Bab 28. Koma

574 22 0
                                    

Kata yang bisa disandingkan di belakang nama Fariz adalah gelar sebagai suami yang selalu terlambat hadir. Penyakit yang serius membuat waktu yang dibutuhkan untuk dokter melakukan operasi cukup lama yakni sekitar 6 jam. Baru keluar menjelang waktu sore, saat itu Fariz sedang melaksanakan shalat di masjid Rumah Sakit.

Seperti wanita sebatang kara, Dinda hanya ditemani alat-alat rumah sakit yang terus mengontrol keadaannya. Ia hanya tertidur pulas dengan wajah pucat seperti wanita yang tidak bernyawa. Dini dan Zahid belum juga balik lagi, begitu pula suaminya yang entah pergi kemana.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk Fariz berjalan menuju ruang operasi yang sudah lenggang, tidak ada orang. Ia menanyakan kepada perawat dan mengetahui bahwa istrinya sudah dipindahkan ke ruangan ICU. Ia segera menuju ke tempat istrinya berada.

"Mohon maaf pak, untuk saat ini pasien sedang dalam masa pemulihan setelah operasi. Bapak bisa menunggu di sini ya," ucap perawat tidak mengizinkannya masuk ke dalam.

Setelah beberapa jam tidak bertemu dengan istrinya, Fariz harus dibuat sabar menunggu lagi. Ia memilih berdiri di depan pintu dengan tatapan mengarah ke sosok yang terbaring lemah di atas brankar. Air mata Fariz kembali menetes, baru kali ini dia melihat sosok wanita paling tegar dan kuat di hidupnya berubah lemah tidak berdaya.

"Setelah ibu pergi, aku tidak ingin ditinggalkan lagi," gumam Fariz tiba-tiba mengatakan itu. Ia merasa Dinda sedang sakit parah, pasti ada sesuatu yang tidak ia ketahui tentangnya.

"Aku tidak akan pernah mengizinkanmu pergi dari hidupku," lanjutnya sambil menyeka air matanya.

"Ayo, secepatnya bukalah matamu, aku akan memberikan apapun yang tidak pernah kamu dapatkan sebelumnya." Fariz merasa hancur, ia menyadari bahwa ia tidak pernah membuat istrinya spesial seperti pasangan yang lain.

"Semuanya milikmu sekarang," ucapnya seolah mengatakan bahwa jiwa dan raganya sekarang milik Dinda.

"Bukankah sebelum menikah kamu menginginkan itu?"

Flashback on

Fariz sedang duduk di kursi dengan wajah terus menghadap ke luar jendela mobil. Suasana kota tempatnya belajar masih sama, ada beberapa yang berubah tapi kenangannya masih sangat terasa. Saat ini mobil putih yang ditumpanginya mulai masuk ke dalam pekarangan pesantren Al-Qur'aniyah. Dentuman alat musik islami yang disertai sholawat menyambutnya sangat meriah.

Fariz merasa sungkan, ia bukan siapa-siapa tapi gurunya begitu sangat mengistimewakannya. Ia melihat sekeliling pesantren yang tidak berubah, hanya santri dan santriwatinya yang berganti setiap tahun. Beberapa teman-teman seperjuangannya juga masih ada di sana untuk mengabdi kepada pesantren tercinta.

Kiyai Zakaria menatap Fariz cukup lama lantas memeluknya erat. Ia segera membawa Fariz untuk masuk ke tempat acara berlangsung. Kebetulan, kedatangan Fariz bertepatan dengan acara ulang tahun pesantren Al-Qur'aniyah. Jadi, ia dianggap sebagai salah satu tamu penting di sana.

Fariz duduk di antara para guru dan kiyai yang mengajarnya dulu. Begitu bangganya mereka melihat Fariz akhirnya kembali setelah mendapatkan beberapa gelar studi di Kairo. Alumni terbaik di angkatannya serta digadang-gadang akan meneruskan pesantren Al-Qur'aniyah.

Ya, Fariz kembali bukan cuma-cuma. Beberapa tahun silam, dia sudah berjanji akan menikahi Dinda setelah kembali dari Kairo. Sejak menapakkan kaki di sana, jantungnya tak berhenti berdetak dua kali lipat. Ia takut sekaligus cemas untuk bertemu lagi dengan gadis yang menurutnya aneh.

"Nak, sekarang waktunya untuk kamu berpidato," ucap Kiyai menyuruhnya untuk maju ke atas mimbar.

Fariz sudah siap sedia, kebetulan tema untuk ulang tahun ini adalah menjaga amanah dan tradisi dalam merespon modernisasi. Fariz berdiri di atas mimbar dengan mata melirik seluruh santri yang sedang menatapnya takjub. Ia seperti kakak yang harus bertanggung jawab untuk memberikan arahan kepada juniornya.

Sujud Terakhir Where stories live. Discover now