Bab 15. Sifat Asli

459 18 0
                                    

Karena belum bisa memberitahu Dinda tentang pernikahan keduanya. Fariz memilih tempat tinggal yang jauh untuk Alisba. Tepatnya di sebuah kontrakan sederhana yang memiliki dua kamar tidur, satu dapur, dan ruang tamu.

Awalnya Alisba mengira jika Fariz akan mengajaknya untuk tinggal di rumah bersama Dinda, tapi harapannya putus setelah mengetahui bahwa Fariz belum membicarakan ini pada Dinda. Ia cukup kecewa dan berusaha tetap sabar.

Terlihat Fariz sedang memeriksa semua ruangan, memastikan bahwa tempat tinggal itu cocok untuk Alisba. Padahal sudah jelas terlihat raut wajah Alisba tidak suka dengan tempat ini. Ia duduk di sofa ruang tamu sambil menekuk wajah, melirik Fariz yang bolak-balik sibuk memindahkan barang.

"Kamu yang mau pindah bukan? Aku tidak mempersiapkan apapun. Jadi, untuk sementara tinggallah di sini," ujar Fariz seolah tak mau disalahkan.

Bagaimana mungkin Alisba menolak? Ia sudah terlanjur meminta untuk dijemput, tapi akhirnya malah tinggal di kontrakan sederhana yang bahkan jauh dari kota. Di sisi kiri dan kanan kontrakan itu ada sawah yang cukup asri. Tapi, kontrakan itu benar-benar jauh dari jangkauan warga.

"Tinggal sendiri?" Gumam Alisba murung, ia tahu pasti Fariz enggan tinggal bersamanya. Berbicara saja benar-benar singkat dan ketus.

Fariz menghela napas berat, dari lubuk hati yang paling dalam ia juga tidak tega meninggalkan Alisba di tempat sepi seperti ini. Ia menyenderkan sebelah bahunya di tembok sambil menyilangkan tangan di dada, ekor matanya menatap Alisba yang saat ini terdiam sambil sibuk memainkan potongan kertas di jemari lentiknya.

"Seminggu sekali aku ke sini."

Alisba membatu diam, perlahan ia mengangkat kepalanya untuk memastikan kalimat itu berasal dari Fariz sendiri.

"Apakah kamu keberatan?"

Alisba tidak juga bersuara, ia tak mungkin menolak karena ini salahnya. Tapi, seminggu sekali benar-benar tidak adil. Ia hanya bisa menemui Fariz 4 kali dalam sebulan, sedangkan Dinda berhari-hari.

"Tidak masalah," balas Alisba tegar.

"Aku masih memberikan kesempatan, apakah kamu mau balik ke rumah ibumu atau menetap di tempat ini?"

Alisba tau, rumahnya lebih besar dan mewah dari tempat ini tapi mau bagaimana lagi? Ini sudah menjadi pilihannya, ia juga tidak mau membuang muka hanya karena gengsi tinggal di sini. Bukankah misinya adalah meluluhkan hati Fariz? Maka ia bisa memulainya dari kontrakan sederhana ini.

"Aku akan berusaha mandiri," gumam Alisba yakin.

"Iya, kamu memang manja dari dulu. Maka belajarlah mandiri di tempat ini," jawab Fariz menyetujui.

"Manja? Aku sudah besar sekarang, aku sudah bisa memasak dan mencuci sendiri."

"Ohya? Coba pergi ke dapur dan masak untuk makan malam kita."

Alisba tertegun cukup lama, berbeda dengan Fariz yang memilih duduk di sofa sebelahnya. Apakah Fariz akan tinggal bersamanya malam ini?

"Iya, aku akan menunjukkan kamu masakan terlezatku."

Alisba segera berjalan ke dapur, tapi belum sempat masuk ia dikejutkan dengan kehadiran tikus yang tak diduga akan ada di kontrakan itu. Alisba benar-benar benci sama hewan yang satu ini. Bisa terlihat ia langsung teriak dan berlari kocar-kacir mendekati Fariz.

"Tikus, Fariz, aku tidak mau di sini. Bagaimana kalo kontrakan ini dipenuhi tikus? Tidak, aku tidak mau. Kamu harus mencari tempat lain. Lihat, tikusnya bukan cuman satu tapi dua, ah tiga, empat!" Cecar Alisba sambil memeluk leher Fariz yang saat ini berada di atas gendongan Fariz.

Benar, Alisba langsung berlari dan meloncat ke tubuh Fariz. Alhasil Fariz harus menahan bobot Alisba yang sedang ketakutan melihat kehadiran semua tikus itu.

"Katanya sudah besar," beo Fariz langsung dibalas tatapan tajam dari Alisba.

"Jadi, maksudmu aku bisa mandiri dengan tinggal bersama tikus-tikus itu?"

"Iya, melawan rasa takut sama artinya belajar lebih bijaksana."

"Tidak, aku lebih baik tidak bijaksana daripada harus tinggal bersama tikus-tikus itu."

Fariz menghela napas berat, sikap Alisba memang tidak pernah berubah sejak kecil dulu. Ia pun menurunkan Alisba di atas sofa lantas melirik tikus-tikus yang mulai berdatangan dari segala sisi.

"Sepertinya—"

"Kita harus pindah," potong Alisba sudah tau jalan pikiran Fariz.

Tapi, Fariz menggeleng pelan. Ia sudah membayar kontrakan itu selama satu tahun. Ia juga suka dengan suasana sawah di sekeliling kontrakan. Jadi, ia tidak akan pindah meskipun ada tikus di sana.

"Kita bisa menyuruh orang untuk merenovasi beberapa ruangan. Jadi, untuk hari ini dan seminggu ke depan kamu bisa menginap di salah satu hotel."

Alisba menghela napas panjang berusaha sabar. Ia seperti wanita yang tidak memiliki rumah dan orang tua sehingga harus dioper ke sana-sini. Ia benar-benar harus sabar menyikapi suaminya.

"Baiklah, untuk sekarang aku tidak mau tinggal di sini!" Tekan Alisba.

"Ya sudah, ayo pergi."

"Gendong," rengek Alisba tiba-tiba manja.

Fariz menaikkan sebelah alisnya merasa heran dan bingung.

"Lantainya pasti sudah dilewati banyak tikus. Aku tidak ingin gamisku terkena virus atau penyakit gara-gara itu."

"Kamu bisa mengangkat gamismu!" Tolak Fariz.

"Tidak, aku ingin digendong!"

"Aku tidak mau menggendongmu."

"Benar-benar tidak adil. Tadi pagi di TPU kamu bisa menggendong Dinda, sedangkan aku yang meminta malah tidak terima. Padahal keadaannya persis sama, apakah kamu harus menyukai orang dulu baru peduli pada keadaannya?"

"Dia istriku—"

"Aku juga istrimu!" Potong Alisba sedikit membentak.

Fariz cukup kaget, ia tidak menyangka Alisba akan mengungkit semuanya. Ia tak bermaksud bersikap tidak adil, tapi ia memang melakukan semuanya sesuai dengan kenyamanannya.

"Baiklah, aku akan menggendongmu."

"Tidak, aku sedang marah sekarang," tolak Alisba langsung turun dari sofa lantas berjalan pergi.

Fariz bengong di tempat, ia benar-benar tak menduga jika Alisba bersikap kekanakan. Ia tau umur Alisba 2 tahun lebih muda di bawahnya, tapi Alisba sudah besar dan lulus S2 dari Australia. Bukankah ia harus bersikap lebih dewasa sekarang?

"Mobilnya di sini!" Teriak Fariz seolah memanggil Alisba agar kembali, pasalnya ia berjalan kaki sampai 5 meter di depan sana.

"Aku sedang marah, aku tidak mau berbicara denganmu!"

"Kamu sudah besar, jangan merajuk seperti anak-anak!"

"Iya, kamu yang tua tidak bisa mengerti keadaanku!"

"Astagfirullah," beo Fariz menghela napas panjang.

****

#CUAP-CUAP AUTHOR

Bagaimana dengan part ini? Semoga bisa mengobati kerinduan dan kesabaran untuk menunggu sampai Sabtu/Minggu ke depan.

Terima kasih sudah membaca, jangan lupa share ke teman, keluarga, jika menurut kalian cerita ini cocok untuk mereka.

Next, tunggu ya, sabar teman-teman 🤗

Sujud Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang