12) Saudari

18 5 0
                                    

oOoOo

Di sepanjang perjalanan, suara rantai dan roda sepeda yang berputar menjadi musik alami, mengiringi perjalanan Aru dan Fiko di siang hari yang terik ini. Kedua remaja itu senyap, larut dalam pikirannya masing-masing, sama seperti biasanya. Hanya saja, peran mereka nampak berbeda hari ini.

Aru mengayuh sepeda, sementara Fiko duduk anteng di belakang, menyembunyikan wajah lebamnya di balik masker. Perutnya masih terasa sakit, tapi dirinya bersikukuh untuk pulang agar teman sekelasnya tidak mempertanyakan kondisinya saat ini.

Pak Ashel hanya mengiyakan permintaannya, dan karena baru mengetahui bahwa Aru dan Fiko tinggal di satu perumahan yang sama, gurunya itu meminta Aru untuk mengantarnya.

Sebelumnya, Aru sedikit dibuat khawatir jika pak Ashel membocorkan bahwa ia dan gurunya itu tinggal bersebelahan. Tapi sepertinya, pak Ashel bukan tipe pria yang suka membicarakan hal-hal yang tidak begitu penting. Karena tidak ingin pembicaraan terus berlanjut dan malah melenceng ke hal lain, Aru cepat menyetujuinya.

Lagipula, Aru merasa tidak perlu melakukan apa pun di sekolah. Ia tidak begitu tertarik dengan pertandingan futsal, dan teman-temannya sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Sejujurnya, Aru merasa diuntungkan. Dengan begini, ia pulang lebih awal dan bisa beristirahat.

"Kenapa kamu mengatakannya pada Pak Ashel?" Setelah lama diam, akhirnya Fiko mengeluarkan suara.

Aru sudah tahu, pertanyaan itu akan muncul dan hanya menjawab, "Aku dipaksa untuk menjawab," katanya, "apa kamu tidak mengetahui sikap Pak Ashel? Ah, menyebalkan. Aku juga sama sekali tidak menemukan alasan yang lebih bagus."

"Aku yakin, masalah ini akan merembet ke hal lain," kaya Fiko, menghela napas.

"Maksudmu? Ini hanya antara kamu dan anggota klub, kan? Siapa tahu setelah masalah ini selesai, kamu bisa kembali bergabung ke sana, dengan hati tenang."

Fiko menatap punggung gadis itu. Sesekali, rambut Aru membelai wajahnya, dan ia tidak bisa menghindarinya. "Hal ini akan merembet ke masalah keluarga."

Jawaban dari Fiko, membuat Aru menaikkan satu alisnya. "Apa? Tapi kenapa?"

"Nia. Dia adalah adik tiriku." Fiko hampir saja memeluk Aru di depannya, saat gadis itu mendadak menarik rem hingga sepeda itu terhenti di sisi jalan. "Hei! Kenapa tiba-tiba berhenti?!" Fiko berteriak kecil, menarik tubuhnya ke belakang.

Gadis itu menoleh ke belakang, membuat ekspresi tidak percaya. "Dia ... saudarimu?"

Fiko menatapnya malas, kemudian turun dari sepeda. Pria itu berjalan ke trotoar, ada sebuah pohon rindang besar, yang terdapat sebuah bangku beton di bawahnya. Aru membawa sepedanya, memarkirkannya dan duduk di samping Fiko. Keduanya berteduh, sembari menatap jalan dengan kendaraan dan orang-orang yang berlalu lalang.

Aru mengibaskan tangannya ke depan wajahnya, dirinya merasa begitu lelah membonceng Fiko. Padahal, ini baru setengah jalan. Ia melirik pria itu dari sudut matanya. "Apa semua orang tahu?"

"Aku tidak tahu," jawabnya, "ini begitu rumit. Ayah pasti akan memarahiku."

"Apa?" Aru tersentak. "Katakan saja, apa yang sudah Nia lakukan padamu, tunjukkan semua luka-lukamu itu."

"Itu tidak akan merubah apa pun," tukasnya, "mereka pasti mengira kalau aku mengada-ada. Ayah lebih mempercayai perkataan wanita, dibandingkan anaknya sendiri." Ia membuka maskernya, lalu menghela napas berat.

Seberang JendelaWhere stories live. Discover now