CH. 38

269 41 1
                                    

  Tungkai Zivan diseretnya dengan paksaan, ia melangkah tertatih-tatih, tulangnya yang sudah banyak patah tampak bergerak baik-baik saja padahal Doyoung sendiri tahu tubuh itu dipaksa untuk bergerak. Doyoung sendiri sebetulnya gemetaran melihat penampilan Zivan, Zivan terus mendekat, ia berdiri sebentar tepat di depan tumpukan meja tempat Doyoung berlindung.

  Kedua kaki Zivan gemetaran lalu celananya itu dibasahi oleh urinnya sendiri, urin pesing itu mengalir deras dan berhenti tepat membasahi kedua lutut dan tangan Doyoung yang bertopang di lantai. Suara tulang patah kembali terdengar diimbangi Zivan yang melipat lututnya dan menjatuhkannya tepat di hadapan Doyoung, mulutnya tampak berbuih dan ia berteriak keras namun tak berdurasi lama sebab Doyoung memasukkan bor baterai itu tepat ke mulut Zivan, suara mesin bor terdengar beradu dengan lidah Zivan yang hancur.

  Zivan keluar dari tumpukan meja itu dan menendang kepala Zivan dengan kuat, membuat kepala itu terbalik ke belakang. Namun, Zivan mendorong Doyoung ke belakang yang membuatnya tersandar di di tumpukan meja yang sekarang sudah hancur. Paku berkarat pun mencungit membelah udara, Zivan kembali memperbaiki posisi kepalanya dengan memutar tiga ratus enam puluh derajat badannya.

  Ia menganga lagi—membuat darah di mulutnya berjatuhan dan menetes di sepatu Doyoung, Zivan mengayunkan kepalanya ke belakang lalu siap menghantamnya ke kepala Doyoung dengan kuat, namun Doyoung sempat menghindarinya dan dahi Zivan tertusuk paku berkarat, sangat dalam bahkan kepalanya menempel di reruntuhan meja. Zivan mengerang marah namun tubuhnya lambat laun melemah dan berakhir lumpuh tanpa terbebas dari paku itu. Tubuhnya lemas dan diam tak bergerak, hal itu membuat Doyoung berpikir, mungkin roh jahat sudah tidak bisa mengendalikan tubuh Zivan.

   Doyoung merasa sangat lega setelahnya, belum banyak napas yang berhasil ia tarik. Anak panah menancap di bahunya, Doyoung hanya diam merasakan bahunya yang terasa mati. Keringat dan darah sudah tercampur menjadi satu membasahi wajah hingga dadanya, ia menatap wajah Yuha Ibunya Junkyu yang berduduk tanpa harapan tepat di hadapan mayat Junkyu. Satu anak panah yang tertuju padanya telah meleset dan menancap di punggung mayat Zivan, Doyoung mengarahkan atensinya ke setiap sudut perpustakaan rubanah ini, namun tidak melihat siapa yang sedang menggunakan busur, karena ia melihat Yuha diam tanpa satu senjata pun di tangannya.

  Anak panah kembali menembus udara dan kali ini menancap di kepala Yuha, Doyoung masih di tempatnya dan mengigit bibirnya saat anak panah di bahunya ia tarik ke atas, matanya menatap Yuha yang masih duduk menunduk dengan anak panah di kepalanya. Malam semakin dingin seperti suasana bisu ini, pupil mata Doyoung melebar saat ia melihat Yuha menarik ujung anak panah yang menancap di kepalanya, mudah sekali Yuha mencabut benda itu dari kepalanya.

  Tangannya di angkat ke udara sambil memegang erat anak panah, kepalanya tampak bergoyang karena Yuha terdengar tertawa kecil namun puas. Doyoung melihat sendiri Yuha menusukkan ujung anak panah tepat di dada mayat Junkyu, hingga empat tusukan mayat beku Junkyu sama sekali tidak mengeluarkan darah.

  Tawa Yuha semakin terdengar membesar,  ia kembali menusukan anak panah itu pada putranya sendiri. Kepalanya semakin menunduk dan tampak mengigit daging Junkyu, Yuha kembali tertawa sambil mengunyah makanan di hadapannya. Doyoung rasanya ingin menangis melihat Kakak sepupunya yang nantinya akan dikebumikan dengan kondisi seperti itu.

  Tawa putus asa Yuha terdengar memelan dan tiba-tiba saja ia berdiri tegak dengan kakinya yang lurus seperti kejang, ia berbalik menatap wajah Doyoung yang pastinya sangat ketakutan, Doyoung melihat dengan jelas Yuha yang pucat dengan hiasan daging di mulutnya yang masih di kunyahnya, mata Doyoung tak berkedip saat melihat kerongkongannya bergerak saat menelan daging Junkyu.

Mata Yuha berkedip beberapa kali saat menatap wajah Doyoung dan ia berkata dengan posisi mulutnya yang miring.

"Mereka bilang kau anak Neri, anak hasil hubungan sedarah yang dinanti," Yuha tampak menggeleng dan maju selangkah, sedangkan Doyoung membisu dengan tubuh tegang.

"Padahal tidak semua hal yang kau dengar adalah kebenaran," Yuha tertawa kecil setelah berkata demikian. Ia melangkah sekali lagi ke depan dan menjatuhkan anak panah dari genggamannya.

"Akh," Yuha mendongak menatap platpon, ia tampak menikmati udara yang membelah hidungnya nan berdarah. Ia kembali menunduk sambil menyeret kakinya.

"Banyak yang salah paham soal kelahiran mu boneka manis, banyak yang salah informasi tentang darah daging mu yang sekarang tampak manis boneka sayang, siapa yang menyangka kalau sebetulnya jantung dan darah mu dihasilkan dari darah daging Yuha? Seorang adik yang direbut paksa dalam rahim ku saat kau berkembang dari embrio menuju fase organogenesis," Yuha tertawa lagi, ia semakin mendekat kepada Doyoung yang berdiri kebingungan, kenapa informasi yang dikumpulkannya selalu berbeda-beda.

"Nenek dan Neri jahat sekali bukan? Mereka merebut mu dari Yuha. Mereka membelah perut Yuha, lalu mengambil embrio yang sedang berkembang itu, Nenek memindahkan embrio itu ke rahim orang lain. Mereka memalsukan hasil hubungan sedarah yang katanya berhasil, padahal kau hanya bayi pindahan saja. Jadi siapa darah yang dikejar itu? Daging siapa yang paling lezat itu? Tidak ada, tapi aku jujur sekali pada mu bukan, bau mu memang manis. Aku pun lapar," Yuha tertawa lagi, ia menatap wajah Doyoung tanpa berkedip sedikitpun, membuat Doyoung merasa tertekan atas segala sesuatu yang tak masuk akal dan tak sampai dipikirannya.

"Tapi, aku tak makan daging hasil curian. Aku suka rasa, original." Yuha  melangkah dan berhenti tepat di tengah perpustakaan, matanya masih tertuju pada Doyoung yang masih diam di ujung sana. Tiba-tiba saja mata Doyoung berkedip saat ia melihat Yuha mematah tangannya sendiri, ditambah anak panah yang kembali menancap dari arah yang belum diketahui Doyoung.

Yuha berbelok ke arah rak buku, dan berdiri di tengah-tengah. Kedua rak buku bergoyang seperti mau rubuh dan benar adanya, kedua rak itu rubuh menimpa Yuha. Doyoung melihat sendiri bagaimana tubuh Yuha ambruk ditindih kedua rak buku itu.

Doyoung terduduk berlutut dengan tubuhnya yang lemas, matanya menatap wajah Junkyu yang semakin mengeras. Ia merangkak karena tak sanggup berdiri mendatangi Junkyu di sana, tangisnya tak dapat ditahan, sekarang Doyoung memahaminya, sekarang ia mengerti, sekarang semuanya sudah jelas. Doyoung sadar, kenapa Junkyu berusaha melindunginya, kenapa Junkyu rela terluka hingga berakhir menutup mata untuk selamanya, ia tahu alasan kenapa Junkyu berharap ia bisa melanjutkan hidup ini, itu karena ia adalah saudara kandung yang harus direbut. Doyoung sadar, bahwa seorang adik yang diharapkan Junkyu adalah dirinya, Doyoung mengutuk dirinya sendiri karena mengabaikan betapa berharganya libur tahunan di Mansion ini bagi Junkyu, Doyoung tidak bisa menebak seperti apa sakitnya saat mengetahui kalau janin adiknya telah diberikan kepada orang lain.

"Kakak! Bangun lah, aku ingin kau tahu aku masih hidup! Aku ingin kau tahu aku masih berjuang di sini! Kakak mendengar ku 'kan?" Doyoung menggoyang tubuh kaku itu, berharap matanya terbuka dan senyuman lebar yang ia rindukan terpatri di wajah anemia itu. Baru beberapa jam di tinggalkan rasanya ia sudah merindukannya, rasa rindunya sekarang berbeda dengan sebelumnya. Ini adalah perasaan yang tidak sama seperti sebelumnya.

  Di tengah tangisnya yang pilu, anak panah dari atas sana menancap di punggung Doyoung—hal itu membuatnya terdiam menahan tangis yang meledak. Ia mendongak ke atas dan melihat Nenek bersama Haruto menempel di flatpon, busur di tangan Haruto tampak senang melihat wajah takut Doyong dan wajah Nenek yang mulai membusuk tampak kecewa karena daging incaran tak juga bisa dinikmati.

"Sudah saatnya!" Ucap Nenek dan jatuh seperti cicak di atas lantai, mesin pemotong kayu pun berada di kedua tangannya, Nenek berdiri melayang tanpa tumpuan—ia menekan gas mesin kayu dan tersenyum kecil.

🔸🔹🔸🔹

BONEKA DAGING

BONEKA DAGING | DOYOUNG & JUNKYU✓Where stories live. Discover now