Ikhlas

995 48 14
                                    


"Selamat siang, Ibu Ishana." Dokter Vina menghampiri Ishana dengan senyuman ramah. Lalu dokter itu melirik Ardi yang tertidur di kursi kecil samping ranjang dengan tangan bersidekap.

"Pak Ardi kecapean kayaknya, ya, nungguin istrinya," ucap dokter Vina sambil mendekat ke arah Ishana untuk melakukan pemeriksaan rutin dibantu oleh suster Gita.

"Kondisi Ibu Ishana sudah membaik. Besok sudah boleh pulang," ucapnya.

"Alhamdulillah," tiba-tiba terdengar suara Ardi. "Maaf, Dok, saya tertidur."

"Enggak apa-apa, Pak. Nanti setelah di rumah, dijaga ya, Pak, Bu, jangan sampai kelelahan dan banyak pikiran. Istirahat yang banyak," kata dokter Vina.

"Baik, Dok. Terima kasih banyak," ucap Ardi.

"Besok saya kasih resep obat yang harus diminum ya, Bu," kata Dokter Vina.

"Dokter, " panggil Ishana. Dia menggigit bibirnya, ragu untuk bertanya.

"Ya, ada yang mau ditanyakan, Bu?" tanya dokter Vina.

"Apa saya masih bisa hamil lagi?" tanya Ishana.

Ardi menghela napas panjang, kemudian mengelus kepala sang istri.

Dokter Vina tersenyum.

"Kita bicarakan lagi nanti, ya, Bu. Sekarang yang penting Ibu Ishana banyak istirahat, jangan melakukan pekerjaan yang berat-berat dan minum obatnya secara teratur. Setelah benar-benar pulih, kita akan bicara lagi mengenai kemungkinan hamil lagi," terang dokter Vina.

Ishana hanya bisa mengangguk pasrah. Dokter Vina meninggalkan ruangan diikuti oleh suster Gita.

"Sayang, kamu jangan pikirkan itu, ya. Yang penting sehat dulu." Ardi merengkuh Ishana ke dalam pelukannya.

Lelaki itu menyadari bahwa keinginan Ishana untuk memberinya anak sangat kuat. Namun, Ardi tak ingin istrinya itu memaksakan diri lagi. Dia tidak ingin terjadi hal yang membahayakan diri Ishana. Bagi Ardi, sudah cukup dia kehilangan calon anaknya saja, jangan Ishana. Dia tak sanggup jika harus hidup tanpa perempuan itu.

Ishana tak tahu kenapa dia menanyakan pertanyaan itu pada dokter Vina. Padahal dia sudah tahu bahwa akan sulit baginya untuk hamil lagi, terlebih dia mengidap endometriosis. Buktinya kehamilan pertamanya ini dia tak mampu menjaga kandungannya. Mungkin dalam waktu dekat hamil lagi tidak ada dalam rencananya. Ardi sudah memiliki Salwa. Madunya itu pasti bisa memberikan Ardi keturunan. Mereka pasti bisa membangun keluarga kecil yang bahagia. Abi dan Umma juga pasti menginginkan cucu-cucu yang lahir dari rahim Salwa.

"Sayang, aku salat Zuhur di masjid rumah sakit dulu, ya." Ardi melepaskan pelukannya.

Ishana tersentak dari lamunan.

"Iya,Mas," jawabnya singkat.

Setelah Ardi meninggalkan kamar, ponselnya berdering singkat. Sebuah pesan dari Arjuna.

"Hana, aku serius dengan keinginanku agar kita rujuk. Hubungi aku jika kamu tidak mampu bertahan dengan Ardi."

Ishana menghela napas, lalu menyimpan ponselnya kembali. Dia sama sekali tidak berminat untuk membalas pesan dari Arjuna.

Esok harinya Ishana sudah boleh pulang. Setelah selesai mengurus administrasi, mereka meninggalkan rumah sakit. Dalam perjalanan pulang, Ishana lebih banyak diam. Ardi menggenggam tangan sang istri dengan sebelah tangannya.

"Sayang, kamu mau makan? Atau mungkin mau beli sesuatu?" tanyanya.

Ishana menggeleng.

"Mas, mulai sekarang kamu harus punya pembagian waktu untuk aku dan Salwa. Jangan sampai Salwa cemburu melihat Mas lebih banyak sama aku," kata Ishana.

"Nanti aku pikirkan," jawab Ardi singkat.

"Kalian baru menikah. Aku enggak apa-apa, kok, Mas, kalau untuk sementara kamu lebih banyak menghabiskan waktu dengan Salwa. Pergilah berbulan madu, Mas. Biar cepet punya anak dan kamu enggak sedih lagi," ucap Ishana.

Ardi tidak menanggapi kalimat Ishana. Lelaki itu fokus menyetir agar cepat sampai rumah.

Setelah sampai rumah, Ishana langsung masuk ke kamar. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya tumpah juga. Selama ini dia selalu belajar menyiapkan hati untuk ikhlas, apabila suaminya memutuskan untuk menikah lagi, tetapi pada kenyataannya begitu sulit hatinya menerima sosok wanita lain yang hadir di tengah-tengah kebahagiaannya.

Kini, bukan hanya dirinya yang berhak memiliki hati Ardi, melainkan ada wanita lain yang sama-sama memiliki hak atas Ardi. Ishana tak henti-hentinya bershalawat. Menenangkan hati dan pikirannya yang tengah diselimuti cemburu.

'Ya, Rabb. Kuatkanlah hati hamba untuk melewati semua. Biarkan hati ini ikhlas untuk berbagi suami dengan wanita lain, dan jadikanlah Mas Ardi menjadi sosok suami yang bisa adil terhadap kedua istrinya. Amin."

Ishana mengambil wudu dan salat sunnah dua rakaat. Hanya doa yang bisa menyembuhkan semua rasa sakit di hatinya. Mungkin sudah saatnya dia fokus menata hatinya sendiri untuk menjadi muslimah yang lebih baik. Ikhlas itu mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dipraktekkan. Ishana menghela napas perlahan, berbagi suami ternyata tidak semudah yang dia pikirkan.

"Kamu pasti kuat, Hana! Allah selalu ada untukmu. Apa lagi yang harus kamu takutkan? Selama hatimu bersama Allah, insyallah semua akan baik-baik saja," Ishana bermonolog.

***

Imam Kedua (Renew from Rindu untuk Ishana)Onde histórias criam vida. Descubra agora