6) Bukan Kencan

39 5 0
                                    

oOoOo

Dengan stelan santai, Aru dan Rika menunggu di sebuah Kafe kecil yang berada di salah satu mall. Dengan minuman dingin yang diletakkan di atas meja, Aru bisa melihat wajah kecemasan di wajah sahabatnya, yang sedari tadi menilik kesana kemari.

Sesekali, gadis yang menggerai rambut panjangnya itu melihat ponselnya, meletakkannya di telinga, tapi tidak bersuara. Sementara Aru, yang mengikat rambutnya hanya diam sembari meminum kopi capuccino ice dengan sedotannya.

Sebenarnya, Aru sedari awal sudah mengatakan kalau sebaiknya jangan bertemu dengan pria itu. Tapi tetap saja, Rika memaksanya untuk pergi bersama dengannya. Keinginannya untuk membeli beberapa pakaian juga harus tertunda, karena menunggu seseorang yang saat ini entah kemana.

Aru melirik jam tangannya, lalu berkata, "Apa ia benar-benar akan datang?"

"Tentu saja. Ia masih di jalan."

"Kamu mengatakan itu sejak satu jam yang lalu," kata Aru, menghela napas bosan. "Jika kita sedari tadi berbelanja, mungkin ini akan selesai dengan cepat. Ini membuang-buang waktu saja." Keluhnya.

Rika setuju, dan ia merasa tidak enak harus terus membuat Aru menunggu. Gadis itu tahu, Aru bukanlah seseorang yang suka membuang-buang waktu untuk hal yang tidak pasti atau penting seperti ini. Tapi, ia juga tidak berani jika harus pergi sendiri.

"Maafkan aku," kata Rika.

Aru menatapnya, dan sedikit merasa bersalah karena mengatakan hal itu padanya. "Ti-tidak apa, aku akan menunggu satu jam lagi," kata Aru, berusaha untuk membuat temannya itu agar tidak merasa bersalah.

Tak lama, Aru melihat ekspresi lega dari wajah sahabatnya saat melihat ponselnya. Ia menyalakan flash light, lalu bangkit dari posisinya. Saat menoleh ke belakang, gadis itu mendapati seorang pria yang menyalakan flash light juga, menghampiri keduanya. Saat itu Aru sadar, kalau pria jangkung itu adalah kekasih Rika.

"Hai, Rika?" tanya pria itu.

"I-iya, aku Rika."

"Kamu ... manis sekali."

"Te-terima kasih."

Jujur, Aru benar-benar merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Tapi, ia terus menatap pria yang tengah berdiri di sampingnya ini di ujung matanya. Penampilannya bisa dikatakan biasa saja. Dengan jaket jeans yang tidak dikancing dan menampakkan kaus berwarna putih di dalamnya. Ia menggunakan celana hitam, dan sepatu tali seiras dengan celananya.

Tubuhnya tidak terlalu berisi, kulitnya putih alami dan sedikit lebih tinggi dari Rika. Aru yakin, mungkin pria ini hanya beda satu atau dua tahun dari mereka. Hanya satu yang Aru tidak suka, yaitu cara pria itu menatap Rika.

"Apa kamu sudah menunggu lama?"

"Ti-tidak. Kami baru saja datang," kata Rika, berbohong. "Ayo, duduk." Gadis itu bergeser, memberikan ruang di samping kirinya untuk diduduki pria itu. Kursi di kafe itu memang memanjang, dan saling berhadapan.

Aru masih diam, menunggu Rika kembali berbicara. Rencananya, gadis itu akan pergi berbelanja setelah Rika bertemu dengan kekasihnya. Sedekat apa pun hubungan keduanya, Aru tidak ingin mencampuri hubungan asmara temannya.

Seberang JendelaWhere stories live. Discover now