Bab 21. Kejadian di Malam itu

502 14 2
                                    

Dinda menempatkan dirinya di tengah-tengah antara ayah dan ibunya. Pukul 9 malam memang waktu yang tepat untuk mereka berbincang hangat. Tampak ayah mulai bercerita seputar santrinya yang kelewatan unik.

Berbeda dengan Dinda, gadis cantik itu terus mencuri pandang ke arah kamar Dini. Perasaan Dinda begitu kalut, Dini belum juga keluar kamar sepulang dari masjid.

Entah siapa yang menyakiti hati saudaranya? Apalagi samar-samar Dinda mendengar Dini menangis sesenggukan, tak biasanya ia bersikap lembek seperti ini. Siapa juga yang berani menyakitinya? Perempuan super galak yang gak bisa diganggu sedikit pun.

"Dini!" Panggil Ayah membuyarkan lamunan Dinda.

Sepertinya Kiayi Zakaria juga merasakan hal sama, kenapa anak perempuannya tak kunjung bergabung di ruang keluarga?

"Dini harus menyelesaikan satu pekerjaan," balas Dini serak, khas orang menangis.

"Siapa yang menyuruh kamu bekerja malam-malam begini? Ayo, temani ayah dan ibumu di sini."

Bagaimana mungkin Dini bisa mengelak lagi? Terdengar pintu kamarnya mulai terbuka, memperlihatkan Dini yang sedang awut-awutan tak memakai jilbabnya.

Satu pandangan Dini langsung tertuju pada Dinda. Solah menyimpan dendam, ekspresi Dini berubah sinis. Ia mulai melangkah kecil melewati anak tangga hingga akhirnya tiba di ruang keluarga.

"Duduk sini," baru saja mempersilahkan duduk, Dini hanya mengacuhkan Dinda.

Siapa yang tak kenal Dini? Ayah dan ibunya saja mengerti kalo mood Dini tidak baik malam ini.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" Tanya Ayah mulai mempersilahkan Dini untuk bercerita.

"Tidak ada," jawab Dini singkat berusaha menarik bibirnya untuk tersenyum tipis.

"Tidak ada? Jadi, siapa yang membuat anak ayah seperti ini?"

Dialah penyebab dukanya, tapi Dini tidak mengungkapkan hal yang sebenarnya.

"Aku baik-baik saja ayah, tolong pikirkan kesehatan ayah. Aku lihat ayah diam-diam minum kopi, jangan lagi ya!" mohon Dini berusaha mengalihkan topik.

Kiyai Zakaria malah tersudutkan, ia berdeham pelan sesaat melihat dua perempuannya yang lain menatap sinis.

"Jadi, ayah diam-diam minum kopi? Siapa yang ngasih? Berani-beraninya ayah gak nepati janji. Ayah gak ingat kata dokter apa?!" Omel Dinda berlanjut.

"Ibu capek ngingetin, tapi ayah kalian memang seorang pejuang. Pejuang sakit yang gak mikirin keluarganya."

"Mau bagaimana lagi? Tamu adalah raja, ayah berusaha memberikan apapun yang terbaik untuk tamu ayah. Beliau berasal dari Makassar, kebetulan sedang menggeluti usaha kopi khas Makassar. Jadi, ayah disuruh cobain. Masa nyakitin hati tamu?" Jelas Kiayi Zakaria cukup santai.

"Lain kali, jujur aja bilang kalo ayah gak bisa minum kopi. Kata dokter kan gak boleh. Nanti masuk rumah sakit gimana? Siapa yang ngurusin pesantren? Ayah kan gak mau rencana dan peraturan pesantren ini berubah," cecar Dinda berusaha memperingatkan.

"Sekali-kali kan gak papa, nak."

"Sekali-sekali kalo dibiarin bakal berkali-kali, mending dengerin kata anak. Jangan minum kopi lagi!" Telak Nyai Fatimah cukup sinis.

Kiayi Zakaria menghela napas panjang lantas mengangguk ringan. Ia tak berani mendebat tiga perempuan yang ada di depannya. Ujung-ujungnya ia harus mengalah kalo mau rumah tetap tenang.

"Mau kemana?" Tanya Ayah melirik Dini bersiap-siap pergi.

"Mau ngecek semua dokumen untuk UTS besok, sekalian mau nganterin dokumen yang belum dianterin," jawab Dini beranjak pergi.

Sujud Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang