11) Saksi yang Penakut

15 4 0
                                    

oOoOo

Aru yang mengintip dan menyaksikan itu di depan matanya, nampak panik. Ia ingin menghampiri mereka. Tapi, dirinya tidak ingin ikut campur dan Aru yakin, kalau Fiko menginginkan hal yang sama. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dan merekam kejadian itu, sebagai bukti.

"Omong besar," kata gadis itu, menarik kerah baju Fiko lalu berkata, "menyedihkan sekali, Fiko. Kamu pikir bisa merebut semua medali itu, tidak akan bisa!" teriaknya.

Fiko membalas tatapannya, dengan napas terengah, ia menyindir, "Kalau begitu, rebut medali itu, dan lakukan apa yang aku lakukan, Nia."

Merasa tersinggung, Nia menampar pipi pria itu hingga menimbulkan suara keras. "Menyedihkan. Lihat dirimu baik-baik. Kamu hanya diperlakukan baik karena kamu memiliki bakat yang mereka cari. Jika tidak, kamu hanya pemeran figuran yang datang hanya untuk mengisi absen setiap harinya."

"Ya, sama seperti kalian, kan?"

"Kurang ajar!"

"Hentikan!" Orang-orang yang ada di sana, seketika melirik ke arah asal suara seseorang berteriak. Aru yang memegangi sebuah ponsel, menunjuk ke arah mereka yang kembali akan memukul Fiko. "Aku merekamnya ... lepaskan Fiko."

"Siapa dia?" tanya Nia, pada temannya.

"Arunika, dia dari kelas C."

Nia berdecih. "Aku tidak menyangka kamu memiliki teman, Fiko."

"Dasar gadis bodoh ... mau apa kamu di sini?" tanya Fiko, yang menatap Aru dengan tangan yang diletakkan di perutnya.

"Lepaskan dia ... atau aku akan laporkan tindakan kalian ini ke kepala sekolah!" ancam Aru, dengan suara tinggi.

Nia menatapnya tajam, mengepalkan tangannya. "Ini bukan urusanmu, dan sebaiknya, kamu tidak perlu ikut campur," kata Nia, lalu berbalik ke belakang. "Ayo, kita pergi." Para anggota klub musik itu kemudian pergi, sedikit berlari.

Dengan segera, Aru menghampiri Fiko yang berjongkok sembari memegangi perutnya. Sekarang, luka lebam di wajah teman sekelasnya itu bisa dilihat dengan jelas. "Sebaiknya kita pergi ke UKS," kata Aru, memegangi tangan Fiko untuk membantunya berdiri.

"Kenapa kamu melakukan ini?"

"Apa?"

Fiko menatapnya. "Kenapa kamu melakukan ini? Kamu tidak perlu ikut campur," ujarnya, dengan napas terengah-engah. "Mereka pasti akan mengincarmu ... dasar bodoh. Kamu benar-benar bodoh."

"Tidak ada yang lebih bodoh dibandingkan dirimu yang dengan berani mengolok-olok mereka!" sentak Aru, menarik paksa tangan Fiko agar segera bangkit dari posisinya. "Sebaiknya kita cepat pergi."

Aru menuntun Fiko menuju ruang UKS, sepanjang perjalanan mereka, tidak nampak siswa yang berlalu lalang karena sebagian besar dari mereka, tengah menyaksikan pertandingan final futsal di lapangan, termasuk teman sekelasnya. Tapi saat keduanya berada di koridor, tatapannya bertemu dengan pak Ashel yang mengintip pemandangan di balik jendela.

Pak Ashel nampak terkejut, dengan cepat, ia menghampiri keduanya. "Apa yang terjadi?" tanyanya, dengan nada khawatir.

Aru tidak menjawab, dan malah menatap ke arah lain. "Baiklah, baiklah, akan saya antar ke UKS." Pak Ashel menarik Fiko pelan, lalu menuntunnya. Sementara Aru mengikuti mereka dari belakang.

Seberang JendelaWhere stories live. Discover now