10 : Kehangatan

19 4 0
                                    

"Sandra, kamu dan Arnes gak ada masalah apa-apa, kan?" tanya Rani.

"Alhamdulillah, gak ada apa-apa, Bu."

"Kalau ada apa-apa dan bikin kamu gak nyaman, langsung bilang sama Ayah atau Ibu," sahut Agung. Mereka mengobrol di ruang tamu sambil menikmati roti yang dibuat Rani.

"Iya." Orang tuanya memang bisa mengatakan seperti itu, tapi Sandra tidak bisa. Nyaman atau tidaknya, dia harus menerima rumah tangga ini.

"Sesekali kamu jangan terlalu sibuk bekerja, Sandra. Kamu harus ada waktu buat suami kamu." Rani mengelus tangan Sandra dengan lembut.

"Itu pasti, Bu," balas Sandra agar meyakinkan.

"Ayah khawatir sama kamu setelah melihat berita di tv itu. Ayah percaya, kamu membuat dan melakukan sesuatu dengan cara yang benar dan tidak merugikan orang lain." Bahkan, Agung sampai kumat asma yang dideritanya.

"Berita tentang kamu yang enggak-enggak juga sudah ke hapus. Untung aja Arnes mengumumkan di depan media." Rani, dia bahkan tidak tidur memikirkan bagaimana perasaan Sandra.

"Kamu kalau ada apa-apa jangan di pendam sendiri. Cerita sama Ayah atau Ibu kalau ada sesuatu." Sedari tadi, Agung belum melihat ekspresi Sandra. Bagaimana Sandra mengekspresikan perasaannya saat ini.

"Ada Allah juga yang selalu ada di sisi Sandra, Yah. Sandra selalu banyak cerita dan doa," ujar Sandra. Melegakan perasaan Agung dan Rani.

Handphone Agung berbunyi, dia segera mengangkatnya dan menjauh dari istrinya dan juga Sandra.

"Ibu datang ke sini jauh-jauh sama Ayah gak cape? Takutnya, Sandra jadi beban kalian kalau gini."

Kepribadian Sandra yang paling dia tidak sukai menjadi beban siapapun. Sandra hanya ingin dirinya bermanfaat dan berguna khususnya sama orang tuanya sendiri. Sandra agak kecewa, kalau saja dengan keadaannya seperti ini, dia jadi beban.

"Enggak, kok. Sekali-kali kita juga mau melihat kamu sama Arnes. Udah sebulan lebih loh pernikahan kalian." Rani berhasil menampar Sandra dengan ucapan pernyataan jalan pernikahannya. Entah akan sejauh mana dan apa akan ujungnya.

"Ibu berharap apa sama pernikahan aku?" tanya Sandra.

"Berharap kamu bahagia. Ya ..., bisa dikatakan Ayah atau Ibu menghancurkan kebahagiaan kamu pas Fahmi akan melamar kamu. Maafin Ayah dan Ibu, ya, lagi-lagi kamu harus berkorban."

"Kalau aku bahagia, ibu dan ayah bahagia?"

"Setiap orang tua pasti mau anaknya bahagia, sayang. Gak ada orang tua yang-"

"Tapi aku beda, Bu ...," sela Sandra. Tatapannya kosong ke sang ibu.

Rani langsung memeluk Sandra erat. "Kamu gak beda, kamu itu anak ibu sama ayah. Kamu harus ingat itu terus!" tekan Rani.

"Iya, Bu."

Sandra merasa bersalah, seharusnya dia tidak mengungkitnya, dan seharusnya juga Sandra harus bersyukur karena kedua orang tuanya yang menerimanya dengan baik.

"Sandra," panggil Agung. Setelah selesai menelpon dia kembali lagi ke ruang tamu dan duduk di antara anak dan istrinya.

"Iya, Yah."

"Kamu mencintai Arnes?" Pertanyaan tersulit yang pernah Sandra dengar. Ini menyangkut perasaannya yang Sandra sendiri tidak tahu.

"Kenapa Ayah tiba-tiba nanya kayak gitu?" Sandra bertanya balik.

"Aya cuman memastikan aja, Nak. Memang, kalian berdua menikah karena perjodohan, tapi lambat laun pasti ada rasa saling mencintai."

"Iya, Yah. Semoga aja." Dengan penuh keraguan, Sandra mengucapkan itu.

[•••••]

"Assalamualaikum." Pintu rumah terbuka, Arnes pulang sambil membawa plastik yang Sandra belum tahu.

"Waalaikumussalam," balas Sandra, dia masuk ada di ruang tamu setelah sepuluh menit orang tuanya sudah pulang.

Sandra sempat menawari orang tuanya menginap, tapi karena ada urusan mendesak, dengan tiba-tiba orang tuanya langsung pulang kembali ke Aceh.

Arnes ke dapur langsung, mengambil piring dan garpu, lalu kembali lagi ke Sandra yang terus memerhatikan nya dari tadi.

"Suka martabak?" tanga Arnes.

"Suka."

"Aku bawain, martabak coklat." Wangi harum khas martabak tercium, Arnes mengambilkan untuk Sandra.

"Aaaa," kata Arnes, mengarahkan garpu itu ke mulut Sandra.

Sandra menerima suapan Arnes, mengunyahnya dengan santai sambil menatap Arnes.

"Makasih."

"Sama-sama. Ayah dan Ibu ke mana?" Di sela-sela menyuapi Sandra, Arnes bertanya. Karena rumahnya sepi seperti biasa.

"Udah pulang 10 menit yang lalu," jawab Sandra.

"Mereka gak nginap?"

"Enggak, katanya ada urusan mendesak."

"Tadi ngapain aja sama Ayah dan Ibu?" Sedikit penasaran, Arnes bertanya. Dia juga memakan martabaknya, silih berganti setelah menyuapi Sandra.

"Ibu masak, oh iya kalau kamu lapar ada makanan di dapur. Terus Ayah juga bantu angkat galon karena udah kosong. Mereka banyak membantu di sini." Dari Arnes pergi, Ayah dan Ibunya terus aja melakukan sesuatu yang harus dilakukan.

"Kamu seneng hari ini?" Arnes bertanya tentang diri Sandra.

"Seneng."

"Syukurlah."

Martabak coklat sudah habis setengah oleh keduanya. Sandra sudah menolak karena perutnya sudah kenyang. Piring dan garpu bekas martabak, Arnes taruh lagi di dapur, dan sisa martabaknya dia simpan di kulkas.

"Ke kamar, ya." Ucapan Arnes bukan pertanyaan tapi pernyataan.

Sandra berdiri, karena kakinya menginjak bajunya yang panjang, jadi Sandra kehilangan keseimbangan dan jatuh ke pelukan Arnes.

"Kamu masih lemas?"

"Enggak, ini-"

"Aku gendong, ya. Maaf kalau ini lancang bagi kamu." Tanpa menunggu persetujuan Sandra, Arnes menggendong Sandra.

Tangan Sandra mengalungkan ke leher Arnes. Kedekatan mereka yang seperti ini membuat keduanya canggung dan sesekali menahan napas.

Bahkan Arnes sangat khawatir, kalau saja jantungnya berdegup kencang karena kegugupan nya. Kedekatan satu sama lain baru dialami oleh mereka berdua setelah tidak berdekatan dengan lawan jenis sebelum menikah.




Bersambung .... +++

I'm With You [END]Where stories live. Discover now