Selesai

30 1 0
                                    

Sadar dengan kebodohannya, kalau selama ini dia hanya mencintai tanpa dicintai sekalipun oleh laki-laki dambaannya. Pertama kali Liana jatuh cinta, ketika di umur 18 tahun. Cintanya terkubur karena rasa iri dan ketidaksukaan nya kepada sang kakak sendiri. Sikapnya yang selalu lemah lembut dan baik kepada semua orang, seketika lenyap begitu saja bersamaan dengan perginya cinta pertama.

Liana menyesalinya, dia tidak bisa mengendalikan dirinya. Padahal dulu, kakaknya selalu melindunginya, bisa-bisanya dia berpikir negatif dan terang-terangan tidak menyukai kakaknya.

Sekarang, baru dia menyesalinya. Liana tersadar dan tidak boleh mencintai orang yang salah. Dia harus menemukan laki-laki yang tulus mencintainya, bukan terus hanya dia yang mencintai sendirian. Itu menyakitkan lebih dari apapun, apalagi dia cuman orang biasa yang kalah besar kalau bersaing dengan wanita yang laki-laki itu cintai.

Setelah kepergian kakaknya ke Dubai, Liana mulai memperbaiki hidupnya. Hatinya tidak berat melepaskan pekerjaannya sebagai model. Orang tuanya sudah mengingatkan dari dulu, kalau wanita yang memperlihatkan lekuk tubuhnya dan kecantikannya, itu sebuah dosa yang mengundang syahwat. Liana meninggalkan pekerjaan modelnya karena Allah, dia sedikit demi sedikit mulai belajar ilmu agama lebih dalam di pesantren. Mencoba mencontoh kakaknya yang selalu berperilaku baik dan tidak membebankan pikiran orang lain, apalagi orang tuanya.

Dari pada menjadi model, dia memilih menjadi desainer. Liana harus memanfaatkan keahliannya dalam mendesain, apalagi ketika kuliah dia menjadi lulusan terbaik.

Liana pindah ke Aceh, menyicil rumah untuk ditinggalinya tak jauh dari pesantren. Liana juga membuat cabang tempat butik-butik bajunya di Aceh. Mulai memperkerjakan orang-orang dalam keahlian menjahit di pabrik yang sudah Liana beli. Perubahannya tidak sedikit, Liana harus merogoh kocek yang sangat banyak. Semua itu adalah uang hasil menjadi modelnya dulu.

"Udah selesai belum, sayang?" Rani menghampiri Liana lagi ke kamarnya.

"Sedikit lagi, Bu." Jari-jari itu terus mengetik. Liana sedang mengurusi novel yang akan terbit beberapa hari lagi.

"Ayo, emangnya masih banyak?"

"Enggak kok, Bu. Bentar, aku benerin cadar dulu."

Rani sangat bahagia melihat anaknya bercadar. Perubahannya pun selalu membuat dia menangis harus dan selalu menceritakan kebahagiaannya kepada Agung–suaminya–yang ikut turun bahagia juga.

Laptop itu ditutup. Liana juga sudah siap dan keluar rumah bersama ibunya. Sekarang ada jadwal pengajian rutin khusus akhwat di masjid pesantren. Para santri perempuan juga ikut berkumpul di sana. Ada Bu Dian yang akan memimpin pengajian itu.

Jangan ragukan Bu Dian, dia salah satu guru pengajar terbaik. Terkenal baik dan tidak kasar, selalu sabar menghadapi santri yang memang selalu ada yang membuat masalah atau sedikit tidak menuruti kata-katanya.

"Makanya ..., kita harus banyak-banyak bersyukur kepada Allah. Kalau yang masih punya orang tua, disayangi, dicintai orang tuanya. Jangan pernah mengecewakan mereka apalagi menyakiti hatinya. Bersikap lembut kepada ibu khususnya. Semua itu udah dijelaskan dalam Al-Qur'an. Coba Dinda dan Lili bacakan ayat dan artinya," pinta Bu Dian. Dia mempercayakan Dinda dan Lili karena keduanya selalu yang mewakilkan acara apapun sebagai pembaca Qori.

"Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman.
wa qodhoo robbuka allaa ta'buduuu illaaa iyyaahu wa bil-waalidaini ihsaanaa, immaa yablughonna 'ingdakal-kibaro ahaduhumaaa au kilaahumaa fa laa taqul lahumaaa uffiw wa laa tan-har-humaa wa qul lahumaa qoulang kariimaa."

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. QS. Al-Isra' 17: Ayat 23."

"Tapi aku udah gak punya orang tua, aku harus berbakti sama siapa?" tanya santri perempuan yang mengacungkan tangannya.

"Sila sekarang punya siapa dan tinggal sama siapa di rumah?" tanya Liana.

"Tinggal sama kakek dan kakak," jawab Sila. "Kata nenek, ayah sama ibu udah gak ada dari aku lahir."

"Nah, berarti Sila harus berbakti sama kakek dan kakak Sila. Walaupun orang tua Sila udah gak ada, tetap aja Sila harus rajin mendoakan orang tua Sila, selalu berbuat baik, dan rajin bersedekah." Liana menjelaskan.

"Ingat ya, jangan sampai kita terjerumus ke hal yang negatif. Jangan jadikan tidak punya orang tua sebagai alasan untuk bersikap semena-mena, nakal, dan bebas di luar sana. Kita harus memperkuat iman, belajar, dan menjauhi pergaulan yang negatif," tambah Rani.

Pengajian itu berlangsung sampai ashar, banyak yang mengagumi Liana dengan perubahannya. Para santri perempuan juga sudah mulai dekat karena Liana yang selalu bergabung dalam pelajaran apapun.

Liana juga ingin mengetahui di setiap karakter para santri. Dia ingin tahu lebih jauh lagi tentang pesantren ini.

Sebelum kembali ke rumah, salah satu santri perempuan mengejarnya.

"Ning, ini hp nya ketinggalan. Dari tadi banyak yang nelpon," katanya sambil memberikan.

"Oh makasih." Liana menerima hp nya.

"Aku permisi. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Baru saja membalas salam santri tersebut, handphone nya kembali bergetar. Langsung saja Liana mengangkatnya tanpa ragu.

"Waalaikumussalam, iya udah saya kirim."

"Terima kasih, kak Liana. Secepatnya akan di proses cetak."

"Iya."

Obrolan mereka tak jauh dari proses terbit cerita yang Liana buat. Khusus, dan sangat spesial novel kali ini. Di setiap kata yang dia tuliskan, ada air mata yang menetes. Novel kali ini, mungkin akan menjadi saksi bisu dirinya yang dulu dan sekarang.

[•••••]

Kebahagiaan yang sulit Arnes dan Sandra jelaskan. Mereka begitu menikmati honeymoon di Dubai. Hotel yang ditinggalinya sekarang, sangat dekat gedung tertinggi di dunia Burj Khalifa. Begitu Arnes dan Sandra ke balkon, mereka sudah disuguhkan dengan pemandangannya.

"Aku masih gak nyangka punya istri kayak kamu. Dulu, aku selalu mikir gak pantes buat dapetin wanita yang jauh lebih baik, pengetahuan agamanya luas, sukses, dan apapun itu yang melebihi aku," kata Arnes. Memeluk Sandra sambil memandangi langit malam di balkon hotel.

"Emangnya kenapa? kok kamu bisa mikir gak pantes?" tanya Sandra.

"Takut diremehkan. Tapi sekarang aku udah sadar, seberapa pintar dan sukses nya seorang wanita, dia pasti membutuhkan imam yang baik dan bisa membantunya juga menuju Jannah. Bisa menjadi nahkoda yang baik di rumah tangga, dan membimbingnya dengan lembut dan baik."

Sandra bahagia, Arnes benar-benar Pria idaman, dan Sandra yang lebih dulu mendapatkannya. Beruntungnya juga, dia adalah cinta pertamanya. Arnes tak pernah sekalipun dari jaman sekolah menaruh hati kepada orang lain.

"Aku juga kayak kamu, Ar. Gak ada satupun orang yang menuntut aku harus jadi seperti sekarang. Semua karena keinginan aku untuk menjadi lebih baik demi orang tua dan jodoh aku nanti. Aku gak mau aku jadi wanita yang gak tahu apa-apa. Sekeras apapun itu, aku banyak belajar. Dari mulai menjadi istri yang baik, memasak, dan apapun itu yang mendekati kriteria para laki-laki."

Arnes mencium pipi Sandra gemas. "Padahal, aku nyari istri bukan nyari guru."

"Ya kan kali aja gitu. Semua laki-laki gak kayak kamu. Beruntung nya aku yang bisa miliki kamu seorang."

"Foto, yuk," ajak Arnes.

Sandra mengangguk, mereka berdua berfoto dengan jarak yang dekat. Saling berhadapan dan tersenyum satu sama lain. Seolah ingin menjelaskan kepada dunia bahwa keduanya sangatlah bahagia.

Dua orang yang memiliki kepribadian selalu menutup diri, dipersatukan dan memilih percaya satu sama lain. Mencintainya cukup hanya satu, karena sejatinya mereka berdua tidak biasa untuk dekat dengan orang lain, apalagi terbuka secara terang-terangan.

Tidak ada banyak yang tahu, di setiap waktu yang mereka habiskan bersama, selalu ada cerita dan keromantisan yang bahkan bisa membuat iri pasangan lain. Mereka berdua menunjukkan cintanya dengan cara yang berbeda.

Cukup keduanya yang tahu dan besarnya rasa cinta satu sama lain.

I'm With You [END]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz