Bab 12. Sementara Bahagia?

503 17 4
                                    

Dinda baru diberitahu tentang kematian mertuanya setelah acara pemakaman selesai. Ia cukup terpukul mendengarnya, mengingat mereka baru bertemu beberapa hari kemarin. Ia sedih karena tak bisa melihat wajah terakhir ibunya yang sudah ia anggap seperti ibu kandung sendiri.

Menurut Dinda, Laila merupakan sosok mertua baik yang selalu ada setiap ada kesulitan. Beberapakali ia mendapatkan bantuan ketika ia kesusahan selama menjadi istri Fariz. Sekarang sudah tidak ada lagi sosok ibu yang akan memberikannya petuah ketika buntu menghadapi masalah.

Saat ini Fariz terlihat murung karena masih tak percaya dengan kematian ibunya. Ia juga diserang rasa takut karena tak bisa memberitahu Dinda tentang Alisba. Pikirannya kalut, ia khawatir rumah tangganya akan berantakan. Hal inilah yang memaksanya untuk terus berbohong pada Dinda.

Untuk sementara Alisba masih tinggal di rumah orang tuanya. Ia akan menjemputnya setelah Dinda menerima pernikahan mereka. Tapi, untuk sekedar bertemu dan berbincang biasa saja Fariz sudah merasa bersalah pada Dinda. Ia tidak berani mengatakan hal yang sejujurnya.

Azan subuh baru saja berkumandang, terlihat Dinda sedang menggelar dua sajadah untuk salat subuh berjamaah. Ia memandang Fariz yang saat ini masih terbaring di tempat tidur dengan ekor mata terus saja meliriknya. Langkahnya mengayun mendekat, ia duduk di tepi ranjang lantas menatap Fariz lebih lekat. Tangannya bergerak mengusap wajah suaminya sambil tersenyum manis.

"Ayo-"

Dinda tertegun saat Fariz perlahan menarik tubuhnya ke dalam dada bidangnya. Padahal masih pagi, tapi jantungnya berdetak seperti beraktivitas banyak. Dinda hanyut merasakan kehangatan yang muncul di antara mereka.

Beberapa menit mereka hanya diam seolah yang bicara adalah sikap yang berusaha menunjukkan perasaan masing-masing. Fariz mengusap rambut Dinda dengan lembut. Ia merasakan gelisah saat bangun setiap pagi. Bayangan Alisba dan wajah Dinda muncul secara bersamaan. Ia takut menyakiti Dinda untuk kesekian kalinya, tanpa sadar air matanya menetes.

"Jangan marah," gumam Fariz serak khas orang bangun tidur.

Dinda menaikkan sebelah alisnya, perlahan ia mendongakkan kepalanya untuk menatap Fariz lebih dalam.

"Marah?" Gumam Dinda pelan, ia menggeleng pelan seolah tidak merasakan apa yang Fariz ucapkan.

"Kenapa aku marah?" Tanyanya bingung.

Fariz terdiam hening, ia menangkup wajah istrinya lalu menariknya lebih dekat sehingga hidung mereka saling bergesekan. Dengan satu gerakan saja pasti wajah mereka akan menempel sempurna. Tapi, Fariz tidak melakukannya.

"Karena aku telat bangun," balas Fariz tidak masuk akal.

"Gak masalah, telat bangun tidak akan membuat suamiku kekurangan kebijaksanaannya. Aku tetap bangga padamu," ucap Dinda sambil menutup mata, merasakan napas hangat yang menerpa permukaan wajahnya.

"Bangga?" Beo Fariz hampa, merasa risih karena mendapatkan kebaikan dari istrinya. Ia jadi semakin bersalah dan berdosa.

"Iya, suamiku sangat baik dan penyayang," balas Dinda sehingga membuat Fariz merasakan sesak di dada.

"Jangan begitu, aku tidak sebaik yang kamu pikirkan," sahut Fariz dengan suara berat menahan air mata.

"Tidak ada kata yang bisa menggambarkan kamu. Setiap hari aku merasa cukup saat berada di dekatmu. Aku sangat takut jika kamu meninggalkanku." Air mata Fariz menetes tak bisa dibendung lagi.

Ia tidak bisa membalas dengan kata-kata. Perlahan ia memiringkan kepalanya lantas memagut bibir Dinda cukup lembut, semakin dalam penuh kehangatan.

Dinda merasakan setiap sentuhan kecil Fariz dengan wajah memerah menahan malu. Ia tak menyangka pagi itu Fariz akan bersikap hangat padanya. Suaminya benar-benar melakukan apa yang ia ucapkan di rumah sakit, ia akan belajar mencintainya.

****

Fariz merasa begitu beruntung dapat berjalan di sisi istrinya. Ia mengamati niqab Dinda yang berkibar liar, angin saja berambisi masuk ingin melihat wajah cantiknya. Sudut bibir Fariz terangkat membentuk senyum tipis, ia menggenggam tangan Dinda cukup erat lantas membisikkan sesuatu di telinga.

"Keindahan matahari terbit tidak bisa mengalihkan mataku darimu."

Meskipun tertutup niqab, bisa terlihat mata Dinda menyipit tanda tersenyum bahagia. Ia merasa malu karena mendengar gombalan Fariz yang terkesan receh. Baru kali ini Dinda mendapatkan kata-kata romantis seperti tadi.

Sinar mentari yang baru terbit dari ufuk timur memberikan cahaya yang membuat bayangan mereka terlukis di pasir pantai. Suara deburan ombak yang pelan dan lembut mengiringi langkah seperti melantunkan lagu 'until i found you' yang menggambarkan suasana hati pada saat itu.

"Auw," ringis Dinda mengangkat sebelah kakinya bertingkah kesakitan.

Respon Fariz cukup cepat terduduk di permukaan pasir pantai untuk melihat keadaan kaki Dinda. Ia memegang kaki istrinya lantas menoleh heran, tidak ada apa-apa.

"Bercanda," gumam Dinda cekikikan lantas berlari meninggalkan Fariz yang saat ini bengong di tempat, tersenyum tipis.

"Sejauh apapun kamu berlari, aku akan tetap mengejarmu," teriak Fariz bersiap mengejar dari belakang.

"Iya, kejarlah!" Sahut Dinda sudah jauh di depan sana.

Tidak disuruh pun, Fariz sudah mengejar Dinda dengan langkah lebih cepat. Terlihat Dinda berlari semakin kencang saat jarak mereka semakin menipis.

Tidak membutuhkan waktu lama Fariz berhasil menarik pinggang Dinda lalu mengangkat tubuh istrinya ke arah mulut pantai. Terdengar tawa Dinda lepas dan gelisah saat kakinya menyentuh air laut.

"Jangan Fariz, tolong lepaskan aku!" Mohon Dinda sembari berpegangan erat pada tangan Fariz yang melingkar di perutnya.

"Siapa yang lebih dulu jahil?" Peringat Fariz, enggan menuruti perkataan Dinda.

"Iya, aku minta maaf," sesal Dinda sesekali berteriak melengking saat Fariz sengaja ingin menjatuhkannya ke permukaan air laut.

"Apa hanya dengan minta maaf saja?" goda Fariz masih mengangkat tubuh Dinda dengan posisi memeluknya dari belakang.

"Lalu apalagi?" Heran Dinda, "Aaa!!!" Teriak lagi saat Fariz mempermainkannya di atas air.

Fariz hanya tertawa melihat tingkah ketakutan istrinya. Setelah puas menjahili Dinda, akhirnya ia melepaskan Dinda di area yang cukup jauh dari jangkauan air.

"Basah," beo Dinda terdengar kecewa melihat gamis hitamnya, tapi Fariz semakin bahagia mendengarnya.

Dinda memicingkan matanya, tampak Fariz menaikkan alisnya untuk membalas tatapan tajam dari Dinda. Sejenak waktu membiarkan mereka saling tatap satu sama lain sehingga akhirnya Fariz tidak tahan untuk memeluk tubuh Dinda ke dalam dekapannya. Terdengar tawa kecil lepas dari bibir tipisnya.

"Sangat menggemaskan," bisik Fariz menggoda di telinga Dinda.

"Hanya menggemaskan?" balas Dinda tidak terima.

Fariz kembali menatap Dinda lekat, ia mengamati wajah istrinya yang tertutup rapat oleh niqab panjang. Terlihat mata Dinda memancarkan aura penuh ketulusan.

"Cantiknya tidak bisa dideskripsikan," tambah Fariz sambil menatap hangat.

Hati Dinda merasa tersentuh mendengarnya. Ia merasa sangat malu sehingga menyembunyikan wajahnya di dada bidang Fariz. Terlihat sepasang suami istri itu saling berpelukan berlatar belakang cahaya mentari pagi.

"Terima kasih, Fariz."

"Terima kasih banyak, Dinda," balas Fariz hampa dan kosong.

****

#CUAP-CUAP AUTHOR

Tahan dulu, sabar, santai 🤭
Ayo kita lihat bagaimana alur cerita ini berjalan.
Semoga kalian menikmati ceritanya 😇

Tapi, siapa yang gregetan sama Fariz? Plis, saya juga gemas sih!

Next gak next gak? 🙌

Sujud Terakhir Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora