Bertemu Kembali

595 32 0
                                    

Pertemuan itu akan datang dengan seharusnya. Cukup nikmati saja prosesnya.

Ishana memandang wajah putrinya yang tertidur lelap. Sudah dua hari Ziva tidak masuk sekolah. Sesekali putrinya itu mengigau dan terbatuk. Ishana mengusap pipi Ziva yang memerah karena demam. Ishana mengambil termometer dan mengukur suhu bada putrinya.

"38," gumam Ishana.

Ishana menempelkan plester penurun demam di dahi Ziva. Perempuam itu mengecup kening Ziva. Lalu Ishana membaringkan diri di sisi Ziva. Gadis kecil itu kembali mengigau. Ishana memeluk Ziva dan mengusap punggungnya dengan sayang. Ziva memang anak yang pendiam. Namun, jika sedang sakit seperti ini, Ziva akan rewel dan mengigau terus. Dulu, Arjuna yang selalu menenangkan Ziva ketika sakit. Arjuna lah yang selalu menemani Ziva karena putri kecilnya itu dekat sekali dengan sang ayah.

"Mungkinkah dia sakit karena merindukan ayahnya?" gumam Ishana.

"Ziva, cepat sembuh ya, Nak. Bunda enggak tega liat Ziva seperti ini, susah makan dan tidur tidak nyaman begini," lirih Ishana.

Setelah Ziva benar-benar terlelap, Ishana bangkit dari kasur dan berjalan menuju meja riasnya. Wanita itu mengambil sebuah bingkai foto dari laci. Foto keluarga dengan gambar empat orang di sana. Arjuna, Raka, Ziva dengan senyum ceria dan dirinya dengan senyum anggun. Diusapnya wajah Arjuna dalam bingkai itu.

"Apa kabar kamu sekarang, Mas? Anakmu dengan Arnetta pasti sudah besar, ya? Laki-laki atau perempuan?" batin Ishana. Tangannya beralih mengusap wajah Raka, putra sulungnya.

"Bunda rindu, Nak," Ishana meneruskan dalam hati.

"Kamu enggak ingin menemui Raka?" sebuah sentuhan di pundak menyadarkan Ishana dari lamunan. Segera dia masukkannya kembali foto itu ke dalam laci meja rias. Ishana menatap wajah ibunya.

"Raka pasti bahagia, Bu, kan tinggal sama ayahnya," ujarnya tersenyum tipis.

"Temui dia, Nak. Raka pasti merindukanmu. Ajak Raka kemari, ibu juga kangen," kata Khadijjah seraya mengusap rambut Ishana.

"Raka hanya berpisah denganku, Bu. Masih ada ayah, mama dan adik tirinya. Hana yakin Netta pasti sangat menyayangi Raka. Netta mengenal Raka dari bayi, " kata Ishana.

"Raka tidak akan kehilangan kasih sayang hanya karena berpisah dengan ibunya," lanjutnya lirih.

"Jangan kamu sebut nama perempuan itu di depan ibu!" geram Khadijjah.

Ishana membalikkan badan menghadap ibunya. Wanita itu menggenggam tangan wanita yang dia sayangi.

"Ibu, Hana sudah ikhlasin semua. Hana harap Ibu juga ikhlas, ya. Biar hidup kita bahagia," ucapnya.

"Hana pasti akan menemui Raka suatu hari nanti," lanjutnya.

Ishana mencoba bersikap tegar, tapi entah kenapa air matanya mengalir.

"Menangislah, Nak," ujar Khadijjah sambil menangkap tubuh Ishana di pelukannya, menepuk pelan punggung sang putri. Sejenak mereka berdua larut dalam perasaan masing-masing.

***

Ishana merapikan jilbabnya. Dilihatnya lagi wajahnya di cermin. Lalu bergegas berjalan ke luar kamar. Melewati dapur, dia melihat ibunya sedang memasukkan kue-kue ke dalam kotak di bantu oleh Ziva.

"Kamu sudah sehat, Nak?" Ishana meraba kening Ziva.

Putrinya itu mengangguk.

"Sudah Bun, aku sudah enggak demam lagi," jawab Ziva.

Ishana menoleh pada Khadijjah.

"Biar Hana bantu, Bu," katanya.

"Enggak usah, Han. Kamu bikinin minum buat Ustaz Ardi. Dia pasti menunggu lama di ruang tamu," pinta ibunya.

Ishana mengernyitkan dahi.

"Ustaz Ardi? Ada perlu apa dia kemari, Bu?" tanyanya heran.

"Ini pesanan Umi Halimah untuk acara pengajian keluarga mereka. Ustaz Ardi datang untuk mengambil kue-kue ini," jawab sang ibu.

Ishana segera menyiapkan teh hangat dan membawanya ke ruang tamu.

"Maaf menunggu lama, ya, Ustaz. Ibu lagi menyiapkan kue-kuenya dulu," kata Ishana sambil menaruh cangkir teh hangat di meja.

Lelaki itu menoleh dan mengangguk.

"Terima kasih," ucapnya singkat.

Ishana berdiri di tempatnya sambil memegang baki. Baru teringat bahwa dia belum mengucapkan terima kasih atas pertolongan Ustaz Ardi ketika Ziva sakit.

"Saya mau mengucapkan terima kasih atas pertolongan Ustaz dan Umi Halimah ketika Ziva sakit," kata Ishana.

"Saya sudah mengatakan, kan, waktu di Rumah Sakit bahwa Ziva sakit ketika di sekolah. Sudah kewajiban kami untuk mengurusnya. Jadi, kamu jangan khawatir," ucap Ustaz Ardi.

"Kamu enggak mau duduk? Enggak pegal berdiri begitu?" tanya lelaki itu.

"Eeh, i-ya, Ustaz," kata Ishana sedikit gugup.

Lalu dia duduk di sofa.

"Saya minum, ya, tehnya," kata Ustaz Ardi.

"Silakan," Ishana berkata pelan.

"Sekarang bagaimana keadaan Ziva? Sudah sehat? Apa perlu kontrol lagi ke dokter?" tanya lelaki yang duduk di hadapan Ishana itu.

"Aku sudah sehat, Ustaz. Terima kasih." Suara milik Ziva membuat Ishana menoleh.

Ziva sudah berdiri di sampiing sofa bersama sang nenek.

"Alhamdulillah kalau Ziva sudah sehat. Besok sudah bisa kembali sekolah?" ucap Ustaz Ardi.

"Insyaallah, Ustaz," jawab gadis kecil itu seraya duduk di samping sang bunda.

"Nak Ardi, saya minta maaf jadi menunggu lama. Ini pesanan kue-kuenya," Khadijjah menyodorkan tiga kotak kue kepada Ustaz Ardi.

"Oh, iya, enggak apa-apa Ibu. Saya mungkin yang datang kemari terlalu cepat," sahut pria berbadan tegap itu sambil mengambil kotak kue dari tangan ibunya Ishana.

"Saya langsung pamit aja, ya, Bu," lanjutnya seraya bangkit dari duduk.

Khadijjah dan Ziva mengantar pria itu sampai pintu pagar. Sebelum menaiki mobilnya, Ustaz Ardi mengelus rambut Ziva. Ishana memperhatikan dari dalam rumah. Putra sulung pemilik Al Munawar itu mampu membuat seluruh santriawati terpesona dengan sosoknya yang kharismatik. Apalagi sejak kepulangannya dari Kairo, pria itu turut mengajar di SMA Al Munawar.

Sudah beberapa kali Ishana melihat Ustaz Ardi di sekolah. Namun, karena ruang guru akhwat dan ikhwan terpisah, jadi interaksi antara dia dengan pria itu pun terbatas. Beberapa kali juga mereka berpapasan di koridor sekolah. Namun, hanya menunduk sambil melanjutkan langkah masing-masing. Wanita itu menarik napas panjang dan bangkit dari sofa. Lalu dia berjalan menuju dapur untuk beres-beres.

***

Imam Kedua (Renew from Rindu untuk Ishana)Where stories live. Discover now