Dibalik Niqab

440 24 0
                                    

Raka mengatakan pada Ishana bahwa sang ayah yang akan menjemputnya. Ishana berencana untuk berbicara dengan Arjuna mengenai kepindahan Raka, meskipun kelulusan putranya itu masih enam bulan lagi. Raka juga mengatakan bahwa Arnetta akan ikut menjemputnya. Setelah mengganti gamis rumahan dengan gamis yang dibelinya kemarin ketika jalan-jalan, Ishana berdiri di depan cermin dan mulai memasang niqab.

Perempuan itu tersenyum di balik cadar melihat perubahan pada penampilannya. Ya, memang telihat lebih baik dari penampilan sebelumnya dan entah mengapa Ishana merasa terlindungi dengan adanya niqab yang menutupi wajahnya.

"Masya Allah ...."

Ishana refleks menoleh ketika mendengar suara Ardi dari arah pintu kamar. Lelaki itu tersenyum lebar penuh rasa kagum dan bangga, kemudian berjalan mendekati istrinya yang masih bediri di depan cermin.

"Gimana, Mas?" tanya Ishana sedikit malu dan beruntung niqab itu bisa menyembunyikan rona merah pada kedua pipinya karena ditatap sedemikian rupa oleh suaminya.

"Cantik," puji Ardi seraya kedua tangannya terulur merapikan khimar dan niqab yang memang tidak terikat rapi.

"Maaf,Mas, berantakan ya? Aku baru pertama kali pakai ini," ucap Ishana.

Ardi tersenyum.

"Secantik-cantiknya wanita adalah mereka yang menjaga pandangan dan auratnya hanya untuk yang halal baginya. Meski hukum memakai niqab bagi beberapa madhzab adalah sunnah, tapi keutamaan memakai niqab adalah untuk melindungi diri seorang wanita. Sekarang apa yang kamu rasakan setelah memakainya?"

Ishana tertunduk malu. Dirinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Ardi adalah kebenaran karena sejatinya wanita adalah fitnah paling besar bagi kaum lelaki.

"Mas benar. Terima kasih karena telah mengingatkan aku dan mengajakku untuk berubah. Jujur, Mas, setelah mengenakan pakaian ini aku merasa lebih nyaman dan aman," Ishana mendongak menatap Ardi sambil tersenyum.

"Ini sudah kewajiban aku sebagai suami, karena aku enggak ingin istriku memperlihatkan keindahannya pada orang lain selain dari mahramnya sendiri. Aku akan membantumu untuk membiasakan diri mengenakan niqab. Nanti kita bisa beli niqab lagi," kata Ardi yang semakin membuat Ishana kagum akan sosok lelaki penerus pondok pesantren Al Munawar itu.

"Ya udah, yuk, kita berangkat." Ardi meraih tangan Ishana.

Ishana memandang tangannya yang digenggam oleh sang suami. Dia yang sudah hampir mati rasa pada lawan jenis dan bahkan telah lupa dengan indah perasaan cinta kini mulai merasakan nyaman itu kembali meresap ke dadanya. Sudah lama tidak ada yang memperhatikannya, tidak ada yang mendampingi dan menemaninya. Sekarang, dia kembali berada di balik punggung lebar nan bidang milik lelaki sholeh yang berstatus suaminya. Ishana hanya bisa berharap jika kejadian yang pernah dialaminya di pernikahan pertamanya tidak akan terulang lagi pada pernikahan keduanya. Mungkin dia tidak akan sanggup untuk bangkit lagi jika rasa sakit yang sama dia alami lagi.

Melewati area pesantren, Ardi tidak melepaskan genggaman tangannya. Puluhan mata memandang mereka yang melintas . Para santriwati terlihat heboh dan berbisik-bisik. Sekelompok santriawati yang berada di lantai 2 gedung kelas pesantren pun memicingkan mata mereka ke arah parkiran dimana Ardi memarkirkan mobilnya. Sementara para santri mengangguk sopan pada Ardi tanpa melihat Ishana.

Sempat terdengar suara mereka, "Itu Ustazah Hana, kan, ya? Cantik sekali pakai cadar."

Ardi mempercepat langkahnya menuju mobil. Lelaki itu membukakan pintu mobil untuk sang istri sebelum berputar ke arah pintu yang satunya lagi.

