Ch. 25

309 56 1
                                    

  Doyoung merasa salah satu pipinya bengkak. Ia terbangun dengan kepalanya yang sudah pusing, kedua tangannya terikat tepat ke belakang dan kakinya pun demikian. Matanya yang remang mulai bisa menatap sekelilingnya, ini adalah ruang asing yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Di ruang ini juga cukup terang dengan belasan lampu teplok yang digantung di dinding—seolah minyak tanahnya tak akan ada habisnya.

  Mata Doyoung sungguh tidak salah lihat, ia menatap tak bersuara dengan tenaga lemah ke arah dua orang berjubah hitam bertanduk rusa. Salah satu dari mereka memalingkan wajahnya tepat beradu tatap dengan Doyoung, sigap sekali Doyoung menunduk. Ia menelan ludah, itu adalah wajah Yuha, Ibunya Junkyu yang tampak menyeramkan dengan tanduk utuh di kepalanya. Taring babi hutan yang panjang dan runcing, juga wajahnya seperti orang tak makan satu tahun.

  Nenek mendatangi kedua orang tua Junkyu, lalu tersenyum sambil mendorong peti mayat tepat singgah di hadapan Doyoung. Yuha dan Hanju melangkah mendatangi Nenek dan berhenti di hadapan peti mayat di depan Doyoung. Nenek menatap wajah Doyoung sebentar lalu tersenyum pada Yuha dan Hanju, tangan keriput Nenek yang kering dan kurus memegang ujung kain putih penutup peti mayat.

  Doyoung terasa gugup, tubuhnya panas dingin. Matanya sedikit pun tak berkedip menatap peti mayat itu, dirinya benar-benar penasaran apa yang ada di dalam sana. Nenek membuka kunci peti dan siap membuka peti itu, kebetulan sekali pintu peti itu seperti sebuah lemari, jadi memiliki engsel di kedua sisinya. Sayangnya, Nenek tidak membuka peti itu dengan lebar layaknya pintu lemari. Nenek mengangguk saja, dia hanya memeriksa isinya dan kembali menutup serta mengunci peti.

  Melihat anggukan kepala dari Nenek, Hanju mengeluarkan pisau berkarat namun tajam dari balik jubahnya dan Yuha memasang panah di punggung tangan kanannya, Doyoung ketakutan saat melihat hal itu. Hanju mendekat dan menyayat tangan kanan Doyoung dengan sayatan dalam, Hanju menaruh gelas kaca di bawah tangan kanan Doyoung yang terluka.

  Doyoung nyaris tak berkutik saat sayatan itu diperbesar oleh Hanju, membuat tanda silang di sana yang menyisakan rasa perih. Hanju menekan luka Doyoung dan membuat darah Doyoung menetes mengisi gelas kaca. Nenek memukul kepala Hanju dengan sangat kuat dan mengambil alih tangan Doyoung. Tak segan-segan, Nenek menusukkan ujung pisau dan menekannya sampai dalam, Nenek menggerakkan pisau itu di dalam tangan kanan Doyoung, Doyoung meringis merasakan tangannya yang menerima benda asing masuk. Mata Nenek tampak berbinar melihat darah yang mengguyur dan jatuh mengisi gelas dengan cepat, Nenek mencabut pisaunya dan darah yang keluar semakin melimpah, Nenek berlutut dan membuka mulut sebesar mungkin. Ia merasakan sendiri betapa harum dan segar darah Doyoung di dalam mulutnya, betapa manisnya darah itu hingga tak sedikitpun boleh jatuh sia-sia.

"Nenek." Doyoung bersuara pelan, bibirnya bergetar dan ia kehausan.

  Nenek tak menggubris suara pelan Doyoung, si tua keriput itu tampak menjilati sekitar lubang hasil tusukan pisau yang sudah tidak lagi menghasilkan banyak darah. Nenek terdengar geram, dan menendang punggung Doyoung hingga terpental dan jatuh tepat di atas peti jenazah. Doyoung sendiri merasakan lututnya yang membentur sudut peti yang cukup tajam dan sangat keras, seperti terbuat dari kayu tebal yang sangat kuat.

Nenek menyeret satu kakinya yang putus, namun ia tak tampak pincang sedikit pun saat mendatangi Doyoung. Nenek memotong tali yang mengikat kedua tangan Doyoung—dan ia bersyukur tangannya terbebas. Nenek menarik tali yang menjuntai dari atas kepalanya, Yuha melepaskan anak panah tepat menancap kokoh di paha Doyoung —ia terduduk menahan sakit dan menatap putus asa terhadap anak panah yang menancap di pahanya. Dan leher Doyoung sudah dilingkari tali, Hanju segera bergerak dan menyiram Doyoung dengan minyak tanah.

Doyoung batuk dengan irama yang panjang, menghirup aroma minyak tanah itu tiba-tiba membuatnya sadar akan apa yang akan dilakukan ketiga orang tak waras itu padanya. Doyoung bergerak dan berusaha melepaskan ikatan tali dari lehernya. Wajahnya tampak semakin pucat, Doyoung panik dan ketakutan. Ia berusaha sangatlah keras untuk segera melepaskan tali itu dari lehernya namun kesibukan mendadak itu terhenti saat anak panah di pahanya dicabut.

"Kenapa, harus aku. Nenek?" Suara Doyoung terdengar kecil karena ketakutan, ia menatap wajah Nenek yang tampak menyeramkan. Bola matanya memancarkan api dari setiap lampu teplok yang menyala. Pupil mata terlihat membesar dan mengecil dalam waktu yang cepat, seperti itu terus tanpa henti.

"Kau cucu tersayang ku, kau yang ku tunggu sampai hari ini. Manis ku," Nenek menjawab dengan perangai aneh, bibirnya yang pecah-pecah dan kotor itu mengeluarkan suara berbisik menelisik setiap ruang hampa.

"Anak istimewa, akan mendapat sesuatu yang istimewa juga." Nenek tertawa pelan yang terdengar janggal di akhir perkataannya, Nenek memamerkan korek api di tangan kanannya. Tertawa lepas yang lambat laun pelan dan serak, Nenek sekarang memasang wajah datarnya dan memperlihatkan giginya yang rontok satu persatu dengan darah segar itu. Nenek membuka mulutnya dan berbicara lagi, tidak peduli giginya itu berjatuhan ke lantai bersamaan dengan darah bercampur liur yang tak ketinggalan menetas ke lantai, bahkan tak luput mengenai piyama Doyoung.

"Aku sangat berterima kasih atas kerja keras Ayah dan Ibu mu, merayu cucu bandel untuk datang kemari. Dan," Nenek tersenyum memamerkan giginya yang sudah tak ada lagi, sekarang hanya gusi berdarah itu yang tersisa. Dan mata Doyoung tidak salah lihat saat gusi Nenek meletup-letup seperti ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Benar saja, Doyoung melihat dengan jelas ada belatung yang keluar dari dalam gusi Nenek. Ada banyak sekali, tak terhitung jumlahnya.

"Kerja keras mereka membesar kan mu, untuk ku." Nenek menggeleng kuat dan menutup mulutnya itu, terlihat mengunyah meskipun tanpa sebilah gigi dan menelan belatung kecil di dalam mulutnya itu. Rambut Nenek rontok helai demi helai dan kulit kepalanya tampak menonjol seperti hendak mengeluarkan sesuatu.

Nenek terduduk di lantai, sedangkan Hanju dan Yuha tak berbuat apapun, mereka berdiri mematung bagai manekin kaku, tak bergerak tanpa ada perintah. Nenek menatap kakinya yang putus di tangan Mashiho, Doyoung melihat bahwa kaki putus Nenek itu beregenerasi. Ya, tumbuh kaki baru yang membuat Nenek bersemangat sembari tertawa kecil yang menyeramkan—tidak peduli dengan belatung-belatung di mulutnya yang jatuh satu persatu tepat di dadanya. Dan tiba-tiba saja tawa itu menghilang bagai ditelan bumi.

Nenek menatap wajah Doyoung, dan Doyoung merasakan tali di lehernya mengencang. Nafasnya terbatas, ia tersedak beberapa kali, matanya berair menatap Nenek yang tidak berkedip sedikitpun menatap wajah Doyoung. Kaki Doyoung bergerak liar dan terangkat beberapa centimeter. Sedangkan, Hanju dan Yuha membaca mantra aneh dengan bahasa aneh yang amat asing, keduanya seperti beradu suara dan saling bersahutan memenuhi ruangan sepi ini. Napas Doyoung kian sesak dan lehernya semakin tercekik, namun kedua tangannya sedang berusaha melonggarkan tali itu dari lehernya meskipun rasanya nihil.



🔹🔸🔹🔸

BONEKA DAGING

BONEKA DAGING | DOYOUNG & JUNKYU✓Where stories live. Discover now