Bab 3. Tidak Tergantikan

763 32 0
                                    

Dinda dan Fariz baru saja sampai di rumah tepat pukul 7 malam. Mereka tampak kelelahan karena perjalanan jauh dari Kediri-Jakarta. Setelah acara pernikahan Dini, besoknya mereka segera pulang karena Fariz harus bekerja di Jakarta.

Fariz berhasil membangun rumah dua lantai yang cukup sederhana untuk mereka tempati berdua. Ia adalah staf dosen di salah satu universitas di Jakarta yang mengajarkan ilmu agama. Gajinya sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Fariz tampak berjalan mengambil tempat sebagai imam. Hampir 15 menit Dinda sudah menunggunya. Terlihat pria itu hanya diam sejak mereka pulang dari Kediri.

"Mas," panggil Dinda pelan.

"Allahuakbar," gumam Fariz sudah fokus menjalankan tugasnya dan tanpa sengaja sudah menghiraukan panggilan Dinda.

Dinda menghela napas pelan berusaha fokus salat dan tidak berpikir negatif. Mereka tampak khusyu menjalankan salat berjamaah sampai akhirnya Fariz mengucapkan salam.

"Mas Fariz kenapa?" Tanya Dinda khawatir.

Biasanya dilanjutkan dengan doa, Fariz malah buru-buru pergi ke kamar mandi. Dinda cukup bingung segera menyusulnya. Pria itu sedang muntah dengan wajah pucat-pasi.

Dinda berusaha mengusap tengkuk suaminya. Fariz terus saja muntah hingga membuatnya prihatin.

"Asam lambung kamu pasti naik karena gak makan teratur," ujar Dinda memapahnya duduk di tempat tidur.

Fariz hanya diam melirik wajah Dinda yang sedang khawatir padanya.

"Din," panggilnya lemah.

Dinda terdiam hening, mereka saling tatap satu sama lain. Dari Kediri-Jakarta pria itu terus saja mendiamkannya. Sekarang ia malah memanggilnya dengan sebutan 'Din' yang entah merujuk pada Dinda atau saudara kembarnya, Dini.

"Apa yang-"

Fariz perlahan menarik pinggang Dinda lebih dekat. Pria itu memeluknya cukup erat. Ia bahkan menyembunyikan wajahnya di tengah-tengah perut Dinda.

Dinda merasa seperti batu yang tidak bisa bergerak. Tumben Fariz terlihat lemah dan tidak tenang seperti ini. Mungkinkah ini karena pernikahan Dini?

"Kenapa?" Gumam Dinda lembut sambil mengusap rambut Fariz.

"Maafkan aku," balas Fariz terdengar lirih.

Maaf buat apa? Dinda sering sekali mendengar kata maaf darinya padahal ia tidak melakukan kesalahan apapun.

"Aku terus saja memikirkan Dini," lanjutnya yang membuat Dinda menutup mata sebentar seolah sabar.

"Lalu?" balas Dinda berusaha tegar.

"Apakah pilihanku sudah benar membiarkannya menikah dengan pria lain?"

Pertanyaan macam apa itu? Hati istri mana yang tidak sakit ketika mendengar suaminya mengkhawatirkan perempuan lain.

"Apakah Dini akan bahagia?"

Dinda menatap wajah Fariz yang saat ini sedang berkaca-kaca menahan air mata.

"Insyaallah pilihan ayah dan ibu benar," jawab Dinda yakin.

Air mata Fariz perlahan menetes membasahi kedua pipinya. Dinda perlahan memeluk dan membiarkan Fariz menghabiskan air matanya di bahunya.

Meskipun dilanda sakit hati. Dinda enggan menaikkan egonya. Ia hanya ingin memberikan kenyamanan untuk suaminya agar ia tetap bahagia bersamanya.

Nasi sudah menjadi bubur, alangkah indahnya hidup Fariz dan Dini jika ia tidak menyuruh ayahnya untuk menikahkannya waktu itu.

Sujud Terakhir Where stories live. Discover now