20) Pelukis

24 4 0
                                    

oOoOo

Pak Ashel terkejut, melebarkan matanya. Ia bisa melihat raut kekesalan dan kekecewaan dari gadis yang wajahnya memerah itu. "Hampir, tidak sepenuhnya kan?"

Aru mengangguk. "Aku ... sempat memberi jeda dipertengahan paragraf. Karena gugup ... aku melupakannya dan ... aku tidak masuk ke dalam sepuluh besar."

Pria itu tersenyum kecil, tangannya kembali mengelus bahu Aru lembut. "Tidak apa, itu hal yang biasa. Kamu sudah melakukannya dengan sangat baik," ucapnya, menenangkan. "Tidak perlu memaksakan diri. Kamu sudah berhasil melakukannya. I'm so proud of you."

Aru menatap pak Ashel kagum. Matanya berkaca-kaca dan sedikit berkilauan karena sinar matahari yang mengintip dari sela pepohonan. "Maaf sudah mengecewakan Bapak."

"Sama sekali tidak," balas pak Ashel, "saya akan merasa kecewa jika sedari awal kamu tidak mau menerimanya. Tapi kamu berani, dan bersedia. Kamu patut dibanggakan."

Ia kembali tersenyum, tangannya berpindah ke atas kepala Aru, mengusapnya seperti seorang kakak laki-laki kepada adik perempuannya. "Jangan menyerah, masih ada kesempatan dilain waktu. Okay?"

Gadis itu tersentak, kembali dibuat terkejut dengan perlakuan guru itu padanya. Ia hanya menundukkan kepala, tanpa menolak perlakuan pak Ashel padanya. "Ba-baik, Pak."

"Omong-omong, kamu dan Alex tidak sempat melihat penampilan Fiko dan Dina, kan? Tapi saya sudah merekamnya!" Dengan wajah antusias, pak Ashel menunjukkan ponselnya. "Dan kamu tahu? Keduanya masuk ke tiga besar, dan akan tampil lagi Minggu depan!

"Jadi, kita harus datang lagi, untuk mendukung mereka." Pria itu tersenyum lebar, hingga menampakkan gigi-gigi putihnya.

Aru nampak senang dengan kabar itu. Tapi jujur, di dalam hati kecilnya ia merasa sakit. Perasaan bahagia, iri, kesal dan kecewa menguasai dirinya. Ia kecewa pada dirinya sendiri, tapi bahagia karena pencapaian kedua temannya.

"Te-tentu, aku akan mendukung mereka." Mendadak, Aru teringat dengan percakapannya dengan Fiko semalam. Karena kesibukan dan pikirannya penuh dengan kekhawatiran untuk hari ini, gadis itu hampir melupakannya.

Saat menoleh ke arah samping kanan, matanya tidak sengaja menangkap seorang pria yang berdiri tak jauh darinya. Aru terkejut, begitu melihat Fiko ada di sana. "Fiko?" Pak Ashel yang mendengar itu juga menoleh.

Pria itu berjalan cepat, menghampiri Aru yang berdiri membelakangi dinding, dengan pak Ashel di hadapannya. "Saya mencari Mister ke mana-mana," kata Fiko, kemudian melirik Aru. "Apakah Arunika sudah selesai?"

"Sudah selesai. Semuanya berjalan lancar. Ya kan, Arunika?"

Aru paham maksud pak Ashel, kemudian mengangguk pelan. "Ya, semuanya lancar."

"Syukurlah." Fiko menatap Aru, ada rasa curiga di matanya. "Apa yang kalian lakukan di sini?"

Pak Ashel terkejut dengan pertanyaan itu. "Berbicara mengenai penampilanmu tadi," jawabnya, "ayo, kita kembali ke taman." Setelah mengatakan itu, pak Ashel berlalu. Meninggalkan Fiko dan Aru yang masih diam di tempatnya.

Fiko menatap Aru dengan ekspresi datar. "Aku tahu kamu tidak baik-baik saja. Apa yang terjadi di dalam sana?"

"Aku baik-baik saja. Jangan terlalu dipikirkan."

Pria itu menghela napas. "Kamu tidak bisa berbohong padaku, Arunika." Kaki Fiko melangkah, mendekat ke arah gadis itu. Sekarang, keduanya berdiri berhadapan dan saling memandang.

Seberang JendelaWhere stories live. Discover now