4) Teman Sekelas yang Aneh

34 5 0
                                    

oOoOo

Aru seketika menghentikan langkahnya, saat sebuah sepeda berhenti tepat di sebelah kirinya. Dirinya menoleh, lalu nampak Fiko yang tengah menatapnya datar. Pria itu tidak mengeluarkan senyuman, atau sepatah kata pun.

"Selamat pagi, Fiko," sapa Aru. Sekedar basa-basi. Meski pun dirinya tahu persis, kalau Fiko tidak akan membalas sapaannya.

Gadis itu sedikit heran saat melihat teman sekelasnya itu membawa sepeda yang tidak pernah dirinya lihat sebelumnya. Padahal, beberapa hari belakangan ini, keduanya menjadi lebih sering berangkat sekolah bersama menggunakan bus.

Semenjak pertemuan itu, Aru selalu menunggu Fiko yang datang lebih lambat darinya. Bukan tanpa alasan, gadis itu hanya merasa tidak enak saat sebelumnya tidak pernah menganggap Fiko ada.

"Apa kamu butuh tumpangan?" tanya Fiko. Ini tidak terdengar seperti tawaran, namun ajakan.

Aru menatapnya heran, ia terlihat ragu. "Apa kamu yakin, bisa mengayuh sepeda sepanjang tiga kilometer sembari memboncengku?" kata Aru, dengan nada sedikit mengejek.

Fiko terdiam beberapa saat, lalu menjawab, "Aku rasa, kamu tidak akan seberat itu."

"Apa? Tidak sopan sekali," ketusnya.

Fiko menghela napas, lalu berucap, "Tidak terlalu banyak tanjakan. Tapi kalau kamu tidak mau, ya sudah." Kaki pria itu kembali naik ke atas pedal, hendak melajukan sepedanya.

Aru nampak berpikir sebelum menolaknya. Jika ikut bersama Fiko, itu akan mengurangi pengeluaran ongkos pergi ke sekolah. Itu berarti, ia bisa menyimpan uangnya untuk pergi ke mall bersama Rika nanti. Ini akan menguntungkan dirinya, dari segi mana pun.

Namun tidak bisa dipungkiri, kalau dirinya pergi bersama Fiko, akan ada beberapa orang yang memandang keduanya dengan padangan berbeda, terlebih lagi jika teman-teman sekolah mereka melihatnya. Itu adalah suatu resiko, saat Aru mengiyakan ajakannya.

Aru tidak peduli, keuntungannya lebih besar dibandingkan resiko yang dirinya dapatkan. Mungkin terdengar kurang ajar, tapi Aru benar-benar merasa terbantu dengan ajakan Fiko. Gadis itu mengangguk, lalu duduk di belakang.

"Berpegangan pada jok belakang," kata Fiko, kemudian mengayuh pedal sepedanya. Aru hanya diam, kemudian pandangannya terarah pada jalan perumahan, yang kemudian berganti menjadi jalan yang terasa asing baginya.

"Kita di mana?" tanya Aru.

"Kita lewat jalan pintas," jawab Fiko, "jika lewat jalan raya, bajumu akan bau karena asap kendaraan."

Aru hanya diam, lalu kembali memandangi pemandangan di hadapannya. Jalan yang dilalui berupa rumah-rumah pemukiman kecil yang terletak di belakang perumahan. Terdapat pesawahan dan kebun-kebun kecil. Sejujurnya, ini baru pertama kalinya Aru melewati jalan ini.

Mereka melewati jembatan yang terdapat sungai, tambak-tambak ikan dan lapangan yang luas. Angin pagi yang segar menghembuskan rambutnya, Aru begitu menikmati perjalanan ini, ketimbang harus berdesak-desakkan di dalam bus yang panas.

Kini, matanya beralih ke arah Fiko yang tengah fokus pada jalanan. Ada sesuatu yang berbeda dari pria itu, dan Aru baru menyadarinya. "Apa kamu tidak membawa biola?" kata Aru, saat tidak melihat tas biola yang biasa Fiko gendong di punggungnya.

Seberang JendelaWhere stories live. Discover now