16) yang Seharusnya Tidak Dilakukan

20 3 0
                                    

oOoOo

Fiko yang dikuasai oleh amarahnya, memukul wajah pemuda seusianya yang sama sekali tidak dikenalnya, hingga tersungkur. Orang-orang yang melihat keributan itu, menghampiri dan berusaha melerai keduanya. Aru diseret oleh seorang wanita, agar terhindar dari pertikaian itu.

"Dasar brengsek!" Fiko yang ditarik oleh beberapa orang, mengumpat pada pemuda yang sudah memiliki lebam di wajahnya. "Aku tidak akan diam saja! Aku akan melaporkanmu!"

"Ma-maafkan aku," ucapnya, lirih.

"Ini pelecehan. Kamu anak dari sekolah mana?" tanya seorang pria dewasa, pada si pelaku. Kedua pelaku akhirnya digiring oleh warga, entah ke mana.

Fiko yang mulai tenang, menghampiri Aru yang duduk bersama seorang wanita yang mengelus-elus punggungnya. Pria itu benar-benar khawatir, melihat keadaan Aru yang menyedihkan. Tubuhnya gemetaran, dengan pipi yang benar-benar basah karena air mata.

Wanita muda yang duduk di sampingnya, menyodorkan segelas air pada Aru. Tapi gadis itu tidak mengindahkannya, ia masih dalam keadaan syok.

"Maaf, biar saya yang menemani dia," kata Fiko, pada wanita itu. "Terima kasih, saya akan mengantarnya pulang." Wanita itu tersenyum, mengangguk kemudian pergi meninggalkan keduanya.

Aru masih terisak, menutup wajahnya yang berantakan. "Arunika, mereka sudah pergi. Apa kamu baik-baik saja? Tolong katakan sesuatu," ujar Fiko, yang kebingungan dengan situasi saat ini.

Ia tidak tahu bagaimana cara menenangkan temannya itu. Mengelus rambutnya? Mengusap-usap punggungnya? Memeluknya? Dirinya rasa, Aru tidak akan menyukai itu. Bahkan lebih buruknya lagi, ia akan semakin ketakutan dengan perlakuan Fiko.

Mata Fiko menangkap seorang pria berkacamata yang berjalan di trotoar seberang jalan. Itu adalah pak Ashel. Pria itu berlari, kemudian berteriak, "Mister Ashel!" Karena suara tersebut, gurunya itu sontak meliriknya, menghampirinya.

Pak Ashel heran, melihat wajah Fiko yang nampak panik serta berkeringat. "Ada apa? Semuanya baik-baik saja?" tanya pria itu.

"A-Arunika, Pak."

"Kenapa?!" Mata pak Ashel langsung menangkap seorang gadis yang duduk di kursi beton bawah pohon, menutup wajah dan menangis tersedu-sedu di sana. Tanpa mendengarkan penjelasan dari Fiko, pria itu berlari menghampirinya.

Tangan pak Ashel jatuh di lengan Aru, lalu berkata, "Arunika? Ada apa? Semuanya baik-baik saja?" tanyanya, dengan nada panik. Tapi pertanyaan itu, hanya dibalas oleh suara tangisan.

Meskipun takut dan bingung harus bagaimana cara mengatakannya, Fiko akhirnya berucap, "Arunika ... ia dilecehkan, di dalam bus."

Mendengar itu, pak Ashel melebarkan matanya. Melirik cepat ke arah Aru yang masih dalam keadaan yang sama. Pria itu duduk di samping Aru. Menarik kepala gadis itu, ke dalam dadanya. Perlakukan itu, seketika membuat tangisan gadis itu terhenti.

Fiko yang melihat itu, tak kalah terkejut. Tapi ia hanya bisa diam dan menyerahkan Aru pada pak Ashel. Dirinya yakin, gurunya itu dapat menenangkan temannya.

Aru bisa merasakan detakan jantung pak Ashel yang kini menempel di pipinya. Air mata miliknya, membasahi kemeja berwarna putih bersih milik gurunya, meninggalkan jejak basah di sana. Tangan pria itu, tepat berada di atas kepalanya. Diusapnya pelan, membuat rambut miliknya sedikit berantakan.

Seberang JendelaWhere stories live. Discover now