Abi, We Love You

436 26 0
                                    

Dalam perjalanan menuju rumah Ishana, Ardi berkali-kali melirik sang istri.

"Han, setelah resepsi pernikahan kita, Raka langsung pulang apa menginap di rumah Ibu?" tanya Ardi.

"Ah iya, Mas, Raka masih di rumah Ibu. Mas Juna mengizinkannya sampai hari senin. Mungkin selasa baru dijemput," jawab Ishana.

"Kalau begitu, ajak Raka sekalian, ya, Han," ucap Ardi.

Ishana mengangguk.

"Han, aku boleh tanya sesuatu?" Ardi menggengam tangan sang istri dengan tangan kirinya.

"Tapi kamu janji ya, enggak marah?"

Ishana tertawa kecil.

"Mau nanya apa sih, Mas, kok kayak takut gitu?" tanya Ishana.

"Hmm ... kamu enggak undang ayahnya Raka dan Ziva ke resepsi kita?" tanya Arjuna.

"Ohh, kamu mau nanya itu, Mas, aku pikir mau nanya apa," ucap Ishana.

"Aku mengundang Mas Juna dan Arnetta. Kartu undangan aku titip Bayu. Tapi entah kenapa mereka enggak hadir. Hanya Raka datang diantar Pak Hasan, supir Mas Juna," terang Ishana.

Ardi terdiam mendengar penuturan sang istri.

"Nanti, kalau ada waktu, aku kenalkan kamu sama ayahnya anak-anak ya, Mas. Aku juga perlu bicara dengan Mas Juna mengenai kepindahan Raka ke sini," kata Ishana seolah paham apa yang diinginkan Ardi.

Ardi tak menjawab. Lelaki itu fokus menyetir. Sejenak suasana hening.

"Raka mau tinggal sama kita, Han?" tanya Ardi.

"Iya, Mas, boleh? Raka sebentar lagi masuk SMP, aku ingin dia sekolah di Al Munawar. Aku akan membicarakannya dengan Arjuna dan juga Arnetta. Semoga mereka mengizinkan.

"Tentu saja boleh, Sayang. Aku senang jika Raka mau sekolah di Al Munawar. Sudah kukatakan kalau anak-anakmu ya anak-anak aku juga. Abi juga pasti senang mendapatkan cucu-cucu yang sudah besar," jawab Ardi.

"Tapi Mas, aku harus menemui Arjuna untuk membicarakan ini," ucap Ishana.

"Aku akan menemanimu bertemu Arjuna," kata Ardi tanpa keraguan.

Dalam hati, lelaki itu penasaran seperti apa lelaki yang pernah menyakiti perempuan sebaik Ishana.

"Terima kasih, Mas," ucap Ishana dengan perasaan lega.

***

Kini, mereka berempat sudah dalam perjalanan untuk berbelanja. Khadijjah menolak ikut karena ada janji dengan Umi Halimah. Ishana mengernyitkan dahi ketika Ardi membawanya ke sebuah mall terbesar di kota mereka, padahal Ishana ingin berbelanja di pasar tradisional.

"Mas, kok ke mall, sih? Kan aku maunya belanja di pasar Anyar," protes Ishana.

"Kita belanja di sini aja, ya. Ada supermarket juga. Sekalian Raka dan Ziva juga bisa beli apa yang mereka mau," ucap Ardi sambil memarkirkan mobilnya.

"Ziva boleh beli apa aja, Bi?" tanya Ziva. Raka langsung menyenggol lengan sang adik.

"Adek, enggak boleh gitu," ucap Raka.

Ardi tersenyum, lalu berkata, " Boleh, Abang Raka dan Ziva hari ini Abi yang traktir, ya."

Ziva berteriak kegirangan, sementara Raka hanya tersenyum kaku.

Mereka berempat lalu masuk ke supermarket yang berada di dalam mall. Ishana sudah menulis beberapa bahan masakan yang akan dia beli. Ardi berjalan ke arah barisan troli dan mengambil salah satunya. Sementara Raka dan Ziva mengekor di belakang mereka. Memasuki daerah buah dan sayuran adalah tujuan pertama Ishana. Lalu perempuan itu berjalan ke arah daging dan ayam, mengambil beberapa kilo daging dan ayam untuk kebutuhan sebulan. Lalu berjalan ke arah susu dan yogurt. Raka ikut memilih susu favoritnya dan juga Ziva.

Selesai barisan susu dan yogurt, Ishana berjalan ke arah roti tawar yang terpajang dengan beberapa merek dan jenis. Mengambil roti tawar yang biasa dia beli untuk membuat sandwich. Raka sangat menyukai sandwich buatannya. Lalu berjalan ke arah frozen food, mengambil beberapa kantong nugget dan sosis favorit anak-anaknya. Terakhir, perempuan itu menuju tempat sabun dan keperluan mencuci. Membeli beberapa lalu berjalan menuju kasir. Sesekali terdengar celotehan Raka dan Ziva. Kedua anaknya itu tak lupa membeli beberapa cemilan favorit mereka. Tanpa Ishana sadari, Ardi memperhatikan dari belakang. Lelaki itu merasa bahagia karena kini dia memiliki keluarga lengkap.

Selesai belanja di supermarket, mereka makan di restoran yang dipilih oleh Raka. Sambil menunggu makanan datang, Ishana membuka percakapan dengan putra sulungnya itu.

"Abang, kan sebentar lagi mau masuk SMP. Mau ya, sekolah di sini, tinggal sama Bunda?" tanya Ishana dengan hati-hati.

Raka yang tengah memainkan ponselnya hanya melirik sang Bunda sekilas.

"Atau Abang sudah ada pilihan sekolah di Jakarta? Ayah sudah memilihkan sekolah buat Abang?" tanya Ishana lagi.

Raka menggelang.

"Belum," jawabnya singkat.

"Kalau begitu, Abang mau ya sekolah di Al Munawar bareng sama Adek? Nanti biar Bunda yang bicara sama Ayah. Kalau Abang sudah setuju, nanti Abi yang urus semuanya," kata Ishana panjang lebar.

"Kenapa enggak Adek Ziva aja yang pindah ke Jakarta?" tanya Raka.

Ishana terdiam sesaat, lalu memandang Ardi. Lelaki itu memberi isyarat agar sang istri melanjutkan percakapan.

"Adek Ziva sebentar lagi kelas 6, Bang. Tanggung kalau pindah. Lagipula Bunda sudah lama enggak tinggal sama Abang, kan?" ucap Ishana pelan.

Raka memandang sang ibu sebentar sebelum akhirnya berkata," Iya Bun, Abang mau sekolah di sini."

Ishana dan juga Ardi menarik napas lega.

"Nanti setelah kalian berdua ujian sekolah, kita pergi liburan, ya," ucap Ardi yang disambut pekik gembira Ziva.

"Liburan? Beneran, Bi?" tanya Ziva tak percaya.

"Mas ....," Ishana menatap Ardi sambil menggeleng.

"Liburan kemana, Bi?" akhirnya Raka membuka percakapan dengan ayah tirinya.

Ishana tersenyum bahagia. Dia tahu bahwa putranya itu sangat menyukai travelling.

"Abi serahkan sama Bunda dan kalian berdua. Terserah mau liburan kemana," jawab Ardi.

"Asyik, beneran kita boleh milih tempat liburan?" tanya Ziva dengan mata berbinar.

"Tentu anak cantiknya, Abi." Ardi menjawil hidung Ziva dengan sayang.

"Terima kasih, Abi. We love you." Ziva memeluk ayah tirinya dengan erat.

Sementara Ishana dan Raka menyaksikan pemandangan di depan mereka sambil tersenyum.

Imam Kedua (Renew from Rindu untuk Ishana)Where stories live. Discover now