Bab 9. Hanya Manusia

491 19 2
                                    

Fariz berusaha membangunkan istrinya, tapi Dinda tidak memiliki tanda-tanda untuk segera bangun. Ia begitu khawatir lantas membawanya  pergi ke rumah sakit.

"Istri bapak mengalami sleep fainting yaitu pingsan saat tidur. Untung saja bapak langsung membawanya ke sini sehingga kami bisa menanganinya. Sleep fainting ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk dehidrasi atau kekurangan cairan dalam tubuh dan penggunaan obat-obatan tertentu yang dapat memengaruhi tekanan darah. Sepertinya istri bapak juga mengalami kelelahan dan stres, jadi saya hanya akan memberikan beberapa resep obat dan menyarankan untuk tidak melakukan pekerjaan yang berat-berat," jelas dokter wanita padanya.

Setelah mendengar penjelasan itu, ia baru menyadari bahwa Dinda berusaha menyembunyikan rasa lelah yang ia derita. Pasti Dinda stres karena beberapa kejadian yang ia alami belakangan ini. Fariz jadi merasa bersalah karena tidak peka terhadap kondisi istrinya.

"Fariz, kita dimana?" Tanya Dinda baru saja bangun dari tidurnya lantas melihat ke arah sekeliling.

Fariz tersenyum tipis, ia segera mencium kening istrinya agar tidak merasa khawatir. Terlihat ia juga tidak langsung menjauh dari istrinya, malah wajahnya masih tetap diam di depan Dinda sambil menatap bola mata gadis itu yang terlihat lesu.

"Kenapa kamu memandangku seperti itu? Apakah aku terlihat menyedihkan?" Tanya Dinda pelan.

"Aku baru sadar," jawab Fariz mulai mengusap wajah pucat Dinda dengan lembut.

"Kenapa kamu tidak pernah cerita tentang semua masalah yang kamu hadapi?" Lanjutnya.

Dinda tertegun cukup lama, apakah Fariz sudah mengetahui tentang penyakitnya?

"Tidak, aku tidak pernah menyembunyikan apapun darimu. Aku-"

"Aku sangat khawatir," potong Fariz tidak mau mendengar Dinda mengelak lagi.

"Bukankah aku suamimu? Tolong, tempatkan aku di bagian utama dalam hidupmu. Jadikan aku teman atau sahabat agar kamu bisa bercerita banyak hal. Aku tidak ingin hanya karena ikatan cinta, kita tidak bisa saling berbagi satu sama lain," jelasnya berusaha memberikan nasihat sekaligus kepedulian pada Dinda.

"Apakah aku harus mencintaimu, baru kamu bisa terbuka denganku?" Tanya Fariz sedih.

Dinda menggeleng pelan, ia mulai menangkup wajah Fariz dengan kedua tangannya. Ia tahu pasti Fariz merasa bersalah tentang keadaannya sekarang. Tapi, ia sama sekali tidak menuntut tentang hal itu. Ia sangat berusaha melakukan semuanya sendirian agar Fariz tidak merasa kerepotan.

"Selama kita hidup bersama aku tidak pernah merasa kekurangan sedikit pun. Aku merasa selalu dicintai jika ada di samping kamu. Jadi, aku tidak bisa membedakan antara suamiku dan Fariz yang asli? Keduanya memiliki sikap dan perhatian yang sama. Dan aku beruntung karena memiliki suami yang bertanggung jawab seperti kamu."

Entah kenapa Fariz jadi semakin merasa bersalah karena tidak bisa memberikan cintanya pada Dinda. Ia juga bingung, sampai kapan ia harus bersikap seperti ini?

Ia mencium tangan Dinda yang ada di sisi wajahnya. Ia bersyukur karena Tuhan memberinya istri yang solehah dan berhati mulia seperti malaikat.

"Aku gak tau harus ngomong apa lagi, tapi terima kasih sudah mau menjadi  istriku," puji Fariz sambil mencium bibir Dinda sangat singkat, hanya kecupan kecil.

Tapi itu memberikan efek luar biasa pada jantung Dinda. Dinda menelan salivanya merasa sangat gugup. Fariz malah tak kunjung menjauh, ia tetap di posisi yang sama lantas menatap Dinda lebih dalam.

"Mulai sekarang aku akan belajar mencintai kamu," gumam Fariz pelan dan yakin.

Dinda semakin membisu, air matanya tiba-tiba menetes karena tersentuh. Fariz mengusap air matanya dengan lembut.

Sujud Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang