3) Balkon Kamar

37 5 0
                                    

oOoOo

Sembari mengumpat selama perjalanan, Aru memerhatikan sebuah kamus berukuran kecil, yang beberapa waktu yang lalu, pak Ashel berikan padanya. Dirinya benar-benar merasa diejek, dan akan membuktikan bahwa dirinya mampu.

Langkahnya cepat, lalu tanpa dirinya sadari, dari arah sebelah kanan, dari balik pintu yang terbuka, muncul seseorang. Aru terkejut, dan tanpa sengaja menabrak punggung seseorang yang membelakanginya.

"Maaf, maafkan aku," kata Aru, "aku tidak melihat."

Seseorang itu berbalik, lalu menampakkan wajah yang dirinya kenali. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya pria itu, yang ternyata adalah Fiko.

"Aku baik-baik saja," balas Aru, "aku buru-buru, jadi tidak melihat, maafkan aku."

"Kenapa kamu belum pulang?" Fiko malah melompat ke pertanyaan lain.

"Aku baru saja dari perpustakaan." Mata gadis itu melirik sebuah tas biola yang ditentang Fiko. "Apa kamu sudah selesai?"

Fiko tahu, kemana lirikan mata gadis itu. "Ah, iya. Aku tidak berselera main biola hari ini," ucapnya.

"Pantas saja, aku tidak mendengar suaranya."

"Apa kamu sering mendengarnya?"

Aru terdiam, ia tidak mau Fiko tahu kalau dirinya sering menantikan pria itu bermain biola di ruang musik. Nanti bisa-bisa, Fiko salah paham. Padahal, Aru hanya menyukai nada dan suara-suara indah yang dibuatnya saja.

"Terkadang. Jika aku akan pergi ke perpustakaan, aku mendengar kamu bermain," jawab Aru.

"Ah, begitu. Ayo kita pulang."

Keduanya berjalan beriringan keluar sekolah. Berjalan di trotoar yang sama, menunggu di halte dan menaiki bus yang sama. Tidak ada obrolan di sepanjang perjalanan, keduanya fokus pada ponsel dan isi pikiran masing-masing.

Aru memang tidak terlalu dekat dengan teman sekelasnya ini. Apalagi, gadis itu memang sangat berhati-hati dalam memilih teman, terlebih lagi jika itu adalah seorang pria. Tak lama, bus itu berhenti di depan perumahan, dan Aru terkejut, saat Fiko juga turun di sana.

"Kenapa kamu turun di sini?"

"Aku tinggal di sini," jawab Fiko, datar.

Gadis itu mengeluarkan ekspresi terkejut. "Apa? Sejak kapan?"

"Sejak kapan? Apa kamu tidak menyadari kalau setiap pagi, kita selalu naik bus yang sama?"

Aru terdiam, sepertinya ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Fiko selama hampir satu tahun lebih ini. Kalau dipikir-pikir lagi, memang ada seorang siswa yang menggunakan seragam sepertinya menunggu bus yang sama dan berhenti di tempat yang sama. Ternyata, itu adalah Fiko.

"Maafkan aku," kata gadis itu, "aku sama sekali tidak menyadarinya."

Fiko berjalan melewatinya. "Tidak apa, kamu tidak perlu meminta maaf." Keduanya kembali berjalan, lalu tanpa Aru sangka, Fiko bertanya, "Kamu tinggal di komplek apa?"

"Komplek D."

"Ah, paling ujung, ya? Aku belum pernah ke sana." Kedua orang itu berhenti di sebuah persimpangan, Fiko menunjuk arah jalan sebelah kiri. "Rumahku lewat sini, aku pergi duluan," ucapnya, lalu pergi begitu saja.

"Sampai jumpa besok," ucapan Aru, tidak dibalas oleh pria itu. Gadis itu terdiam sejenak, lalu berjalan lurus menuju ke arah rumahnya. Di perjalanan, ia terpikirkan raut wajah Fiko. Ia merasa, ada sesuatu yang berbeda darinya, pria itu tidak seperti biasanya.

Seberang JendelaWhere stories live. Discover now