Bab 22. Surat Berujung Hukuman

540 16 1
                                    

"Apakah kamu sudah memikirkannya baik-baik?" Tanya Kiayi Zakari cukup sedih mendengar niat santri kesayangannya harus pergi belajar ke negara orang.

"Alhamdulillah, Fariz sudah memikirkan ini sejak satu tahun lalu. Besar harapan saya jika pak Kiayi mengizinkan dengan ikhlas."

"Tentu saja bapak bangga mendengar kamu mendapatkan beasiswa ini, tapi bapak hanya khawatir tentang suatu hal."

Fariz menatap Kiayi Zakaria cukup dalam. Terlihat dua pria itu saling menatap satu sama lain berusaha menebak pikiran masing-masing.

"Kamu tidak berusaha menghindari pernikahan ini, kan?"

Fariz tampak menelan ludahnya sendiri. Ia seperti tersudutkan lantas mengusap keringat dingin yang muncul di leher belakangnya.

"Jika kamu tidak mau? Jawab dengan tegas, jangan pergi seperti pria yang tidak bertanggung jawab. Satu bulan ini pikirkan dulu, apakah kamu mau menerima perjodohan ini atau tidak? Jujur saja dengan perasaanmu, bapak tidak akan memaksakan."

Fariz tersenyum kikuk, Kiayi Zakaria memang tidak pernah memaksakan kehendaknya. Tapi, pantaskah ia menolak perjodohan ini sedangkan gurunya begitu baik padanya?

"Fariz akan berusaha memikirkannya," ujarnya yakin.

"Jangan lupa meminta petunjuk kepada Allah."

Fariz mengangguk mantap. Mereka harus menghentikan pembicaraan singkat itu karena Fariz harus menjalankan tugasnya, begitu pula Kiayi Zakaria harus mengurus beberapa hal.

****

Fariz mengamati dua berkas pernikahan massal yang akan diadakan beberapa minggu lagi. Map berwana merah milik Dinda, gadis yang akan dijodohkan dengannya. Adapun map berwarna biru adalah miliknya yang awalnya ditujukan untuk Dini.

Malang menimpanya, ia tak bisa menikahi Dini dan harus memikirkan perjodohannya bersama Dinda. Ia baru menyadari bahwa sangat mudah bagi Allah membalikkan fakta bahwa ia dan Dini harus berakhir seperti ini.

"Sekarang aku tahu bahwa Allah tidak meridhoi hubungan kita," gumam Fariz berusaha tegar sambil menyimpan map biru di antara buku-bukunya.

Kejadian semalam kembali berputar di kepalanya. Rasa bersalah masih menyelimuti relung hatinya. Ia tak bisa memaafkan dirinya ketika melihat Dini menangis atas ujian ini.

"Mungkin ini jalan satu-satunya untuk kita," gumam Fariz mengamati berkas beasiswa yang baru saja ia tanda tangani.

"Kita tidak perlu saling menyalahkan. Dini dan Dinda akan menjadi saudara kembar yang saling mengasihi. Tidak ada yang bisa meruntuhkan persaudaraan mereka."

Tok Tok

"Assalamualaikum, saya ke sini ingin memberikan surat ini kepada mas Fariz. Saya tidak bisa menyebut namanya, tapi mas Fariz pasti tahu setelah baca suratnya," ujar laki-laki berpeci hitam, staf bersih-bersih di pesantren.

"Waalaikumussalam, terima kasih, mas."

Staf itu mulai pergi, berbeda dengan Fariz yang mengernyitkan dahinya, siapa yang berani-berani mengirim surat dalam keadaan tidak formal seperti ini? Ia harus menahan jengkel kalo si pengirim adalah santriwati baru yang belum tau peraturan pesantren.

Perlahan Fariz mulai membaca surat itu dengan seksama. Ia berhenti sejenak saat menemukan kata 'perjodohan' di dalamnya. Dari raut wajahnya Fariz bisa menebak siapa pengirim surat tersebut, Dinda.

Kepada Fariz,

Dengan penuh kerendahan hati, saya ingin mengutarakan permintaan maaf yang tulus. Saya merasa sangat bersalah karena telah mengatur perjodohan ini tanpa sepenuhnya mempertimbangkan perasaan dan keinginan Anda. Saya menyadari bahwa ini adalah keputusan besar yang dapat berdampak pada hidup kita berdua.

Sujud Terakhir Kde žijí příběhy. Začni objevovat