23) Batasan

24 2 2
                                    

oOoOo

Kedua remaja itu mematung di tempat, memerhatikan seorang pria berkacamata yang perlahan berjalan setelah memungut sebuah buku, yang tak sengaja dijatuhkannya.

"Selamat sore, kalian," sapa pria itu kemudian duduk di samping Fiko. Meletakkan barang bawaannya dan berkata, "Saya sarankan sebuah Kafe yang bagus untuk kalian berdua."

"Apa maksud Bapak?" sela Aru, cepat.

Respon pria itu tertawa, menutup mulutnya. "Ayolah, saya juga pernah mengalami yang namanya cinta monyet semasa sekolah. Kalian tidak perlu malu-malu di depan saya."

"Cinta monyet?" Aru nampak keheranan.

Fiko terkejut, ia membantah dengan suara datar. "Tapi ini bukan cinta monyet, Mister," katanya, dengan sedikit tekanan. "Ini cinta yang tulus."

Pak Ashel lebih dibuat terkejut lagi, saat perkataan itu keluar dari murid kebanggaannya. Sebuah senyuman lebar terukir jelas, membuat ujung matanya nampak berkerut akibat tawa. "Kalian?"

"Tid-"

"Iya." Fiko memotong, bahkan sebelum Aru menyelesaikan perkataannya. "Kami berdua pacaran, Pak."

Gadis yang berada di hadapannya ingin membantah cepat, tapi perasaan lain muncul dalam dirinya. Perasaan dimana Aru tidak bisa mengatakan tidak, atau menyangkal hal tersebut dengan alasan yang tidak diketahuinya.

"Sejak kapan?" Pertanyaan pak Ashel, membuat Aru terbangun dari lamunannya.

"Sehari sebelum kami tampil di perlombaan."

Mendadak, sebuah rekaman memori terputar di dalam kepala Aru. Di langit malam dengan rembulan yang menjadi saksi kala itu, Fiko menyatakan apa yang ada di dalam hatinya. Dinginnya malam itu, bahkan membuat si pria berkeringat karena khawatir.

Rasanya sesak, bahkan hampir terdengar isak. Aru masih terdiam, mencoba menyimak apa yang akan terjadi selanjutnya. Dirinya menangkap ekspresi Fiko yang tegas, berbanding terbalik dengan pak Ashel yang tersenyum kecil.

"Benarkah? Apa jangan-jangan ... saat malam hari? Saat kita semua menginap?" Tebak pak Ashel.

"Iya."

Pak Ashel mengangguk-angguk. "Heum ... jangan katakan kalau kalian saling berjanji untuk bertemu di suatu kelas saat malam hari, berdua, kemudian membicarakan hal ini bersama-sama."

"Tidak!" bantah Aru, agak menyentak tanda tidak terima. "Kami tidak berjanji untuk saling bertemu, itu suatu kebetulan."

"Kebetulan?"

"Ya, aku pergi ke luar untuk mencari udara segar. Aku rasa, sangat disayangkan kalau melewatkan malam di sekolah tanpa berjalan-jalan," tutur Aru, "maka dari itu, aku pergi ke rooftop untuk melihat langit di malam hari.

"Di sana ...," Mata Aru beralih pada Fiko. "Aku bertemu dengan Fiko dan ... ia ... mengatakannya."

"Mengatakan apa?"

"Mengatakan bahwa aku menyukainya," sosor Fiko. Mendengar itu, Pak Ashel hanya tersenyum.

"Tapi sungguh, Pak. Itu suatu kebetulan," ujar Aru.

Seberang JendelaWhere stories live. Discover now