13) Cahaya Oranye

18 4 0
                                    

oOoOo

Aru menarik alisnya, merasa tersinggung. Apakah gurunya itu tengah mengejeknya lagi? Tanpa menatap matanya, gadis itu berkata, "Thank you."

Pak Ashel tersenyum, sedikit menutup mata dan menggelengkan kepalanya pelan. "By the way, ada sesuatu yang ... harus saya katakan. Ini kabar yang sangat baik," ucapnya, "klub Bahasa Inggris kita, sudah diresmikan. Kita sudah memiliki tujuh anggota, untuk saat ini."

Mata gadis itu menyipit, kebingungan. Klub Bahasa Inggris kita? Apa maksudnya?

"Sebenarnya, kami sudah memiliki banyak rencana, dan menyusun kegiatan klub. Hanya saja, saya tidak melihat kamu datang ke perpustakaan akhir-akhir ini, kenapa?"

Aru tersenyum kaku. "Saya ... sedikit sibuk akhir-akhir ini, Pak." Bohongnya. Bagaimana bisa ia dengan jujur mengatakan, bahwa dirinya sengaja menghindar dari tempat itu?

"Begitu. Rasanya, tidak menyenangkan berdiskusi tapi anggotanya tidak lengkap. Fiko sering datang ke perpustakaan, dia juga menyetujui untuk mengikuti perlombaan yang akan diadakan satu bulan mendatang," ucap pak Ashel, lalu melirik ponselnya.

"Lomba? Perlombaan apa?"

Tanpa menatap Aru, ia menjawab, "Mengikuti berbagai perlombaan juga merupakan program klub ini. Ada beberapa macam perlombaan, saya akan memberikan posternya, pada kamu."

"Ponsel saya di dalam, Pak."

"Ah, tidak apa. Kamu bisa membacanya nanti. Dan ya, untuk perlombaan Fiko itu, ia mengikuti lomba bernyanyi lagu bahasa Inggris."

Aru dibuat tertegun. "Benarkah?"

Pak Ashel mengangguk. "Ya, tapi ini baru rencana saja. Lagipula, pendaftarannya belum dibuka." Mata itu beralih, pada Aru yang menopang dagunya. "Datanglah, ke perpustakaan."

Gadis yang menggunakan piyama berwarna ungu itu terdiam. Apakah pak Ashel benar-benar memasukkannya ke dalam klub tanpa persetujuan darinya terlebih dahulu? Bukankah itu tindakan yang tidak benar?

Apakah ini waktu yang tepat untuk mengatakan padanya, bahwa sedari awal, Aru sama sekali tidak berniat untuk masuk ke dalam klub dan merasa bahwa, tempat favoritnya itu direbut olehnya? Memangnya, apa yang bisa dirinya lakukan, jika menjadi anggota klub di sana?

Aru merasa, ia tidak memiliki potensi apa pun. Terlebih lagi, ia benar-benar payah dalam mata pelajaran bahasa Inggris. Suasana hati pak Ashel sepertinya cukup baik, dirinya yakin, kalau ini adalah waktu yang tepat.

"Iya, Pak. Saya pasti datang." Aru menutup mulutnya cepat, setelah kalimat itu terasa keluar sendirinya.

"I'll be waiting for that," ucapnya, "good night, Arunika." Kemudian, ia berlalu begitu saja.

Aru terpaku, menatap kepergian pak Ashel yang kembali ke rumahnya. Dirinya berbalik, masuk ke dalam kamarnya dan mencari ponselnya. Gadis itu baru sadar, kalau sekarang, ia memiliki kontak pak Ashel. Ternyata benar, gurunya itu mengirim sebuah foto.

Itu nampak seperti sebuah poster perlombaan. Dengan malas, ia membanting pelan ponselnya. Entah kenapa, dirinya mengatakan setuju. Padahal semestinya, tidak pernah seperti itu. Tangannya bergerak, menutup wajahnya. Di sana, Aru mengumpat pada dirinya sendiri.

Seberang JendelaWhere stories live. Discover now