CH. 37

255 45 1
                                    

  Doyoung membuka kedua matanya setelah beberapa menit pingsan, pengap dan bau pengawet mayat di dalam peti ini membuat kesadaran Doyoung terangsang dan lebih cepat terbangun. Doyoung menarik tangannya yang tertindih pinggangnya sendiri, matanya terus memperhatikan penutup peti yang beberapa centi lagi bisa menyentuh wajahnya.

  Doyoung berusaha mengambil napas sebanyak mungkin, meskipun hidungnya tidak mendukung karena udara yang tercium hidungnya adalah bau tak nyaman pengawet mayat. Bola matanya bergerak ke kiri-kanan, mencari sesuatu yang mungkin semacam tuas atau apapun yang bisa digunakan untuk mendorong pintu itu ke atas, namun Doyoung tidak menemukan apapun.

Lambat laun indra pendengarannya berfungsi, ia bisa mendengar suara Nenek dan orang-orang yang terdengar berisik di luar peti. Terbesit diingatkannya, bahwa ia  begitu diinginkan untuk dimakan malam ini, jantung Doyoung rasanya hampir meledak. Ia panik, berteriak-teriak minta tolong sambil memukul penutup di depan matanya. Ia benar-benar meronta dan histeris bersama tangisan yang pilu, tidak ada lagi sebuah harapan yang dapat tumbuh, tidak ada lagi rasa anan yang akan ia dapatkan setelah ini. Sepertinya memang, ia harus berakhir sampai di sini untuk menutup usia, Doyoung tidak bisa menepati janji bahwa akan bertahan sampai akhir.

  Doyoung mungkin telah mengecewakan saudara-saudara sepupunya yang telah berusaha melindungi dan menyelematkan dirinya malam ini, tapi kenapa mereka harus berkorban nyawa? Tidak bisakah berjuang sama-sama dan terbebas dari keluarga besar ini bersama-sama. Doyoung berteriak keras meminta maaf pada Junkyu, bahwa ia tak bisa hidup lebih lama. Ia mengaku kalah sekarang, rupanya benar seperti yang dipikirannya dahulu bahwasanya perjuangan sekeras apapun tidak tentu membuahkan hasil yang pasti, jika memiliki harapan yang menjadi kenyataan itu artinya kau adalah orang yang beruntung.

  Di luar ini, di perpustakaan rubanah yang terang oleh lilin dan beberapa bilah obor yang digotong tiga ekor babi hutan. Mantra aneh yang dibaca mereka kian nyaring, terdengar seperti nyanyian di ujung kalimat nan dibaca berulang, seperti doa khusus yang dipanjatkan pada Nenek;dia duduk di atas peti itu sambil menarik-narik gas dari mesin kayu di tangannya—katanya lebih mudah untuk memotong tulang nantinya.

  Para kerabat di ruang ini tampak berdoa sambil menjulurkan lidah mereka, berharap agar doa yang mereka panjatkan kehadirat Tuhan Vinbi segera berakhir, dan berebut untuk mengambil jantung Doyoung bagi siapapun yang beruntung.

  Tangis Doyoung tiba-tiba berhenti, kepalanya berusaha berpikir dan akhirnya ia menangkup kedua tangannya seperti seseorang yang meminta maaf, bibirnya yang semakin pucat karena kurang cairan tampak lebih buruk ketimbang Junkyu yang anemia menahun. Ia sudah berusaha meyakinkan dirinya, yang terpenting baginya sekarang adalah ia berhasil keluar dari peti ini, selanjutnya ia bisa pikirkan lagi.

  Doyoung mengambil napas, dan memejamkan kedua matanya. Lalu berbisik karena ia sudah sangat yakin dengan keputusannya sendiri, segala sesuatu yang kita pilih terkadang sama-sama memiliki risiko meskipun tak tampak, namun akan kita sadari setelah cukup lama memperhitungkannya.

"Talia, jika benar kau ada. Aku Doyoung sepupunya Zivan Zan, tolong aku," Doyoung berbisik lirih, kedua matanya masih ditutup rapat. Doyoung menelan ludah dan berkata lagi, "Aku butuh bantuan mu, Talia." Tepat diakhir ucapannya itu, Doyoung membuka matanya.

  Selang beberapa detik kemudian, Doyoung merasakan peti mayat yang ditempatinya bergoyang seperti diangkat beramai-ramai, sepersekian detik kemudian Doyoung terguling di dalam karena peti itu dilemparkan ke arah yang Doyoung sendiri tidak bisa memastikan. Kepalanya terasa membentur kayu ulin yang keras dan saat Doyoung membuka mata, ia sadar bahwasanya ia terbaring tengkurap di lantai dingin perpustakaan rubanah dan rupanya kepalanya itu membentur tiang rak buku.

  Doyoung merasa kulit kepalanya basah dan perih, mungkin terluka. Ia segera bangun dari posisi itu meskipun kakinya terasa sakit karena terjepit di pintu peti itu. Doyoung menarik paksa kakinya, dan berhasil bebas meskipun kulitnya terluka. Dua netra Doyoung menatap setiap sudut ruangan, tujuan pertamanya saat ini adalah pintu rubanah namun sialnya di depan pintu rupanya ada Nenek yang berdiri dari posisi terjerembab.

  Doyoung sendiri tidak tahu apa yang baru saja menimpa Nenek, namun ketika ia berbalik para orang tua dan saudara sepupunya yang telah mati, bergerak bebas—membuat Doyoung sadar bahwa yang mengendalikan boneka daging itu adalah roh leluhur. Doyoung gemetaran saat Zivan melayang dan berdiri terbalik di platfon, wajahnya datar dan bergerak mendatanginya.

  Zivan melompat seperti harimau dan hal itu membuat Doyoung terkejut —Zivan menindihnya, mengarahkan bor baterai yang ada di tangannya itu tepat ke mata kanan Doyoung, membuatnya teriak takut dan berusaha melepaskan diri dari Mashiho yang sangat berambisi, hampir saja ujung bor itu menghancurkan mata kanan Doyoung, tiba-tiba saja Mashiho menendang Zivan dari atas perutnya.

  Membuat Zivan terpental dan Mashiho yang sekarang berada di atas perutnya, dia mengendus seperti seeokar babi hutan yang mengenali mangsanya;sebab kedua matanya sudah tidak berfungsi. Mashiho menjilat pipi Doyoung membuat pemilik pipi lembut itu terdiam menahan napas, dan Mashiho mengigit pipi Doyoung dengan kuat berharap darahnya keluar agar ia bisa mengenali kalau di bawahnya sekarang adalah daging yang diharapkan. Dan hal itu membuat Doyoung harus tetap diam merasakan gigi Mashiho menjepit pipinya, belatung kecil berjatuhan mengotori wajah dan beberapa ekor jatuh di kelopak matanya. Hewan menggelikan itu menggeliat dan hampir masuk ke mata Doyoung—untungnya langsung ditutup.

 Doyoung meraba lantai, berharap menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk melakukan perlawanan pada Mashiho. Cukup lama jari-jarinya menyapa debu di lantai bahkan beberapa kecoa yang kebetulan lewat pun, namun tak juga ia temukan. Kali ini tangan kirinya yang meraba lantai, dan ia mendapat sesuatu dari lantai. Doyoung segera menggenggam ganggang benda itu dan menekan pelatuknya, darah mencirit bagai pipa bocor yang memuncratkan banyak air, begitupun saat mata lancip bor baterai itu berputar di dahi kiri Mashiho-darah yang jatuh semakin banyak, belatung kecil di wajah Doyoung tersapu darah, Doyoung seperti bermandikan oleh benda kental yang terasa manis saat sebagian masuk ke dalam mulutnya.

Mashiho tampak sangat kesakitan, sepertinya ujung mata bor yang cukup panjang itu berhasil menggelitik otak Mashiho. Mata Doyoung tak dapat berdusta saat melihat bagaimana saudara sepupunya itu kejang sesekali berguling di lantai karena kesakitan, Doyoung segera berdiri dan membulatkan tekadnya. Ia menusuk dada kiri Mashiho dengan bor yang masih ditangannya. Menanam harapan dengan cara itu mungkin jasad sepupunya tak dapat digerakkan, karena jantungnya tak dapat dialihfungsikan.

 Doyoung berlari tepat ke bawah tumpukan meja, bor itu masih di tangannya dan mata Doyoung memperhatikan gerak-gerik Zivan, meskipun ia sendiri tahu, yang ia hadapi sekarang bukan hanya Zivan dan Mashiho saja, tapi masih ada Nenek dan kerabat yang lainnya. Doyoung yakin dengan kemampuannya sendiri. Bisik suara Junkyu seakan menempel di daun telinganya, bahwa ia akan bertahan dan melanjutkan hidup ini.

🔸🔹🔸🔹

BONEKA DAGING

BONEKA DAGING | DOYOUNG & JUNKYU✓Where stories live. Discover now