Bab 18. Tidak Sekarang

514 17 2
                                    

"Dinda," gumam Dini menatap adiknya sudah berdiri di belakangnya.

Apakah Dinda sudah mendengar semuanya? Terlihat ia hanya membisu diam. Dini segera mendekat, memegang tangan Dinda lantas mendekap tubuhnya cukup erat. Satu tetes air mata Dini mulai runtuh, ia bisa merasakan kerapuhan yang Dinda rasakan sekarang.

"Apa yang terjadi?" Tanya Dinda akhirnya bersuara.

Dari kalimatnya saja Dini menyimpulkan bahwa Dinda belum mendengar semuanya. Ia harus memberitahukannya, Dinda harus tau tentang Fariz.

"Kenapa menangis?" Tanya Dinda semakin heran saat melihat Dini mulai menangis lirih.

Meskipun bersikeras ingin memberitahu, pada akhirnya Dini tak mampu mengucapkan sepatah dua kata saat berhadapan dengan Dinda. Ada perasaan iba di hatinya bahwa ia takut menyakiti adiknya sendiri.

"Zahid?" Panggil Dinda melirik Zahid agar ia bisa menjelaskan keadaan ini.

Zahid hanya bisa menghela napas berat, ia tidak bisa memberitahukan Dinda tentang keadaan yang sebenarnya. Saat ini ia hanya berharap Fariz bisa pulang sekarang dan menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi.

"Kamu tau?" Akhirnya Dini mulai berkata di sela tangisnya.

"Awalnya Dini ingin menginap di sini, tapi aku tidak mengizinkannya karena dia harus mengurus kebutuhanku untuk keluar kota besok. Jadi, dia menangis karena hal sepele itu. Bukankah tugas istri memang memenuhi kebutuhan suaminya? Apakah aku salah, Dinda?" Potong Zahid sebelum Dini benar-benar memberitahu Dinda tentang semuanya.

Dini menoleh sinis, ia tak menyangka Zahid akan berbohong seperti ini. Padahal ia sudah siap memberitahukan Dinda tentang Fariz dan sosok perempuan yang menjadi duri di tengah hubungan mereka.

"Tentu tidak, seperti yang diucapkan oleh ayah kami, perintah suami harus dituruti oleh istri karena ridha Allah terletak pada ridha seorang suami. Apakah kamu melupakan nasihat itu Dini?"

Dini menghela napas berat, ia baru tau sekarang ternyata karakter Dinda sama persis seperti ibunya. Baik, sederhana, penurut, dan tentunya tetap berprasangka baik kepada semua hal. Ini berbanding terbalik dengannya yang memiliki sikap tegas seperti ayahnya yakni menegakkan kebatilan.

"Pulanglah Dini, kamu bisa ke sini besok sesuai dengan perintah suami kamu."

"Aku akan ke sini besok."

Dinda hanya mengangguk setuju. Setelah basa-basi pamit, Dini dan Zahid akhirnya pergi dari sana dengan pikiran yang berantakan. Hampir 30 menit perjalanan tapi mereka tetap tidak mau saling sapa. Zahid tahu, Dini sedang marah sekarang.

"Pergilah keluar kota dan jangan pernah kembali lagi!" Dini melempar koper Zahid di depan pintu kamar.

Brak

Pintu kembali dibanting cukup keras sehingga menggetarkan apapun yang ada di sekitarnya. Zahid berusaha tenang, ia merasa sudah biasa melihat Dini marah-marah seperti ini. Justru aneh jika mereka tidak berdebat hanya satu hari saja.

****

Dinda melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 12 malam, terlihat ia gelisah melirik pintu yang tak kunjung diketuk. Tentu saja ia sedang menunggu kepulangan Fariz sekarang, tumben Fariz tidak memberitahunya jika ia pulang telat hari ini.

Ia berulangkali memastikan ponselnya tetap terhubung pada koneksi. Biasa Fariz akan menelponnya untuk suatu hal kecil sekalipun. Tapi, untuk hari ini Dinda benar-benar merasa khawatir dan takut jika terjadi sesuatu pada suaminya.

Di sisi lain, Fariz sedang termenung di dalam mobilnya. Hampir 30 menit ia berdiam diri di sana tanpa memikirkan keadaan Dinda yang sedang menunggu di dalam rumah.

Sujud Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang