22) Kilauan

24 3 5
                                    

oOoOo

Melihat Reaksi Fiko, Aru nampak terkejut. "Apa?"

Fiko hanya diam, menutup kedua matanya kemudian berjalan melewati Aru yang kebingungan. Gadis itu berlari kecil, menyusul Fiko yang membelakanginya.

"Fiko," panggilnya, "apa? Ada apa denganmu?"

"Lupakan saja," balasnya, kemudian mempercepat langkahnya.

Aru membiarkannya pergi begitu saja, meskipun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, gadis itu memilih untuk berjalan berlawanan arah dengan Fiko. "Dasar aneh," gumamnya.

oOoOo

Aru berbaring di tempat tidurnya dengan posisi tengkurap, membiarkan ponselnya yang sesekali bergetar tanda adanya pesan yang masuk. Kepalanya menoleh, matanya melirik ke arah sebuah jendela besar yang langsung terhubung dengan balkon kamarnya.

Cuaca di luar tengah terang bulan, tapi entah kenapa bukan hal itu yang ingin Aru lihat di sana. Ada sesuatu lain, yang membuatnya ingin melangkah ke sana.

Angin malam seketika menyeruak masuk ke dalam kamar kala ia menggeser pintu jendelanya, menuju arah balkon dengan piyama panjang berwarna abu-abunya. Di seberang sana, ada seseorang berdiri dengan tangan yang terlipat di atas pembatas besi.

Pria dengan rambut yang tengah dibelai angin itu melirik, menyadari ada seseorang yang baru saja keluar dari seberang balkonnya. Tubuhnya memutar, berhadapan langsung dengan Aru di sana.

"Good afternoon, Arunika," sapa pak Ashel, dengan senyuman kecilnya.

"Selamat malam, Pak."

"Keluar untuk melihat bulan juga, hm?"

"Aku rasa iya." Pandangan Aru beralih ke langit hitam dengan taburan bintang serta bulan purnama yang berwarna kelabu.

Begitu hening, dingin dan menenangkan. Keduanya mematung, merasakan hembusan angin malam yang menenangkan pikiran.

Tidak ada pembicaraan di antara keduanya, begitu sepi dan tenang. Tapi beberapa saat kemudian, pak Ashel berkata, "Kamu sudah melakukan yang terbaik."

"Apa maksud Bapak?"

"Ini mengenai perlombaan beberapa Minggu yang lalu," ucapnya, "beberapa orang yang mengalami kegagalan saat percobaan pertama sering kali terlalu takut untuk mencoba kembali apa yang telah diusahakan.

"Ketakutan serta rasa ketidakpercayaan diri membuat mereka tidak ingin mencobanya lagi. Terlalu larut dalam kesedihan, kemudian pada akhirnya menyerah akan mimpi yang sudah dibangun sejak dini."

"Bapak terlalu berlebihan," sela Aru, "aku mengikuti perlombaan itu karena Bapak yang memintanya."

"Meskipun begitu, saya yakin kamu merasa terluka saat kemenangan itu tidak bisa kamu raih. Terlebih lagi ketika melihat keberhasilan teman-teman di sekitar kamu." Perkataan pak Ashel, berhasil membuat Aru terkejut.

"Saya mengakui bahwa setiap manusia hanya melihat hasil akhir atas sebuah proses yang panjang. Tidak peduli bagaimana sulitnya, ataupun sakitnya, hasil akhirlah yang paling diutamakan."

Seberang JendelaWhere stories live. Discover now