Bab 31. Harapan

759 23 2
                                    

"Apa benar itu keinginan kamu, mas?" Tanya Alisba dengan tangan bergetar memegang surat gugatan cerai.

Fariz terdiam lama sebelum akhirnya mengangguk, "Kita harusnya tidak menikah, Alisba. Aku tau ini kesalahan-"

"Hanya karena Dinda, mas? Kamu melanggar syariat agama hanya karena ego kamu? Kamu sendiri tau mas, saat menikah denganku maka kamu harus bisa menerima resikonya. Sekarang apa yang ku lihat? Surat ini bahkan bisa membuat Allah murka. Rasanya tidak adil, kamu tega menyakitiku demi istrimu yang lain. Apa kamu tidak takut karma?!" Potong Alisba dengan tangis sudah tumpah mengalir di wajahnya.

Fariz tidak mampu berkata-kata lagi, ia terlihat lemah mendengar Alisba menyumpahinya atas perbuatannya. Tapi, apa yang Fariz bisa lakukan? Cintanya begitu besar hingga tidak bisa melukai Dinda sebelum ia tahu tentang keberadaan Alisba.

"Aku tidak terima diceraikan, aku tidak terima pernikahanku berakhir seperti ini!"

Alisba menangis deras, "Dari awal aku tidak pernah meminta kamu untuk menikahiku, aku tidak pernah memaksa kamu melakukannya. Tapi kamu yang mau, kamu yang membuatku terikat di hubungan kalian!" Cecarnya dengan isak tangis. Faris lagi-lagi diam mendengar semua bentakannya.

Fariz berusaha berpikir jernih, tapi pikirannya tetap tertuju pada Dinda. Ia tidak bisa menghilangkan gadis itu di dalam pikirannya. Bahkan saat sedang bersama Alisba, kegelisahannya dan ketakutannya tetap berada di tempat gadisnya.

"Seandainya kamu melakukannya karena paksaan dari keluarga Dinda, apakah kamu tidak punya prinsip sebagai laki-laki untuk menolaknya? Bahkan jika disuruh guru kamu sekalipun, kalo dia berani menyuruh kamu melakukan hal yang tidak baik, maka kamu bisa menolaknya!"

Fariz menggeleng pelan, "Tolong kontrol ucapan kamu, Alisba. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga Dinda. Apa yang aku lakukan sekarang tidak ada unsur paksaan dari siapapun," jawabnya dengan netra mata yang sedih.

Alisba teringat kejadian semalam, pasti Fariz sedang berbohong sekarang. Tidak mungkin Fariz melakukannya tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Ia mudah terpengaruh karena bujukan dari keluarga Dinda.

"Bohong, semalam aku sempat diintimidasi keluarga Dinda. Pasti kamu melakukan ini karena bujukan mereka. Kamu tega, mas, kamu membiarkanku menderita hanya untuk mereka!" tangisnya semakin deras.

Fariz menghela napas panjang, "Kamu salah paham, ini tidak ada hubungannya dengan keluarga Dinda. Ini semua salahku. Kehadiran kamu yang membuatku terusik, Alisba. Setiap menatap Dinda aku selalu merasa bersalah karena sudah mengkhianatinya. Aku tidak berani sejauh ini melangkah bersama kamu, aku takut menyakiti Dinda."

Alisba tersenyum kecut dengan bola mata semakin memerah, "Lalu aku, bagaimana?! Apakah pernah sedikit pun di benak kamu untuk memikirkan kebahagiaanku? Posisi kami sama mas, tapi kamu lebih memihak istri pertama kamu!"

"Iya, posisi kalian sama, tapi Dinda lebih membutuhkanku sekarang!" Debatnya.

"Kamu ingin melindungi dia dengan cara menceraikanku? Sama saja kamu mempermainkan pernikahan hanya untuk kepentingan pribadi kamu. Kamu tidak mempertimbangkan semuanya, bagaimana keadaanku setelah bercerai? Apakah kamu peduli tentang itu?!" Bentak Alisba.

Faris menyisir rambutnya frustasi. Ia melakukan ini karena memikirkan kehidupan Alisba juga. Ia tidak ingin menyakiti gadis itu lebih dalam lagi.

"Aku tidak akan pernah mencintai kamu Alisba. Hanya dengan cara inilah kita bisa memutuskan hubungan ini. Kita tidak akan pernah bisa membangun rumah tangga ini bersama!"

Alisba berusaha menggapai beberapa benda lantas melemparkannya pada tubuh rapuh Fariz. Terlihat kamar itu mulai berantakan ditambah suara tangis Alisba yang tidak surut dari tadi.

Sujud Terakhir Where stories live. Discover now