Ch. 27

310 50 6
                                    

  Doyoung menaruh tangannya ke belakang, dan menarik pisau yang ternyata ia ambil tanpa ketahuan Hanju. Doyoung mengambil pisau itu saat Hanju menyeretnya tepat melewati Junkyu, pisau yang Junkyu gunakan untuk membunuh Haruto. Tangannya dengan cekatan menebas tali yang mengencang, dan saat ia terbebas pisau itu sudah berhasil menancap di perut Nenek. Doyoung membungkuk berniat mendatangi Yuha dan Hanju yang menutup kedua mata mereka karena mereka begitu fokus melantunkan bait-bait aneh yang asing.

  Ia terus merangkak seperti balita meskipun nyalinya tak terbilang besar untuk sekadar melukai keduanya. Doyoung berkali-kali meneguhkan hatinya dan yakin dengan pilihannya sendiri, yang dikatakan Junkyu padanya saat di perpustakaan rubanah tadi terasa sangat menghantui pikirannya, marahlah karena manusia diciptakan dengan emosional sebagaimana makhluk hidup. Kata itu terus menghantui pikirannya, ia mempercepat langkah sambil memegang pisau itu.

  Namun akhirnya ia berdiri tepat di hadapan Hanju dan Yuha, wajah Doyoung merah padam dan ia tak segan memegang kedua tanduk yang tumbuh di kepala mereka dan membenturkan keduanya dengan keras. Ia menusukkan pisau itu tepat di pergelangan tangan Yuha, tepat membelah urat nadinya. Setelah itu, Doyoung beberapakali menusukkan anak panah tepat di dada kiri Hanju. Ia sudah tidak peduli dengan benda cair kental amis yang mencuat bagai air mancur dari sumbernya, ia tidak peduli lagi sudah sebanyak apa cairan merah itu membasahi jubah hitam Hanju.

  Sudah berapa lubang yang dihasilkan dari anak panah Doyoung, ia berhenti dan mengambil balok yang digunakan untuk memukul leher Junkyu. Doyoung tampak sangat geram, emosi yang selama ini lama tertahan telah tersalurkan, sekarang ia tahu bagaimana caranya marah atas segala hal yang sudah ia alami di Mansion ini. Doyoung berteriak keras, kedua tangannya memegang balok besar itu dengan kedua tangannya.

  Ia memukul wajah Hanju dengan balok itu, sambil meraung keras ketika teringat tiga saudara sepupunya yang telah mati atas kejahatan keluarganya sendiri. Ia tak lagi peduli soal kemanusiaan, rasa emosi yang sudah meluap ini tak tertahankan. Malam ini seperti hal yang paling bersejarah di hidup Doyoung, bahwa marah itu penting. Ia terus-menerus memukuli wajah Hanju dengan balok itu, bahkan sudah gepeng tanpa bentuk. Darah yang banjir membasahi kaki dan wajahnya.

  Doyoung membanting balok itu sebagai pukulan terakhir untuk Hanju, meskipun kepala Hanju tak lagi berbentuk. Ia berakhir terduduk bersamaan air matanya yang jatuh. Di lihatnya ruang temaram ini, dan ia sadar Nenek sudah tidak ada di tempat itu. Matanya juga menatap Yuha yang masih dalam keadaan sadar namun mengalami pendarahan, tangannya menggelepar bagai ikan di darat. Jarinya terlihat bergetar, dan darah itu pun tak juga membeku, tinggal menghitung waktu Yuha juga pasti akan mati. Doyoung menelan salivanya, ia melangkah lemas ke arah Junkyu yang belum juga sadar, sedangkan Doyoung sudah semakin merasa bersalah, ia tak peduli seberapa nyaring suara tangisnya malam ini.

"Junkyu!" Panggilnya sambil berjalan, sesampainya di tempat Junkyu, Doyoung langsung berlutut dan membalik tubuh Junkyu, ia terkejut namun juga merasa lega saat melihat mata Junkyu yang masih terbuka. Bibirnya yang pecah-pecah, dan wajahnya yang pucat karena kehausan sekaligus anemia yang di deritanya itu membuat penampilannya tak segar sedikitpun.

"Aku menyayangi mu, Kak." Untuk pertama kalinya kata itu keluar dari mulut Doyoung, untuk pertama kalinya panggilan itu di dengar Junkyu.

"Kau, berhasil." Jawab Junkyu disusul senyum manis yang tak lagi ia lihat satu hari ini. Ini malam pertama di hari liburan, namun terasa sangat panjang. Malam panjang ini, menyisakan pahit akan rahasia yang belum diketahui keduanya.

  Doyoung membalas senyuman itu, dan memeluk Junkyu yang belum juga bangun dari posisinya. Doyoung mengusap leher Junkyu yang berdarah, bahkan ia membiarkan bau itu menyebar cepat ke penciumannya. Sedangkan Junkyu, ia beberapa kali menggeleng dan berusaha membalas pelukan Doyoung meskipun sekarang perutnya mual, kepalanya terasa sangat sakit, dan kerongkongannya sangat kering. Ia kehausan, Junkyu membutuhkan sesuatu yang manis dan gurih.

  Junkyu batuk kering, dan hal itu membuat Doyoung segera mengusap punggung Junkyu dengan lembut. Sedangkan Junkyu menutup matanya, dan merasakan lambungnya seperti dikuras habis. Hingga ia tak tahan lagi, tangannya mengerat memeluk Doyoung. Namun mulutnya sekarang terbuka dan memuntahkan cairan kental yang tak cukup banyak, sehingga hal itu tak dirasakan oleh Doyoung. Padahal, cairan kental yang dimuntahkan Junkyu mengenai punggung Doyoung.

  Seluruh tubuh Junkyu panas dingin, bahkan kulitnya membiru seakan darah dalam dirinya tak lagi mengalir, namun ia masih merasakan kehangatan dari Doyoung. Junkyu membenamkan wajahnya ke bahu Doyoung, ada sesuatu yang sedang ia usahakan. Namun, batuk itu kembali datang dan membuat Junkyu tak lagi membenamkan wajahnya di bahu Doyoung, Junkyu kembali merasakan lambung dan ususnya ditarik-tarik di dalam sana. Membuatnya kian merasa mual yang tak lagi ditahannya, ia menutup mulutnya dengan tangan kanan bermaksud menahan muntahnya agar tak keluar.

  Namun usaha itu tak berarti, cairan kental sekitar satu gelas air liur memaksa untuk keluar dari dalam tubuhnya. Membuatnya kian takut, ia merasa kecil sekarang, ia merasa semuanya akan berakhir. Junkyu semakin mengeratkan pelukannya, ada sejuta harapan yang besar tumbuh. Kening Doyoung menyatu, ia merasakan punggungnya basah oleh sesuatu, yang pasti itu adalah benda cair. Tangannya tak lagi mengelus punggung Junkyu, matanya tampak menatap punggung Junkyu tanpa berkedip. Doyoung menelan salivanya, tidak siap untuk kenyataan bahwa Junkyu mungkin sama seperti saudara sepupunya yang lain.

"Junkyu, kau baik-baik saja?" Pertanyaan itu tak langsung memperoleh jawaban secara langsung.

"Junkyu, aku harap ini sudah berakhir," Ucap Doyoung lagi, suaranya terdengar bergetar seolah Vibra dari pita suaranya telah digunakan maksimal. Sekarang, Doyoung lah yang ketakutan, ia tak siap dengan semua yang akan terjadi lagi. Ia berpikir ini sudah berakhir, nyatanya kisahnya masih berlanjut. Harus sampai kapankah ia bisa bebas dan pulang dari Mansion ini, ia tak bisa jika harus Junkyu yang menjadi musuhnya sekarang kenapa semuanya bisa terjadi secara tiba-tiba dan berurutan, seolah tak pernah ada akhirnya.

"Sepertinya dua jam lagi, pagi akan datang. Bertahanlah, Junkyu." Ucap Doyoung lagi, ia melepaskan pelukan itu dan menatap wajah Junkyu. Dilihat lamat-lamat kedua mata kakak sepupunya itu tampak sayu, pupil matanya kecil dan buram, seolah-olah tidak ada lagi ciri-ciri kehidupan dari dirinya.

Doyoung segera berdiri dan membantu Junkyu berdiri, ia memapah tubuh berat Junkyu untuk segera pergi ke tempat lain. Doyoung mengambil satu lampu teplok yang menggantung di ruang ini, lalu kembali melangkah pergi sambil berpikir mencari jalan keluar dari tempat terkutuk ini.

🔹🔸🔹🔸

BONEKA DAGING

BONEKA DAGING | DOYOUNG & JUNKYU✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang