CHAPTER #11

434 99 5
                                    

Atap rubanah ini rasanya runtuh menimpa Haruto yang menyaksikan sendiri ketika kepala Haruka, Ibunya itu berada di tangan kanan Nenek dengan kondisi terpisah dari tubuhnya. Badan Haruka ambruk dan tersandar di pagar tangga pengaman, mata yang masih terbuka itu menatap tak bercahaya pada Haruto. Membuat Haruto tak dapat bergerak sedikit pun dari hadapan Nenek, semuanya berlangsung dengan cepat bahkan tanpa dugaan Haruto.

Kedatangan Zivan dengan kaki melayang di udara membuat Haruto terkesiap dan sadar akan hal tak biasa yang ia lihat beberapa detik itu. Ia segera mundur perlahan-lahan, dan mencuri pandang pada tangga di sebelah kanannya-tangga keluar dari rubanah terkutuk ini. Zivan menyambut kepala Haruka yang diberikan Nenek padanya, mungkin akan bernasib sama seperti kepala Asahi-Haruto menduga di dalam hati.

Haruto mengambil langkah seribu, kendati Zivan bergerak tiga kali lebih cepat mengejarnya. Zivan berdiri dengan kedua telapak tangannya. Kepalanya berada di bawah dan hal itu tak mempengaruhi penglihatannya untuk menikam Haruto-yang berdiri ciut dengan tungkai gemetaran tanpa sengaja. Gigi Zivan terlihat kotor dengan air liur yang kental, menetes membasahi anak tangga tempatnya berpijak. Nenek sendiri tidak tahu ke mana rimbanya, yang jelas Haruto harus keluar dari rubanah ini.

Haruto nyaris mundur ketika Zivan melangkah maju, sekarang Zivan berdiri normal, kepalanya terlihat bergerak liar seperti tanpa tulang, matanya yang sayu namun menyala membuat Haruto ragu mengakui kalau Zivan saudara sepupunya, ditambah wajahnya yang pucat seperti mayat memperburuk kondisinya. Seperti nama panggilan bibi Neet, Boneka daging, memang cocok mendefinisikan Zivan.

"Haruto!" Panggilan keras dari Doyoung membuat rasa takut Haruto berkurang sedikit, mata Haruto melihat kehadiran ketiga sepupunya di undakan tangga, tepat di belakang Zivan. Tanpa banyak rencana dan drama yang panjang, Junkyu sudah lebih dahulu menendang punggung Zivan hingga ambruk dan jatuh ke bawah, tepat pada genangan darah milik Haruka.

Haruto segera berlari mendatangi ketiga sepupunya, tanpa banyak bicara mereka pun langsung bergerak cepat menjauh dari tangga tersembunyi di Mansion ini, tangga rubanah yang sampai sekarang masih misterius bagi mereka. Ke-empat bersaudara sepupu itu saling diam, tidak ada hal yang bisa mereka bicarakan. Sampai akhirnya mereka sampai ke kamar Haruto, mereka saling tatap masih tanpa suara. Hingga akhirnya Doyoung lah yang mulai menghangat kan suasana.

"Junkyu, kapan kita harus pulang? Aku takut di sini." Ujar Doyoung menatap risau pada kakak sepupu terdekatnya, memilin ujung piyamanya yang kotor dan bau.

"Doyoung, berhentilah mengeluh. Kali ini saja, mengerti lah. Aku mohon." Junkyu menatap wajah adik sepupunya itu, menjawab pelan namun tegas agar Doyoung bisa menyadari bagaimana sulitnya situasi sekarang. Ditambah ini malam hari, sulit sekali keluar dari Mansion karena tidak semua lampu di sini menyala.

Doyoung pun menunduk pasrah, Haruto dan Mashiho dengan mata sebelahnya itu menatap wajah suram Doyoung, sebagai sepupu paling muda di antara mereka. Haruto dan Mashiho paham betul perasaan Doyoung, bahkan Mashiho menangkap jelas pemandangan kaki Doyoung gemetaran di sana, walaupun hanya dengan satu mata saja Mashiho sudah tahu.

"Kita harus keluar dari sini." Ucap Mashiho begitu yakin, membuatnya menjadi pusat perhatian di dalam kamar ini.

"Kita harus cari para orang tua, tidak mungkin berjalan kaki pulang ke rumah 'kan?" Junkyu ikut bergabung dengan rencana yang terbilang berani si Mashiho.

