sambil menyenggol bahu Sari.

"Tidak ada perempuan yang benar-benar ikhlas untuk diduakan. Perempuan juga selalu menuntut untuk diprioritaskan. Tapi, suatu hari jika mas Fariz memintanya, maka aku akan mengizinkannya," jelas Dinda terdengar rela.

"Air yang sudah jadi asin takkan bisa dijadikan manis. Kita tidak dapat sepenuhnya memahami atau merasakan sesuatu jika kita tidak pernah mengalaminya secara langsung. Daripada menunggu untuk dipoligami, lebih baik berdoa agar mata dan hati suami kita tetap setia tertuju pada kita," balas Sari cukup bijak.

"Memangnya mba gak takut kalo mas Fariz berpaling—"

"Udah azan, lebih baik kita buka puasa terus ngajarin anak-anak untuk ngaji," potong Dinda tak mau membahas lagi.

Lalita dan Sari sama-sama menghela napas panjang. Mereka cukup kenal dengan karakter Dinda yang begitu pro terhadap poligami. Entahlah, apakah semua perempuan solehah akan bersikap seperti Dinda juga?

"Sepertinya tingkat keimanan kita belum mencapai tingkat keimanan Dinda," bisik Lalita masih memantau gerak-gerik Dinda yang sedang mengawasi anak panti.

"Membahas poligami memang tidak akan pernah ada habisnya. Itulah kelemahan wanita, mencari-cari celah untuk menyalahkan orang lain. Daripada membandingkan diri, lebih baik kita berusaha menjadi lebih baik dari hari ini. Tapi, aku bangga karena kamu masih waras sepertiku yang tidak mau dimadu," jawab Sari.

"Ngomong-ngomong soal mas Fariz, suamiku pernah ngelihat dia—"

"Ayo, makan!" Panggil Dinda memotong.

"Mau bulan puasa atau biasa, tetap saja topiknya membicarakan orang!" Tegur ibu Fatimah tak sengaja mendengar pembicaraan mereka.

Lalita dan Sari sama-sama cengengesan merasa salah tingkah. Ia tak menduga kepala panti akan lewat di belakang mendengar pembicaraan mereka.

"Tapi suamiku memang pernah melihat—"

"Lho, masih mau dilanjutkan?" Sahut ibu Fatimah membalikkan tubuh, menatap keduanya cukup sinis.

"Gak bu, kita lagi bahas—"

"Buruan, anak-anak udah pada lapar tuh."

"Baik, Bu."

****

Tampak serasi dan romantis, Dini dan Zahid saling bergandengan tangan memasuki tempat megah sebuah acara opening perusahaan rintisan baru milik keluarga Zahid. Memiliki penampilan berbeda dibandingkan istri-istri pejabat lainnya membuat Dini sedikit risih ditatap tajam dari berbagai sudut. Ia memakai gamis hitam sederhana yang dilengkapi niqab panjang hampir menutup muka.

Benar-benar seperti tamu yang tak diundang di tengah riuhnya pesta. Tanpa sadar, Dini selalu menggenggam tangan Zahid karena takut diintimidasi oleh tamu lainnya. Sebelumnya Dini sudah meminta untuk tidak hadir, tapi Zahid tetap memaksanya karena ini penting untuknya.

"Istri pertama jauh lebih baik," gumam seseorang wanita dari arah belakangnya.

"Pilihan yang salah, kenapa dia harus menikahi wanita tertutup seperti itu? Tidak menarik, tidak seksi, ku akui dia jago mengatur perusahaan tapi tidak jago memilih wanita," tambah yang lain.

"Dia selalu gagal dalam cinta. Lihat saja pernikahan pertamanya, dia menceraikan istri yang cantik dan baik hanya untuk egonya. Mungkin saja pernikahan kedua ini tidak akan lama juga," sahut mereka lagi.

Meskipun suara musik cukup besar, tapi Dini dan Zahid masih mendengar jelas pembicaraan mereka di belakang. Awalnya Zahid ingin menghentikan omong kosong itu, tapi Dini berusaha menenangkannya agar tetap bersabar.

"Lain kali jangan mengajakku ke tempat seperti ini, hatiku tidak begitu tenang," bisik Dini pada Zahid.

"Sebagai CEO perusahaan, aku dituntut harus terbiasa mendengar cibiran orang. Istri Zahid juga harus membiasakan diri dengan keadaan ini. Apakah kamu mau aku mengajak wanita lain sebagai penggantimu?"

Dini malah menatap Zahid cukup sinis, ia benar-benar menentang diduakan dengan wanita lain. Meskipun Zahid mengucapkannya sebagai candaan, tapi hatinya terbakar mendengar kata 'pengganti' di kalimatnya.

"Meskipun kamu dituntut untuk selalu profesional, tapi aku tidak akan ridha jika kamu berpasangan bahkan bergandengan tangan dengan wanita lain," tegas Dini.

"Kenapa? Aku bahkan tidak bisa menebak alasannya karena saat ini kita tidak sama-sama saling mencintai."

"Bentuk profesional dalam hubungan ini adalah menjaga perasaan satu sama lain. Aku tidak suka mendengar orang-orang mencibir hubungan kita, jadi jangan pernah mencari wanita lain selama aku masih menjadi istri sahmu."

"Apakah menentang poligami sama artinya menentang ajaran Rasulullah?"

"Jadi, kamu mau berpoligami?"

Zahid terkekeh pelan, meskipun tertutup niqab wajah Dini pasti terlihat gelisah sekarang.

"Iya, tapi izin darimu dulu."

"Tidak akan!" Tolak Dini tegas sampai melayangkan tangan Zahid menjauh darinya.

"Hei, mau kemana?"

Dini bahkan pura-pura tidak mendengar agar secepatnya pergi dari sana. Ia tidak tenang berada di tengah keramaian yang selalu menyudutkannya, entah pakaiannya yang salah atau apa? Ia baru merasakan kedamaian saat keluar dari pesta itu.

Dini memilih pergi ke sebuah restoran yang tak jauh dari sana. Ia akan menunggu Zahid sampai pria itu datang mencarinya. Saat sedang duduk di salah satu kursi, ekor matanya tak sengaja melihat sesuatu yang janggal.

"Fariz?" Gumamnya ringan disertai kebingungan.

"Dinda tidak setinggi itu," ucapnya seolah mengatakan bahwa Fariz sedang bersama wanita lain, bukan Dinda.

****

😱😱😱

#CUAP-CUAP AUTHOR

Alhamdulillah masih diberi  kesempatan untuk melanjutkan cerita ini. Bagaimana part ini teman-teman? Semoga tetap penasaran dan tetap sabar menunggu.

Ohya, seperti judul part ini. Kamu lebih ke pro atau kontra nih pada poligami? 🤭

Kalo saya akan bersikap seperti Dini, tidak tahan kalo diduakan 🤣

Sujud Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang