Awal yang Baru

688 33 0
                                    

Ingatlah! Tidak ada yang abadi, termasuk keterpurukan. Semua bisa berubah atas ijinNya. Mungkin butuh waktu yang tidak sebentar, tidak apa-apa. Jalani saja, Lillahita'ala.

Terdengar lantunan merdu santriawati dari masjid pesantren membacakan ayat suci. Kemudian terhenti sejenak dan digantikan oleh suara azan subuh. Menandakan salat Subuh tiba untuk dilaksanakan. Ishana bergegas menuju kamar Ziva untuk membangunkan putri kecilnya itu.

"Ziva, ayo bangun, Sayang. Sudah subuh, lho." Ishana menarik selimut yang menutupi tubuh mungil gadis berusia 7 tahun itu. Ziva menggeliat malas.

"Sudah subuh, Bunda?" Gadis kecil itu bertanya setengah bergumam.

Ishana mengangguk.

"Kita salat Subuh berjama'ah, Nenek sudah menunggu," ajak Ishana.

"Baiklah, Bunda, kalau begitu Ziva wudu dulu, ya," katanya sambil menyingkirkan selimut.

Ishana merapikan tempat tidurnya sebelum beranjak menuju musala kecil di rumah mereka. Usai menunaikan salah Subuh berjama'ah bersama Ibunya dan Ziva, Ishana segera mandi dan beranjak menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Sementara sang ibu melanjutkan membaca Al-Qur'an.

Sudah hampir empat tahun Ishana pindah ke kota kecil ini. Tepatnya satu bulan setelah perceraiannya dengan Arjuna. Awalnya dia ingin menenangkan diri pasca perpisahan mereka. Ishana tidak sanggup berada satu kota dengan sang mantan suami yang kini telah menikah dengan sahabatnya. Terlalu banyak kenangan bersama Arjuna. Ishana membulatkan tekad untuk pindah meskipun harus mengundurkan diri dari kantor dan menerima tawaran mengajar Bahasa Inggris di Al-Munawar.

Yayasan Pendidikan Al Munawar berada dibawah naungan Majlis Al Munawar, memiliki Layanan Mukim (Pesantren) dan Non Mukim (Regular). Ishana mengajar di Sekolah Menengah Atas Regular Al Munawar. Ziva pun bersekolah di SD Al Munawar. Dengan sisa tabungan, wanita itu membeli rumah mungil di dekat lingkungan Pesantren. Hanya lima belas menit perjalanan dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Adalah Ustazah Halimah, sahabat karib ibunya yang menawarkan mengajar di Al Munawar. Beliau juga yang mencarikan rumah yang dekat dengan tempat Ishana mengajar.

Ishana sengaja tidak memberitahukan Arjuna mengenai kepindahannya ini. Dia juga meminta Zain agar tidak mengatakan apapun pada sang mantan suami. Namun, Ishana berjanji pada diri sendiri bahwa kelak jika keadaannya sudah baik-baik saja, dia akan memberitahukan Arjuna dan Arnetta tempat tinggalnya yang baru. Terkadang terselip rasa bersalah pada Raka-putra sulungnya yang tinggal bersama Arjuna. Namun, Ishana percaya Raka akan baik-baik saja bersama ayah dan juga ibu tirinya.

"Bunda." Sebuah tangan mungil menyentuh pundak Ishana.

"Ayo antar aku ke sekolah, nanti terlambat," ajak Ziva.

Putrinya itu sudah siap untuk berangkat ke sekolah.

"Sarapannya sudah selesai, Sayang?" tanya Ishana sambil membetulkan letak jilbabnya. Ziva mengangguk.

"Tunggu sebentar, ya, Bunda pakai jilbab dulu," ujar Ishana sambil bergegas berjalan menuju kamar.

"Ziva pamit Nenek dulu, ya, Bun!" teriak Ziva sambil berlari menuju kamar neneknya.

Selesai memakai jilbab, Ishana bergegas keluar kamar. Di ruang tamu, ibunya sudah terlihat rapi.

"Hana, biar Ibu yang antar Ziva ke sekolah sekalian mau ke pasar," kata Khadijjah.

"Ibu enggak apa-apa nanti ke pasar sendiri?" tanya Ishana.

Khadijjah mengangguk.

"Hari ini kamu enggak ada jadwal mengajar, 'kan?" tanya sang ibu. Ishana menggeleng.

"Enggak ada, Bu. Hana berencana mau ke toko buku As Salam nanti siang sebelum jemput Ziva. Ada buku yang mau Hana beli," jawabnya.

"Neneeek! Ayo! Nanti Ziva terlambat!" teriak Ziva dari pintu pagar.

"Ya, sudah, Ibu berangkat, ya, Han. Jangan lupa kunci pintu kalau nanti pergi," pesan Khadijjah.

Ishana mengangguk lalu mencium punggung tangannya.

Setelah Ibu dan putrinya pergi, Ishana beranjak menuju kamar. Wanita itu duduk di depan meja rias dan menatap wajahnya di cermin. Wajah yang kini dihiasi hijab. Ishana sering membaca tentang menutup aurat bagi seorang muslimah, tentang dosa bagi wanita yang memperlihatkan auratnya di depan bukan mahrom. Dulu tidak sedikit teman yang menasehatinya untuk menutup aurat. Namun banyak alasan yang dialontarkan. Belum siap. Mas Juna belum mengizinkan. Takut kehilangan pekerjaan. Nanti menunggu usia kesekian. Hingga pertemuannya dengan Umi Halimah usai berpisah dengan Arjuna. Beliau adalah sahabat karib ibunya ketika SMA. Setelah lulus, Umi Halimah melanjutkan kuliah ke Kairo mengambil jurusan Dakwah di salah satu universitas terbaik di sana. Ketika kembali dari Kairo, beliau dikhitbah oleh K.H Muhammad Yusuf, adiknya K.H Muhammad Anwar Al Haqqi, pemilik Pondok Pesantren Al Munawar. Selain aktif berdakwah, beliau juga kepala Asrama Pondok Putri. Umi Halimah dan suaminya dikaruniai seorang putri yang kini tinggal di Kairo bersama suaminya.

"Menutup aurat itu kewajiban Hana, sebagai seorang muslimah," kata beliau suatu ketika.

"Berjilbab atau berhijab adalah simbol kehormatan seorang muslimah karena dia mampu menjaga sesuatu yang menjadi kehormatannya. Di mana tidak sembarangan orang bisa melihatnya. Berjilbab juga melindungi dari siksa api neraka karena tidak menutup aurat," lanjut Umi Halimah panjang lebar.

Hingga akhirnya Ishana memantapkan niat untuk menutup aurat. Dia benar-benar ingin memulai kehidupan baru sebagai seorang muslimah yang jauh dari dosa karena mengumbar aurat.

Sejak mengajar di sekolah Al Munawar ini, Ishana sering mengikuti kajian khusus muslimah setiap ahad. Umi Halimah yang menjadi pemateri, bergantian dengan Umi Marwah, istri K.H Muhammad Anwar. Kajian muslimah ini banyak dihadiri oleh orang tua murid dan masyarakat yang tinggal di sekitar pondok pesantren. Ishana mendapatkan kehidupan yang baru di sini.

Kehidupan yang lebih religi dan membuatnya lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Hijrah, mungkin kata itu yang bisa Ishana sebut saat ini. Dia bersyukur karena Allah memberikan keistiqomahan dalam hijrah. Masa-masa berhijrah dia lewati dengan memperbanyak ibadah, menghafal Al Qur'an dan mengikuti kajian-kajian. Hijrah membuat hidupnya lebih tenang.

Ishana melirik jam dinding di kamar. Sudah hampir pukul 10. Tidak terasa sudah hampir dua jam dia termenung di depan cermin. Wanita itu meraih kunci mobil, lalu bergegas menuju garasi. Ishana harus segera pergi ke toko buku sebelum menjemput Ziva ba'da Zuhur.

***

Imam Kedua (Renew from Rindu untuk Ishana)Where stories live. Discover now