Bab 14. Niat Alisba

466 16 2
                                    

Tak langsung pulang ke rumah, Dinda mengajak Fariz untuk berkunjung ke sebuah pantai asuhan yang tak jauh dari rumah. Ia memang sering berkunjung ke sana untuk sekedar berbagai ilmu agama kepada anak yatim piatu.

"Sejak kapan kamu tau tempat ini?"

"Sejak pindah ke daerah sini. Bukankah kamu tau tentang istrimu?"

"Iya, aku tau kamu menyukai anak kecil."

"Tepat sekali, jika pekerjaanku sudah selesai di rumah. Aku sering pergi ke sini untuk menemui mereka," jelas Dinda sambil tersenyum pada ruangan favoritnya, tempat dimana bayi-bayi mungil dirawat karena tidak memiliki orang tua.

Baru menginjakkan satu langkah ke dalam, Dinda disambut suara tangis bayi dari seluruh penjuru ruangan. Pada pukul sembilan pagi, bayi-bayi itu memang sering bangun karena kelaparan.

Fajar hanya mengikuti Dinda di belakang sampai istrinya menggendong satu bayi mungil di tangannya. Bayi laki-laki berkulit putih, hidung mancung, rambut hitam, dan menggemaskan. Dari sekian bayi lainnya, hanya dia yang tertidur pulas.

"Umurnya kurang lebih 4 bulan, aku menemukannya di depan pintu masjid yang ada di perkomplekan," jelas Dinda masih teringat momen ia menemui bayi itu saat ingin salat subuh berjamaah.

"Kenapa baru memberitahuku?"

"Waktu itu kamu sedang kerja di luar kota, aku takut mengganggumu. Makanya aku langsung membawanya ke sini. Dan hari ini waktu yang tepat untuk memberitahumu bayi tampan ini."

"Namanya siapa?" Tanya Fariz sambil memainkan jemari telunjuknya di pipi kanan bayi itu.

"Karena ada kamu di sini, maka berilah nama yang bagus untuknya."

Alis Fariz terangkat heran, Dinda tersenyum seolah mengetahui isi pikiran suaminya.

"Aku menunggu kesempatan untuk mengajakmu bertemu dengannya. Sekarang waktunya sudah tepat, berikan dia nama yang memiliki makna baik sehingga ia menemui keberkahan dalam hidupnya."

Fariz mengamati kebahagiaan yang dipancarkan oleh Dinda. Terlihat ia seperti ibu yang menyayangi anak kandungnya sendiri. Ia kembali mengingat momen sedih saat mereka kehilangan anaknya. Andai dia masih ada, pasti kebahagiaan Dinda berkali-kali lipat dari ini.

"Ahmad Ghifari Isyraq," sebut Fariz sambil tersenyum simpul saat bayi itu mulai mengerjapkan mata secara perlahan.

"Tuh lihat, dia setuju dengan nama itu," bisik Dinda tidak mau menganggu Ghifa yang ada di gendongannya.

Ghifa merenggangkan otot-otot mungilnya. Ia hanya memandang pria dan wanita yang saat ini menatapnya lekat.

"Apakah kamu mau mengadopsinya?" Tanya Fariz berhasil membuat Dinda tertegun.

Dinda menggeleng cepat tanda menolak. Saat menemukan Ghifa untuk pertama kalinya, ia juga menginginkan hal itu. Tapi, ia tak mampu karena penyakit kanker yang membatasi segala aktivitasnya. Ia takut jika mengadopsi Ghifa maka ia tak bisa mengurusnya sampai dewasa nanti. Akan lebih baik ia tumbuh dan besar di sini bersama orang-orang yang menyayanginya.

"Kenapa?"

"Aku ingin melahirkan dan membesarkan anakmu," balas Dinda menatap Fariz cukup dalam.

Sejenak Fariz hening, keduanya sama-sama diam saling tatap. Perlahan Fariz mengusap perut Dinda seolah menginginkan hal sama. 

"Insyaallah," bisik Fariz pelan tapi masih terdengar halus di telinga Dinda.

Dinda berusaha mengaminkan dalam hatinya, meskipun ia tau keinginannya tidak akan tercapai tapi ia masih memiliki harapan pada Allah SWT. Ia yakin sang Maha Kuasa pasti mendengar doa kecil mereka.

Sujud Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang