24) Matamu

13 3 0
                                    

oOoOo

"Apa? Aku menyukai Pak Ashel? Itu tidak mungkin!" sentak Aru, tidak terima.

"Jangan berbohong, Aru. Aku bisa melihatnya, dari matamu."

Masih tidak menerima, Aru berkata, "Apa yang kau lihat, ha?! Jangan mengada-ada, Fiko. Aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu."

"Hubungan kita sudah berjalan tiga bulan, Aru. Dan bahkan, kau tidak pernah menatapku dengan tatapan yang sama saat bersama pak Ashel," ujar Fiko, dengan nada menurun.

Aru terkesiap dalam beberapa detik ketika menyadari bahwa waktu bergerak begitu cepat dari apa yang dirasakannya. Bukannya kembali melawan, dirinya lebih memilih bungkam dan merapikan alat tulisnya.

Merasa dirinya diacuhkan, Fiko jengkel. Pria itu memegang pergelangan tangan Aru, agar si pemilik mau beradu tatap dengannya. "Aku belum selesai bicara, Arunika."

"Apa yang ingin kau bicarakan lagi? Aku sudah melakukan apa yang biasa orang lain lakukan terhadap pasangannya. Pergi ke kantin, berangkat dan pulang, pergi berkencan. Lalu, apa lagi yang kau inginkan dariku, ha?

"Apa kau tidak puas dengan semua itu, Fiko? Apa yang sebenarnya yang kau inginkan dariku? Semua waktu yang aku berikan apa itu tidak cukup, untukmu? Jawab aku!" cecar Aru, sembari menarik tangannya hingga terlepas dari Fiko.

"Aku menginginkan apa yang kamu berikan pada pak Ashel." Tangan Fiko bergerak, menunjuk ke arah dada Aru. "Hatimu."

"Omong kosong," bantah Aru, "kenapa kamu selalu menyeret pak Ashel dalam setiap pembicaraan ini? Dia sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita."

"Kalau begitu jelaskan kenapa kamu selalu menatap pak Ashel dengan cara seperti itu."

"Apa maksudmu dengan cara seperti itu? Aku bahkan tidak tahu seperti apa aku menatapnya."

"Itulah yang tidak kamu ketahui, Arunika." Fiko mengatur napasnya, yang terasa sesak dan menghimpit dada. "Kamu tidak tahu bagaimana cara kamu menatapnya."

Mendadak, Fiko melangkah mendekat pada Aru. Awalnya gadis itu hanya diam, tapi akhirnya ia mulai berjalan mundur sesuai dengan pergerakan Fiko yang pelan namun tegas.

Sepasang mata masih beradu, tidak terputus oleh jarak yang habis termakan oleh langkah keduanya. Hingga akhirnya sampai dititik di mana punggung Aru menyentuh tembok kamarnya.

"Apa yang mau kau lakukan?" tanya Aru, dengan penekanan.

Fiko tidak menjawab, terdiam dan sedikit memiringkan kepalanya seakan menelusuri setiap sudut wajah kekasihnya tanpa make up. Jarak itu, bahkan membuat Aru bisa merasakan hembusan Fiko yang menyentuh pipinya.

"Itulah yang aku maksud." Mendadak, Fiko menarik kepalanya dan menjauh dari Aru. "Aku tidak melihat tatapan itu."

Aru jengkel, kemudian mendorong Fiko keras hingga memperbesar jarak di antara keduanya. "Cukup dengan omong kosong mu itu, Fiko. Tatapan apa yang kau maksud?! Kamu hanya cemburu, itu saja!"

"Jelas aku cemburu, Arunika. Aku menyukaimu dan aku tidak malu untuk mengatakannya pada semua orang. Aku jelas cemburu melihat bagaimana cara kamu menatap pak Ashel, mengobrol dengannya sembari tersenyum lebar seakan dia adalah alasan kebahagiaanmu.

"Apa aku tidak boleh merasa seperti itu? Bahkan, Aru berhak mengatakannya dan menegurmu itu hal itu," cecar Fiko yang sekarang sudah melewati batas kesabarannya.

Seberang JendelaWhere stories live. Discover now