Ch. 28

278 49 0
                                    

  Di kegelapan ini, bermodalkan lampu teplok. Ia tak tahu harus melangkah ke mana, namun tiba-tiba terpikir olehnya untuk kembali ke perpustakaan rubanah. Sekiranya itulah tempat teraman, batuk kering dari Junkyu memecah keheningan malam ini dan tak terdengar sedikit pun suara serangga yang mengeluarkan suara ikut meramaikan malam.

  Doyoung mempersilahkan Junkyu masuk lebih dulu dan turun ke perpustakaan rubanah saat mereka sudah berada di depan pintu itu, sambil diimbangi batuk—Junkyu menurut saja apa kata Doyoung padanya. Setelah Junkyu sudah sampai ke bawah, barulah Doyoung yan yang turun ia tampak tak pelan saat kakinya menginjak setiap anak tangga kayu. Sesampai di sana keduanya, Doyoung lagi-lagi merobek celana sebelahnya yang masih panjang. Anak itu kemudian menutup seluruh luka di badan Junkyu, meskipun kainnya tidak cukup.

  Di kesibukannya itu, Doyoung jadi teringat tas yang disandangnya sudah tidak berada di punggungnya lagi, sambil melilitkan kain pada luka menganga Junkyu—Doyoung terus mengingat di mana kiranya tas itu tak lagi bersamanya. Keinginan Doyoung begitu besar untuk mengetahui tentang keluarga besar Vinbi, apalagi saat Doyoung menyadari ada kesamaan jubah hitam dan tanduk rusa kedua orang tua Junkyu dengan sampul buku itu.

  Doyoung pun mempercepat tangannya dan siap meninggalkan Junkyu di perpustakaan itu, sementara dirinya mencari tahu isi buku keluarga besar Vinbi. Junkyu tidak berkata apa-apa padanya, ia hanya diam dan berbaring menutup matanya di lantai rubanah. Doyoung berinisiatif untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa menutupi sebagian tubuh Junkyu yang tampak kedinginan.

  Doyoung menatap wajah Junkyu dan menelan ludah, ia segera berbalik kembali membawa lampu teplok di tangannya. Sebelum pergi anak itu sudah menyalakan api unggun kecil dari kursi yang patah dan menumpuk di perpustakaan ini, menambahkan sedikit minyak tanah dan berharap Junkyu tetap hangat di sana.

"Bertahanlah, Junkyu." Bisiknya tanpa terdengar, Doyoung menunduk sebentar, sebetulnya ia cukup takut untuk kembali naik ke atas sana dan mencari keberadaan tasnya itu, tapi ia butuh sesuatu yang mungkin ada solusi dari buku itu atau ada sesuatu yang jelas kenapa dari sore hingga sekarang keanehan ini makin menjadi.

  Doyoung sudah sampai kembali ke atas, ia melangkah dan menjadi satu-satunya sumber cahaya di kegelapan. Seperti satu-satunya bulan di langit malam tanpa ditemani sang bintang, setiap hidup memang tidak selawasnya berdampingan dengan orang lain, dan Doyoung telah merasakan hal itu. Kesendirian bukan berarti kesepian, sendirian bukan berarti tidak memiliki tujuan, dan takut bukan berarti harus mundur. Semuanya hanya membutuhkan kepercayaan dan keyakinan maka lahirlah sebuah keberanian.

  Doyoung terus melangkah dan sepasang matanya menatap lantai dan setiap sudutnya. Siapa tahu ia bisa menemukan tasnya di sana, tiba-tiba terbesit dipikirannya bahwa terakhir tas itu ada di punggungnya adalah ketika ia berada di rubanah pertama, ya, tepat di bilik-bilik yang rapat. Doyoung akhirnya berbelok ke kanan tepat saat dirinya hampir sampai di dapur Mansion, kali ini kakinya melangkah cukup gesit karena ia begitu yakin akan keberadaan tas itu di sana.

  Doyoung menelan ludah, ia melangkahkan kakinya turun ke rubanah itu. Setiap langkahnya menghasilkan suara yang cukup nyaring saat sepatunya menapak anak tangga kayu tua. Ia bahkan menutup hidungnya, karena bau darah kering di tempat ini masih tercium kuat. Mata Doyoung langsung tertuju pada cahaya berkedip dari salah satu bilik di sana, ia mempercepat langkahnya dan mendorong pintu bilik dengan pelan dan dirinya cukup lega karena tidak menemukan sesuatu yang aneh saat membuka pintunya.

  Doyoung menatap lilin yang sudah habis meleleh namun sumbunya itu masih berusaha menyala meskipun sudah sangat pendek. Doyoung pun meletakkan lampu teploknya di lantai, tepat di dekat lilin itu. Tak sengaja ekor matanya melihat ujung tali tas, Doyoung segera menarik tali itu dan benar saja itu adalah tas yang tengah dicarinya. Doyoung bersyukur berkali-kali saat mendapat kembali benda itu. Segera ia duduk di depan lampu teplok dan bergegas membuka ritsleting tas.

  Doyoung jadi gugup ketika kembali melihat sampul buku usang yang kuno dan bergambar aneh itu. Matanya menatap ke setiap arah dan berpikir untuk mengunci pintu bilik. Ia menelan saliva dan jari-jarinya terlihat membuka saat buku itu sudah di halaman depan, Doyoung membalik halaman lagi dan matanya tertuju pada bagian yang belum sempat ia baca.

   Kehidupan di hutan sebagai satu-satunya manusia di tempat itu benar-benar membuat keluarga Vinbi selamat dari maut. Namun, gangguan dari binatang buas di hutan benar-benar membuat situasi menjadi terbalik,mereka begitu lama bisa bertahan sampai akhirnya gangguan itu berakhir.

Dahi Doyoung terlipat, ia bingung saat membalik halaman lagi tapi muncul gambar sebagai bukti keberadaan mereka di sana. Doyoung tiba-tiba merasa buku ini seperti sebuah dongeng atau cerita lawas untuk pengantar tidur anak-anak namun, pembahasan di awal halaman adalah tentang kasus penembakan misterius. Ia kembali membaca halaman selanjutnya.

Iblis, setan dan sihir hitam, ilmu pengetahuan yang sering dipelajari orang-orang yang memang bisa atau memiliki keahlian untuk berbicara dengan 'orang' di luar penglihatan mata manusia biasa. Hal itulah yang dipelajari oleh Vinbi, kepuasan, kemenangan, dan kekuasaan adalah hal yang mereka dapatkan ketika berhasil. Vinbi, menulis semua bentuk kepercayaan mereka di halaman berikutnya.

Doyoung menelan ludah, ia segera membalik halaman dan dahinya mengerut. Tidak ada tulisan apapun di atas kertas lusuh yang tebal ini, benar-benar kosong. Lilin mati, dan Doyoung segera menutup bukunya. Kembali memasukkan buku tebal itu meskipun ia tak menemukan jawaban atas rasa penasarannya itu. Ia membuka kunci dan kembali menating lampu teplok itu dan segera melangkah keluar, berniat kembali mendatangi Junkyu yang mungkin sekarang tertidur di perpustakaan rubanah.

Ia terus melangkah, sejauh ini tak ada sedikitpun gangguan yang dialaminya, yang akhirnya membuat Doyoung yakin kalau Haruto memang sudah mati tanpa bisa bergerak lagi, namun keberadaan Nenek menjadi pertanyaan besar Doyoung. Tiba-tiba saja ia jadi takut kalau-kalau Nenek tiba-tiba muncul, Doyoung pun mempercepat langkahnya.

Tanpa terasa ia sudah sampai kembali ke perpustakaan rubanah, matanya menatap api unggun yang tampak masih menyala. Namun ia tidak melihat keberadaan Junkyu di sana, lagi, Doyoung jadi takut —ia mengedepankan lampu teplok dan memanggil nama Junkyu siapa tahu dia mendengar panggilnya. Doyoung melangkah ke depan dan matanya tampak waspada memperhatikan sekelilingnya.

"Buku itu, kau ambil Doyoung?" Suara serak basah Junkyu membuat Doyoung tersentak, hampir saja ia berlari kencang namun ia sadar itu adalah Junkyu. Doyoung tak menjawab, diamnya adalah jawaban atas pertanyaan itu. Ia melangkah lagi mendatangi Junkyu yang duduk memeluk lututnya, ia bersandar tepat di rak buku.

  Doyoung menatap wajah pucat Junkyu, hidupnya tampak kacau perihal malam ini. Tidak biasanya Junkyu bersikap banyak diam seperti sekarang, Doyoung menelan ludah dan menaruh lampu teplok di lantai, tepat di tengah keduanya duduk. Doyoung membuka tasnya dan mengeluarkan buku tebal itu, tepat di hadapan Junkyu, sedangkan kakak sepupunya itu diam menatap buku itu.

"Junkyu, kau tahu tentang buku ini? Apa kau kenal, keluarga Vinbi?" Pertanyaan itu tak langsung memperoleh jawaban, namun mata Doyoung berkedip saat Junkyu mengambil cutter dari dalam tas yang dibawa Doyoung.



🔸🔹🔸🔹

BONEKA DAGING

BONEKA DAGING | DOYOUNG & JUNKYU✓Where stories live. Discover now