"Jangan! Para orang tua pasti ada kaitannya tentang ini. Mereka-" suara ketukan pintu dari luar membuat perkataan Haruto tertunda disusul Mashiho yang segera membekap mulut Haruto.

Suara ketukan kembali berulang, membuat seisi kamar bungkam dengan ketakutan masing-masing. Isi kepala mereka mungkin serempak menduga siapa yang berdiri di balik pintu itu. Ketukan kian keras, degup kepala yang dihantamkan ke pintu terdengar sangat jelas. Keempat saudara bersepupu segera berdiri dari duduk mereka, semuanya mundur menjauhi pintu dan berpikir mencari persembunyian yang aman.

Pintu kamar terbuka lebar, rupanya pintu itu berhasil didobrak oleh sosok berpiyama dengan wajah pucat yang menyeramkan. Zivan berdiri seperti orang linglung dengan tatapan kosong, sudut bibirnya ditarik ke atas-melahirkan senyuman manis yang suram. Langkahnya terseok saat masuk ke dalam, kondisi tubuhnya sudah cacat, seperti banyak cedera fisik yang begitu tampak-patah tulang. Mata Zivan mencari keempat sepupunya yang tiba-tiba menghilang dari kamar ini.

"Mengajak ku main petak umpet? Akan ku cari." Ucap Zivan pelan dengan suaranya yang berbisik terdengar basah oleh dahak.

Doyoung yang berada di bawah ranjang menggigit bibirnya begitu keras, wajahnya yang pucat begitu kentara dengan peluh di dahinya. Sialnya lagi, Junkyu dan ketiga kakak sepupunya bersembunyi terpisah. Ironisnya, Doyoung lah yang paling dekat jaraknya dengan Zivan. Doyoung menelan saliva melihat sepatu Zivan yang kotor berpijak tepat di depan matanya, semakin rapat pula Doyoung mengunci mulutnya bahkan tidak mengambil napas beberapa saat.

Doyoung memejamkan mata, namun beberapa saat kemudian ia membuka kembali matanya. Dilihatnya sudah tidak ada lagi keberadaan Zivan di depannya, Doyoung bernapas lega sekarang denyut jantungnya lebih normal ketimbang tadi.

"KETEMU!!! HAHAH!" Tawa Zivan menggema, kedua tangannya begitu kuat menahan dan mengangkat ranjang tepat ke udara, Doyoung merinding-dirinya seperti kucing kedinginan kehilangan kardus tempatnya berlindung, semudah mengangkat kardus itu Zivan menyingkirkan ranjang tempat Doyoung berlindung.

Doyoung segera berdiri dan melangkah menuju pintu kamar namun sayang, pahanya ditusuk Zivan dengan gunting jahit-membuat Doyoung meraung di tempat tanpa bisa menghindar. Ia menoleh ke belakang, menatap wajah Zivan yang merengut dan puas melihat darah segar Doyong yang keluar cukup banyak.

"Kau harapan keluarga besar kita, Doyoung. Bau badan dan darah mu sangat khas. Tidak sulit menemukan mu, sayang." Zivan memposisikan dirinya seperti Doyong, yakni tengkurap kesakitan di atas lantai tepat di sebelah kanan Doyoung posisi Zivan, mata keduanya beradu pandang.

Zivan kembali berdiri, dia menjambak rambut atas Doyoung dan menarik surai itu sampai Doyoung ikut berpindah tempat. Zivan menyeret Doyoung tepat dari rambutnya-rasanya seluruh rambut di kepalanya tercabut hingga ke akar, kulit kepalanya perih, bahkan terasa koyak seperti kulit ayam yang di lepas dari dagingnya.

"Lepaskan!" Doyoung meraung kesakitan, kedua tangannya mencakar punggung tangan Zivan yang begitu kuat menyeretnya keluar dari kamar. Gunting jahit itu meninggalkan rasa nyeri dan perih yang menyerang paha Doyoung, membuatnya benar-benar ingin menangis di tempat.

Junkyu keluar dari persembunyiannya, mendatangi tempat persembunyian Haruto dan Mashiho, dia ketiga bersepupu itu saling tatap dan sepakat mengikuti langkah Zivan yang telah membawa Doyoung pergi. Ucapan Zivan tadi mengandung makna, mungkin semua ini juga berkaitan dengan keluarga Doyoung.


BONEKA DAGING

BONEKA DAGING | DOYOUNG & JUNKYU✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora