CH. 31

302 52 5
                                    

  Jika memutar kenangan semudah memutar piring hitam pada vinyl, mungkin Junkyu maupun Doyoung mengetahui dengan jelas siapa gerangan paman Alio. Namun ingatan manusia terbatas dan tak dapat mengingat semuanya meskipun bisa menyimpan segalanya. Doyoung menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan itu, Junkyu berakhir menunduk sambil menatap buku tebal di hadapan Doyoung yang sudah tertutup.

"Aku acungi jempol atas usaha mu Doyoung, tapi semuanya tidak bisa dirubah dengan cepat." Doyoung mengalihkan tatapannya pada buku tebal di lantai, Doyoung memahami maksud Junkyu, benar adanya kalau buku itu tak menjelaskan rinci dan tidak memberikan solusi. Lagipula, musuh mana yang mau membocorkan informasi pada lawannya.

  Doyoung menelan ludah dan Junkyu kembali duduk di depan api yang masih menyala, batuk keringnya yang nyaring terdengar di kesunyian malam nan hampa. Doyoung segera berdiri dan memijit bahu Junkyu kalau-kalau anak itu masuk angin, padahal jelas ia tahu kalau Junkyu hanya menunggu giliran untuk melukainya namun bukan tipikal Doyoung yang harus meninggalkan Junkyu di sini.

"Kau tidak akan mendengarkan bisikan itu 'kan, Junkyu?" Rupanya perasaan takut Doyoung tak dapat disembunyikan berlama-lama.

"Akan ku usahakan." Jawaban Junkyu tak dapat mengubah ketakutan terbesarnya mereda, malah lebih parah dan membuat Doyoung merasa takut.

"Junkyu, satu-satunya harapan ku sekarang adalah kau. Jika ada yang kembali menyerang, kau bisa andalkan aku." Doyoung berkata demikian diikuti batuk kering tanpa jeda dari Junkyu, seolah-olah ini adalah kompetisi lari dimana setiap individu harus berada paling depan.

"Kau harus hidup sampai akhir." Jawaban Junkyu adalah sumber suara terakhir yang di dengar Doyoung, berselang beberapa detik setelah jawaban itu, Junkyu jatuh terbaring di lantai. Kakinya mengeras begitupun jari-jari tangannya yang membeku, kulit putihnya tampak membiru dan Doyoung melihat pipi Junkyu basah oleh keringat dan cairan kental di sekitar bibirnya.

"Dia," Suara Junkyu terdengar serak, dan matanya tampak terbalik menahan sesuatu yang menyerang tubuhnya.

"memasuki ku." Junkyu tampak kesulitan sekali mengatakan itu pada Doyoung, suaranya terbata dan dia seperti tercekik tanpa ada tenaga. Setelah itu, Junkyu menutup matanya dengan rapat, bibirnya tampak pecah meskipun basah, jantung Doyoung berdegup lebih kencang dibandingkan saat dikejar-kejar Nenek ataupun saudara sepupunya yang lain. Jari-jari tangan Doyoung menyentuh bahkan memukul pelan pipi Junkyu, menyebut namanya berkali-kali. Ia panik, apalagi saat menyadari bahwa seluruh tubuh Junkyu tampak kaku dan dia seperti es batu yang keras dan amat dingin.

Doyoung mengambil botol anggur dan menumpahkan semua isi minyak tanah ke bara api unggun, Doyoung segera meniup bara itu dengan kuat dan api menjilat bara yang basah, api sangat besar membakar kayu yang tersisa dan Doyoung menggendong Junkyu—mendekatkan tubuhnya agar mendapat kehangatan lebih banyak. Ia hanya mengikuti kata hati sambil terus berharap. Doyoung kembali menepuk pipi Junkyu sambil memanggil namanya, Doyoung merasakan sendiri api itu berhasil menghangatkan dirinya begitu pun Junkyu. Namun, kakak sepupunya itu tidak memiliki tanda akan membaik.

"Tidak!!" Doyoung kehilangan harapan, kepalanya jatuh di perut Junkyu dan bahunya turun naik. Isak tangisnya terdengar malam ini, kehilangan orang yang paling disegani di hidupnya, orang yang memberinya kesan indah dan kesan buruk di hidupnya telah pergi, apakah semua kenangan dan harapan Doyoung akan mati? Sama seperti sang pemberi makna dan harapan yang telah pergi.

   Tangis Doyoung benar-benar pecah, ia tak dapat menyembunyikan rasa sakitnya. Ini bukanlah harapan Doyoung, ini tidak seperti susunan puzzle yang diinginkan olehnya, dan ini bukan pula seperti petak setiap rubik yang pernah diceritakan Junkyu padanya. Junkyu pernah bilang padanya, bahwa hidup sama seperti setiap warna petak rubik yang berbeda-beda, pikiran manusia adalah bagaimana cara menyatukan setiap warnanya, padahal kesempurnaan tidak harus diwarna dan petak yang sama. Sebab, setiap petak kehidupan memiliki korelasi dengan bagian lain, inilah harmonisasi dan kesempurnaan. Namun malam ini petak rubik telah menunjukkan padanya, bahwa warna pada petak rubik yang berbeda juga memberikan hasil yang berbeda, korelasi itu sendiri tidak selalu memilih hal yang berbeda, kesempurnaan itu tidak nyata, petak rubik ini justru jauh dari apa yang telah dikatakan Junkyu padanya.

"Junkyu bangun! Kita harus pulang!" Doyoung histeris, ia mengguncang tubuh kaku itu dan berharap Junkyu mendengar suaranya. Air matanya sudah terlalu banyak berjatuhan, air bening itu menciptakan garis panjang dan tak beraturan di pipinya yang kotor. Sesenggukan dari tangisnya pun ikut merayakan kehilangan. Malam ini, Doyoung telah sadar siapapun yang ia sayangi pasti akan pergi, setiap makhluk yang bernyawa jelas pasti mati. Tapi bisakah Doyoung request cara kematian yang lebih baik daripada yang ia lihat malam ini, bisakah sekali saja ia menikmati kebersamaan dengan kakaknya saat-saat di ujung usia ini. Kenapa mati itu seperti kejutan, kita diberikan tanda itu namun kita tak menyadarinya.

"Kakak!! Tolong dengarkan aku!" Doyoung meracau lagi, kayu yang telah habis terbakar jatuh ke bawah dan melahirkan percik bara api yang melayang ke atas. Yang diharapkan Doyoung adalah kepulangan, bukan kematian, ia mengharapkan kepergian tapi bukan kematian. Api dari lampu teplok di pojok ruangan sana mengecil dan buku tebal satanic itu masih tertutup di sana, dingin semakin mencekam sebentar lagi subuh akan datang dan fajar segera bersinar. Apakah akan secepat itu? Doyoung tak tahu.

  Api unggun mengecil dan kehangatan berkurang, isak melankolisnya masih terdengar. Doyoung masih membenamkan wajahnya di perut Junkyu, kepalanya masih berbaring di sana, dan tubuhnya masih membungkuk memeluk Junkyu. Doyoung merubah posisi kepalanya, wajahnya miring ke kiri tepat lurus ke sepanjang kaki Junkyu. Mata sembab Doyoung menatap setiap rak buku yang berdiri kokoh di sana, namun saat matanya memperlihatkan cukup lama tak itu seperti semakin miring seperti ada sesuatu yang menganggu posisinya.

  Beberapa tikus kurus dan gemuk sekalipun berlarian di bawah rak-rak buku, disusul beberapa ekor serangga kotor. Doyoung masih diam di tempatnya, merasa nyaman sekali membaringkan kepalanya di atas perut Junkyu, ia hanya ingin diam di tempat sampai pagi hari tiba. Ia akan berada di dekat Junkyu sampai akhir, mata sembab Doyoung melihat lantai rubanah di bawah rak sana bergerak seperti ada sesuatu yang hendak keluar. Ia tetap diam dan berusaha untuk tetap dengan pilihannya. Benar saja, selang beberapa detik setelah itu belatung gemuk keluar bergantian dari dalam lantai yang sudah berlubang. Ia juga melihat beberapa ekor ngengat jatuh ke lantai, Doyoung memejamkan matanya.

  Sepasang mata Junkyu terbuka lebar, wajah pucat nya tampak menyeramkan. Junkyu melirik kepala Doyoung yang ada di atas perutnya, dan bibir pecahnya tersenyum kecil. Lalu berbisik dengan suara serak nan melankolis, "boleh aku mencium mu?"

🔹🔸🔹🔸

BONEKA DAGING

BONEKA DAGING | DOYOUNG & JUNKYU✓Where stories live. Discover now