Dua puluh menit kemudian, mereka telah sampai di rumah Ishana. Sebenarnya jarak pesantren dengan rumah Ishana bisa ditempuh dengan jalan kaki. Namun, Ardi memutuskan untuk membawa mobil karena akan membawa sebagian barang-barang milik sang istri. Khadijjah sangat senang dengan penampilan putrinya menuju lebih baik. Meski dulu Ishana memang pernah berniat untuk memakai cadar, akan tetapi sampai beberapa waktu tidak pernah direalisasikan hingga hari ini.

"Alhamdulillah, kamu cantik sekali, Nak," Khadijjah memeluk Ishana.

Matanya berkaca-kaca. Ziva memandang sang ibu dengan mata berbinar.

"Bunda, pakai cadar? Masya Allah cantik sekali. Nanti Ziva juga mau pakai cadar," ucap gadis berusia sepuluh tahun itu.

Lalu Ziva menatap ayah tirinya sambil bertanya," Abi, Ziva sudah boleh pake cadar?"

Ardi berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan Ziva.

"Boleh. Memangnya Ziva mau banget ya, pake cadar?" tanyanya.

Ziva mengangguk.

"Nanti ayah belikan, ya," ujar Ardi.

Lalu tangannya terulur untuk mengelus kepala sang putri yang tertutup jilbab. Ishana memandang Raka yang sedari tadi mematung.

"Abang, gimana? Bunda cantik enggak?" tanyanya bercanda.

"Hmm, cantik kok, Bun," jawab Raka.

"Semoga aja enggak ada yang bilang Bunda teroris," lanjutnya.

Ishana terlonjak kaget mendengar perkataan putranya. Namun ketika mulutnya hendak mengatakan sesuatu, Ardi memegang tangannya sambil menggeleng. Lelaki itu kemudian mengalihkan pandangan pada sang ibu mertua.

"Ibu, saya mau minta izin untuk membawa Hana dan juga Ziva untuk tinggal di rumah saya," ucapnya.

"Tapi, jika Ibu keberatan, izinkan saya untuk tinggal di sini," lanjutnya.

Khadijjah tersenyum, lalu berkata, "Sudah sepantasnya memang Hana tinggal bersamamu, Ibu sama sekali tidak keberatan. Tapi mengenai Ziva, apa tidak apa-apa dia juga tinggal di rumahmu? Orang tuamu bagaimana? Pak Kyai dan Ibu Kyai sudah setuju? Mengingat bahwa Ziva─," ucapan ibunya Ishana itu terputus oleh kalimat Ardi.

"Ibu, Ziva dan juga Raka adalah anak-anak saya juga. Saya menyayangi mereka seperti anak sendiri. Raka dan Ziva juga bagian dari keluarga besar Al Munawar. Mereka cucu-cucunya Abah dan Umma sejak saya menikah dengan Hana," terang Ardi panjang lebar.

Khadijjah menatap wajah menantunya dengan pandangan haru.

"Mas, aku enggak apa-apa kalau anak-anakku tetap tinggal sama Ibu. Kita masih bisa sesekali menginap di sini, jaraknya juga dekat dari pesantren," Ishana menimpali.

"Anak-anak aku, Hana," ucap Ardi ketika mendengar sang istri mengatakan "anak-anakku."

Kekhawatiran Khadijjah dan juga Ishana bisa dimengerti oleh Ardi mengingat kedua orang tuanya belum dekat dengan anak-anak tirinya.

"Ibu enggak usah khawatir, ya, Abah dan Umma pasti senang ada cucu-cucunya," kata Ardi sambil menggenggam tangan Khadijjah.

"Baiklah kalau begitu, terserah kalian saja," Khadijjah akhirnya berkata. "Tapi malam ini, biar Ziva di sini dulu ya, besok Ibu antar ke rumahmu."

Ardi mengangguk seraya tersenyum. T

Tiba-tiba terdengar suara deru mobil dari luar.

"Kayaknya itu Ayah, deh, Bun," ucap Raka sambil berlari keluar.

"Assalamualaikum." Terdengar suara yang Ishana kenal. Dua orang yang dia kenal sudah berdiri di teras rumah.

***

BAB 20

Imam Kedua (Renew from Rindu untuk Ishana)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang