Bab 11. Menerima

543 21 0
                                    

Zahid berhasil membuat Dini tertidur lelap dalam keadaan hati dan pikiran yang berantakan. Ia melirik wajah istrinya yang begitu sembab lantaran tak berhenti menangis sejak semalaman. Tangannya terluka, ia mengobati tangan Dini dengan obat salep.

"Aish," ringis Dini kesakitan perlahan membuka mata.

Sejenak terjadi keheningan, Dini dan Zahid sama-sama diam saling tatap. Bayangan pertengkaran tadi malam masih berbekas di kepala mereka. Dini berusaha menarik diri, membelakangi Zahid.

"Tidak perlu puasa hari ini, ayo sarapan dul—"

Dini menjauhkan tangan Zahid yang berusaha menyentuhnya. Zahid menghela napas panjang, ia tahu Dini tidak akan semudah itu untuk luluh.

"Setelah sarapan baru kita bicarakan semuanya, aku janji akan mengizinkan kamu untuk mengambil keputusan terakhir."

"Semuanya sudah jelas—"

"Tidak, ada yang belum kamu ketahui," potong Zahid.

"Bagian mana? Apa kamu ingin memperjelas hubunganmu dengannya? Ceraikan aku, dengan begitu kamu bisa menikahi wanita itu tanpa mempersoalkan poligami."

Zahid menghela napas berat, "Tidak ada lagi pernikahan setelah kamu."

Zahid membaringkan tubuhnya, melingkarkan tangannya di pinggang ramping Dini. Awalnya Dini menolak mentah, tapi Zahid juga enggan melepaskannya. Ia bahkan meletakkan kepalanya di sela-sela leher Dini sehingga membuat gadis itu tak bisa berkutik.

"Mau mulai darimana?" Bisik Zahid tepat di telinganya.

"Aku tidak ingin mendengar apapun."

"Kamu harus mendengarkannya, kamu hanya bisa mengambil keputusan setelah mendengar semua penjelasanku."

"Maka berjanjilah atas nama Allah agar kamu tidak mengarang cerita apapun."

"Aku berjanji," ucap Zahid yakin tanpa keraguan sedikit pun.

****

Zahid mengamati tiga koper yang ada di depannya. Soraya tampak duduk sambil terisak menangis. Keadaan wanita itu tampak frustasi, melupakan keadaan Zahid yang terpukul dengan surat gugatan perceraian di tangannya.

"Sudah dua tahun lamanya keluarga kita tidak pernah setuju dengan pernikahan ini," kata Soraya sambil meremas rambut panjangnya yang terasa pening di kepala.

"Aku lelah menerima semua ancaman dan kebencian mereka. Aku berusaha sabar, tapi tidak saat mereka membahas pernikahan. Apa kamu akan meninggalkanku? Kamu ingin menikah lagi, Zahid?" ucapnya sesegukan sambil berdiri menatap Zahid.

"Kamu melupakan janji kita?" Pukul Soraya pada dada bidang suaminya, kesal.

"Kamu akan meninggalkanku dan menikah dengan wanita pilihan orang tuamu, " isak Soraya serak, sangat lelah sudah menangis.

Zahid meremas kertas gugatan cerai di tangannya. Ia baru pulang dari luar kota, ia mendapati Soraya sedang menangis dalam keadaan berantakan bahkan memberikannya surat gugatan.

"Aku sudah berjanji, berarti itulah yang akan terjadi. Aku tidak akan meninggalkanmu atau menikah lagi. Kita sudah berjanji akan selalu mempertahankan rumah tangga ini. Lalu apa maksudmu memberikanku surat itu?" Ucap Fariz sedih, menangkup wajah istrinya yang saat ini memalingkan wajah terus saja menangis.

"Setiap hari aku selalu mendapatkan cibiran dari keluargamu," gumam Soraya lemah, berani menatap manik Zahid lebih dalam.

"Aku lelah, Fariz. Apakah kamu tidak lelah dengan semua ini? Meskipun kita berusaha dengan segala cara, hubungan kita memang tidak akan pernah bersatu. Pernikahan beda agama memang tidak dibetulkan oleh agama dan hukum negara," ungkapnya sambil sesegukan tak kuat.

Sujud Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang