Bab 6. Antara Ibu & Istri?

654 22 0
                                    

"Selamat, kandungan ibu sudah berjalan 3 Minggu," ungkap dokter.

Dinda tidak bisa berkata-kata selain menyentuh perutnya sangat bahagia. Sudah satu tahun lamanya ia menanti keajaiban ini. Syukurlah, doa-doanya di sepertiga malam sudah diijabah sang Maha Kuasa.

Ia tak sabar memberikan kabar bahagia ini pada Fariz. Apakah setelah kehamilan ini Fariz akan lebih bisa menerimanya atau malah tidak berubah sama sekali? Mertuanya juga pasti sangat bahagia, setiap berkunjung ke rumah ia tak pernah absen mengusap perut Dinda yang rata.

Kali ini, ibu mertuanya akan mengelus perut yang mengandung cucu pertamanya. Ah, Dinda jadi tidak sabar pulang ke rumah. Pasti semua orang akan bahagia menyambut kehamilan pertamanya.

"Tapi ada satu hal yang harus ibu tau," lanjut dokter.

Berhasil membuat Dinda menoleh pelan. Ia mengamati wajah dokter itu cukup dalam. Apa hanya dia yang murung menyambut kehamilan pasiennya?

"Kenapa dok?"

"Saya terpaksa harus mengatakan bahwa ibu mengidap penyakit yang cukup beresiko untuk cabang bayi ibu."

Dahi Dinda mengerut sedikit bingung. Dokter perempuan itu tampak menyodorkan surat kesehatannya dengan raut sedih.

"Apa maksudnya dok?" Perasaan Dinda jadi tidak enak.

Padahal baru saja ia mendapatkan kabar bahagia, kenapa tiba-tiba berubah 180 derajat seperti ini?

"Ibu mengidap penyakit kanker pankreas stadium lanjut."

Deg

Dinda tertegun cukup lama, ia mengusap perutnya berusaha mencari kekuatan dari sang buah hati. Mulutnya benar-benar bungkam tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun. Air matanya perlahan jatuh merasakan nyeri di hati.

"Padahal saya tidak merasakan gejala apapun. Saya masih bisa menjalankan aktivitas sehari-hari. Kenapa dokter tiba-tiba mendiagnosis saya kanker pankreas? Saya tidak pernah merasakan sakit," debat Dinda dengan suara bergetar.

"Ini hal lazim terjadi pada pasien kanker, dimana mereka baru menyadari ketika kanker sudah menyebar di organ lain. Beberapa kanker memang ada yang bisa dideteksi secara dini, tapi untuk kanker pankreas sangat sulit dideteksi pada stadium awal karena sering kali tidak memiliki gejala yang spesifik bahkan setelah tes rutin sekali pun," jelasnya mencoba memberikan pemahaman.

"Jadi, seberapa besar resikonya?" gumam Dinda tak bisa mengelak lagi.

"Kanker ini sudah menjalar ke organ lain. Jika ibu tidak menjalani kemoterapi maka ini akan mempercepat perkembangan kanker dan memperburuk kesehatan ibu."

Dinda menggeleng pelan, "Aku menanyakan calon bayiku, apakah masih bisa diselamatkan?" Tanyanya penuh harap.

"Ibu, ini sangat beresiko—"

"Dok, saya akan melahirkannya apapun resikonya," potong Dinda cepat.

"Jika tetap teguh ingin melahirkanya, maka ibu tidak bisa menjalankan kemoterapi karena hal ini akan berdampak pada calon bayi ibu. Tapi, di sisi lain jika ibu tidak menjalani kemoterapi maka kesehatan ibu akan memburuk dan—"

"Baiklah, saya akan tetap mempertahankan kehamilan ini," potongnya yakin tanpa ada keraguan sedikit pun.

Dokter Nindi dibuat terdiam dengan pasiennya yang satu ini. Wanita berniqab dengan suara lembut itu berhasil membuatnya menghela napas berat.

"Jika ibu tidak menjalankan kemoterapi, maka ini bisa berujung pada kematian, dimana ibu dan anak yang dikandung sama-sama tidak bisa diselamatkan. Jadi, saya mohon tolong pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan," jelas dokter Nindi sekali lagi untuk menyakinkan.

Sujud Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang