Bab 7. Tuhan Tahu, Manusia Tidak!

585 17 0
                                    

Fariz mengamati Dinda yang saat ini duduk di atas tempat tidur sambil membaca Al-Qur'an. Setelah salat subuh ia segera pulang, biar pun ibunya memaksa untuk tetap diam tapi dia lebih memilih melanggar perintah suci itu.

Dan ia menemukan Dinda sedang duduk di tempat tidur berbalut mukenah putih. Sejenak ia bersyukur karena istrinya tidak mengalami masalah apapun. Hanya saja matanya yang sembab tidak bisa berbohong tentang keadaannya yang semalaman. Apakah Dinda menunggunya?

Benar, istrinya tetap seorang Dinda yang memiliki wajah tenang dan hati bersih. Ia memancarkan senyum kebahagiaan ketika menemukan Fariz berdiri di depannya. Ia sangat bersyukur karena Fariz sudah menepati janjinya untuk kembali pulang. Tak ada rasa kesal atau amarah, ia menyambut suaminya dengan pelukan hangat.

"Maaf, aku tidak mendengar salammu."

Fariz menggeleng cepat tak mempermasalahkan itu, ia segera duduk di samping Dinda lantas mengambil alih Al-Qur'an yang ada di tangannya.

"Mau surah apa?" Tanya Fariz kini memandang istrinya cukup dalam.

"Kali ini aku yang baca," balas Dinda kembali mengambil Al-Qur'annya.

"Tidak, hari ini tugasmu hanya mendengarkan."

"Tapi aku mau membacanya juga."

"Tidurlah dan dengarkan," suruh Fariz sambil menaruh kepala Dinda di bahunya.

Dinda tetap tidak mau, ia berusaha menegakkan tubuhnya tapi tangan Fariz malah menariknya lagi hingga akhirnya ia mengalah menidurkan kepalanya di bahu pria itu.

Ia bisa merasakan kehangatan, apalagi tangan Fariz yang sebelah menggenggam jemarinya cukup erat. Beberapa kali Dinda mencuri pandang untuk melirik wajah suaminya yang sangat dekat dari posisinya.

Tampan, putih, bersih, dan wangi. Empat hal itu lah yang menggambarkan keadaan suaminya. Ia jadi kepikiran, apakah suaminya memiliki penggemar yang banyak di kampus? Pasti jawabannya iya, mengingat suaminya sangat tampan dan masih muda.

Itulah kenapa ia terus berdoa agar pandangan suaminya tetap tertuju padanya, tidak ada wanita lain agar hubungan mereka tetap layak menjadi pasangan yang bahagia. Tapi ia menyadari fakta bahwa Fariz tidak bisa menghilangkan Dini di hatinya.

Dinda kembali menatap Fariz, apa mungkin ia bisa meluluhkan hati suaminya di sisa umurnya yang singkat?

"Kapan kamu bisa mencintaiku?" Gumam Dinda sangat pelan, mungkin hanya dia dan Tuhan yang tau.

Tapi, Fariz bisa mendengarkannya hingga mata mereka beradu pandang. Bacaan Al-Qur'an yang tadinya merdu kini tiba-tiba berhenti karena perkataan kecilnya.

"Astagfirullah," gumam Dinda merutuki.

"Istighfar untuk apa?"

Dinda tercekat diam, ia segera menegakkan kepalanya karena Fariz terus saja menatapnya. Ia harus menyelamatkan jantungnya dulu agar tidak terkena serangan jantung.

"Karena menganggu bacaanmu."

"Tidak, bacaannya memang sudah berakhir di ujung ayat tepat saat kamu mengatakan itu. Aku hanya terganggu karena kamu tidak benar-benar mendengarkan bacaanku dari awal."

"Maaf, aku—"

"Jangan mencintai hamba-Nya lebih dari Penciptanya, Dinda," potong Fajar menyirat dalam.

Lagi-lagi Fariz menegurnya dengan perkataan yang sama. Ia menghela napas sebentar.

"Apakah aku salah ingin mendapatkan Ridha Allah dari suamiku?" Tanyanya sambil menunduk merasa putus asa.

Fariz kembali menggenggam tangannya lebih erat. Sejenak terjadi keheningan sehingga akhirnya mereka sama-sama menoleh beradu pandang.

"Aku juga tidak pernah diam, aku selalu memikirkan keadaanmu. Setiap hari aku berusaha dan berdoa, tapi sampai saat ini—"

Sujud Terakhir Where stories live. Discover now