04 : Memendam sendiri

29 5 1
                                    

"Hari ini ada sekitar berapa paket yang mau dikirim?" tanya Sandra, melihat produknya sudah rapih dan dikemas.

"Sekitar ..., delapan ratus paket. Semuanya dengan pesanan yang sama satu paket skincare Satia. Tapi, ada juga yang lain, bedanya gak sepaket kayak gini. Paling cuman serum, toner dan juga yang lain," kawan Febri.

"Kak Sandra, ada beberapa barang return yang masuk." Pegawai laki-laki memberitahunya.

"Banyak?"

"Enggak, ini masih bisa dihitung pake jari."

Sandra hanya mengangguk saja. Entah alasan si pembeli apa sampai paket skincare Satia yang dibeli dikembalikan lagi.

"Sekarang jadi gak ke pabrik?" Febri menanyakannya.

"Jadi, ayo."

Pabrik yang memproduksi skincare Satia itu milik Sandra sendiri. Rencananya, sekarang dia, Febri, dan tiga orang rekan pegawainya akan ke Fabrik untuk melihat proses pembuatan Skincare. Sekalian akan mempromosikan produk terbaru dari Satia.

[•••••]

"Sandra gak nganterin makan siang lagi." Sedang sibuk mengatur dan melihat, Arnes diberi pertanyaan oleh Ditto.

"Enggak," jawab Arnes seadanya. Dia tetap fokus dengan kerjanya.

"Ada apa nih ..., apa kemarin itu cuman-"

"Kerja, Ditto! nanti diturunin jabatannya!" ujar Arnes, mengancam dengan ancaman yang membuat Ditto langsung lari ngacir.

Arnes ke pinggir sebentar, dia mengecek handphone nya dan tidak tertera sama sekali Sandra menghubungi. Mencoba mengabaikan perasaan aneh ini, dia melanjutkan kembali kerjanya.

Sekarang ini, mereka para penanggung jawab atas proyek ini sedang turun langsung ke lapangan, termasuk juga Arnes, untuk melihat tahap pengujian dari segi apapun yang telah dipersiapkan dengan rapat terakhir kemarin.

Sejauh ini, kerja Arnes dinilai baik oleh sang direktur. Semua proyek yang dipegangnya berhasil berdiri sempurna tanpa ada kerugian dari sisi manapun. Kepribadiannya yang baik, dan cara kerjanya yang profesional, Arnes jadi berhubungan baik dengan para arsitek dan juga pemilik proyeknya sendiri.

Hasil untuk mendapatkan kerja ini juga tidak mudah. Arnes berjuang dari nol, seperti manusia sebagai mestinya.

[•••••]

"Kenapa kamu baru pulang? kamu juga gak ke pernikahan kakak kamu." Rani berkata lembut di depan anak keduanya.

"Aku banyak pemotretan di luar kota, gak sempet buat pulang pas nikahan kak Sandra," ucap Liana Luvita-adik Sandra-yang berbeda dua tahun.

"Liana, kamu tetep di pesantren dulu, ya." Agung datang, sehabis menyelesaikan sholat Jum'at sebagai imam di masjid pesantren. Agung dapat informasi dari salah satu pengurus pesantren di bagian depan.

Sambil menyalami tangan sang Ayah, Liana menjawab, "Gak bisa, Yah. Aku besok juga harus pergi lagi."

"Kamu gak ada niatan untuk mengajar di pesantren," kata Rani.

Wajah Liana tertekuk, ibunya sudah mengatakan itu beberapa kali setiap kepulangannya, dan pasti akan dijawab Liana dengan kata yang sama juga.

"Aku mana ngerti, Bu. Untuk masalah sholat, mengaji, dan segala kewajiban muslim yang sering dilakukan, aku bisa dan aku laksanakan. Tapi kalau jadi guru untuk mengajari mereka tentang ilmu agama yang makin dalam dan kitab-kitab, aku gak bisa ... . Ibu kan tahu, aku memilih menjadi model muslimah dan seorang penulis." Kali ini, Liana menjelaskan dengan lebar. Ibunya harus mengerti tentang dirinya.

I'm With You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang