Bab 27. Kritis

630 21 1
                                    

"Baru ke sini setelah semalaman gak ngabarin aku? Sudah berapa kali aku ingatkan? Istrimu sekarang bukan Dinda saja!" Murka Alisba saat melihat sosok Fariz datang dengan wajah redup.

"Aku lelah Alisba, aku ke sini tidak ingin basa-basi atau berdebat tidak penting. Saat ini Dinda ada di rumah sakit, keadaannya sedang kritis. Aku ke sini ingin meminta bantuan kamu, tolong, sebulan ke depan biarkan aku bersama istriku."

Alisba membatu diam dengan urat-urat mulai tegang menahan amarah. Jadi, Fariz ke sana hanya untuk mengatakan itu? Lalu bagaimana dengannya? Apakah Fariz tidak pernah memikirkan keadaannya? Alisba juga sangat membutuhkan sosok suami di sampingnya.

"Bukankah kamu lebih tau ajaran agama?" Ujar Alisba lirih.

"Aku meminta izin karena memikirkanmu juga. Apakah itu tidak cukup? Tolong mengertilah, Dinda lebih membutuhkanku. Aku akan memberikan hakmu untuk satu bulan kedepan."

"Aku tidak butuh uangmu mas, aku juga butuh kamu di sampingku!"

"Apakah kamu lebih mengutamakan ego kamu daripada melihat sesama perempuan kamu menderita?"

"Bagaimana bisa aku rela? Kamu saja tidak memikirkan keadaanku? Kamu egois, apakah kamu ingin aku menemui Dinda dan membongkar semuanya? Biar dia tau kalo sesama perempuannya juga menderita di sini!"

Fariz memejamkan matanya sebentar, ia memang tidak bisa berbicara halus dengan Alisba. Terlihat ia memiliki ego yang tinggi hingga tidak mudah memberikan izin.

"Sepertinya aku harus menceraikan kamu baru bisa—"

"Begitu mudahnya kamu mengatakan itu?!" Alisba semakin murka.

"Pernikahan ini tidak main-main. Aku merelakan masa lajangku demi menikahi kamu yang nyata-nyatanya tidak mencintaiku. Asal kamu tau mas? Aku melakukan ini karena mendiang ibu kamu. Apakah kamu lupa? Kamu lupa ikrar janji kamu hanya karena perempuan yang jelas-jelas—"

"Jelas-jelas apa?" Fariz memotong merasa tersinggung.

"Jangan pernah menodai Dinda dengan mulut busukmu. Dia adalah istriku, istri yang benar-benar aku cintai. Dan tentang kamu? Aku tidak akan melupakan ikrar janji pernikahan kita. Aku akan selalu mengingat bahwa kita adalah sepasang suami istri yang menikah karena mendiang ibuku. Aku akan menghormati kamu, tapi jangan sekali-kali menjelekkan Dinda dengan semena-menanya. Kamu harusnya tau diri, perempuan yang memiliki ego tinggi seperti kamu tidak layak mendapatkan perhatian dari siapapun," jelas Fariz panjang lebar dengan wajah menahan murka.

"Aku gak egois, mas. Kalo kamu membandingkan aku dengan perempuan itu maka kamu melakukan kesalahan besar. Aku dan Dinda adalah perempuan yang memiliki banyak perbedaan. Jadi, jangan samakan aku dengan karakter dia yang mudah saja menerima kesalahan kamu!"

"Kamu menganggap niat baikku adalah kesalahan? Aku sedang berusaha menjaga kalian berdua, apakah itu salah di mata kamu? Dengar Alisba, adil itu tidak harus sama—"

"Jangan mengajarkanku keadilan kalo kamu saja tidak bisa menjalankannya. Adil itu tidak berat sebelah dan tidak memihak pada siapapun. Tapi, apa yang kamu lakukan? Kamu lebih memihak Dinda, Dinda, dan terus Dinda!" Debat Alisba memotong penjelasan Fariz hingga membuat keduanya terdiam saling menatap tajam.

"Tolong, mas, kalo kamu orang yang benar-benar baik, pikirkan juga keadaanku. Meskipun rasa itu sama sekali tidak ada, sebagai seorang suami kamu harus bertanggung jawab menjaga kehormatan istrimu. Saat berada di samping Dinda, tolong pikirkan keadaanku yang juga membutuhkan kamu," jelasnya mulai melemah.

Fariz tampak mengusap wajahnya frustasi. Pikirannya benar-benar kusut, ia hampir gila berada di tengah-tengah kondisi ini.

"Aku akan tetap berada di tempat Dinda satu bulan ke depan. Aku akan mengirimkan uang untukmu. Hubungi aku hanya saat kondisimu sedang darurat."

Sujud Terakhir Where stories live. Discover now