6. Villa para peri

248 178 647
                                    

Chapter 6
🌻Villa para peri🌻

Rumput-rumput tajam yang baru tumbuh menusuk-nusuk telapak kaki Caramel walaupun ia memakai sepatu tipis dari tulip putih. Ia sudah turun dari rumah pohon kepala desa Pak Javon, dan kini berjalan di jalan setapak menuju kediaman para peri. Sebelumnya Aveline berjanji akan membantunya mendapatkan peri.

Terik matahari membakar kulit Caramel yang berwarna coklat, sedangkan kulit Aveline yang sepucat kerang memerah. Keringat menetes dari dahi mereka. Panas merambati tengkuk dan belakang lutut Caramel. Tapi anehnya, Lilia tidak kelihatan terganggu akan panasnya cuaca. Peri itu tetap mengepakkan sayapnya dengan lancar di atas bahu Aveline.

Seekor kumbang menyapa Aveline, "Halo, Aveline." Di atas tubuhnya terdapat nampan dengan botol-botol minuman segar.

Aveline tersenyum dan balas menyapa.

"Kalian kelihatan kelelahan. Apa kau mau ambil minuman ini untukmu dan temanmu itu?" tanya si kumbang dengan warna merah mencolok dan bintik-bintik hitam itu.

"Ah, terima kasih banyak," kata Aveline, lalu mengambil dua botol minuman dingin rasa jeruk. "Ini untukmu, Mel." Aveline menyerahkan satu pada Caramel.

"Terima kasih," kata Caramel.

"Kalian sedang mau ke mana?" tanya kumbang itu.

"Ke villa para peri," jawab Aveline.

"Baiklah, hati-hati."

Caramel dan Aveline meminum minuman mereka. Bulir-bulir jeruk berseluncur masuk ke tenggorokan. Caramel mendesah lega. Kumbang itu benar-benar penyelamat mereka. Kalau saja tidak diberi kesegaran, Caramel rasa ia akan jatuh pingsan tidak lama lagi.

Setelah kumbang itu pergi, Aveline mengajak Caramel untuk masuk ke jalanan yang lebih kecil. Di sekeliling mereka terdapat tumbuhan-tumbuhan tinggi yang melindungi mereka dari sinar matahari. Jalanan sangat berbatu dan licin. Caramel melangkah dengan hati-hati, melewati tanah becek yang berlumpur. Sayang sekali sepatunya berwarna putih. Kalau Ibu ada di sini, dia pasti akan mengomel dan menyuruh Caramel untuk tidak melewati jalan ini lagi. Yah, cinta Ibu yang tiada tara.

Caramel jadi kepikiran soal Ibu lagi. Rasa cemas mencengkeram dada Caramel saat membayangkan bagaimana jadinya kalau Cassiopeia ikut mengalami kerusuhan seperti yang terjadi di kota-kota tetangga. Caramel harus buru-buru mempelajari Arcadia dan mencari tahu soal ayahnya.

Keluar dari jalanan yang sempit itu, Caramel menemukan sungai panjang dan besar. Air mengalir jernih di antara batu-batu, meliuk-liuk dengan halus seperti tarian pedang dan nyanyian kerinduan. Suara gemericik air memenuhi lingkungan, terdengar tenang dan nyaman, mengingatkannya pada rintik hujan di atas genteng saat sore hari.

 Suara gemericik air memenuhi lingkungan, terdengar tenang dan nyaman, mengingatkannya pada rintik hujan di atas genteng saat sore hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Caramel dan Aveline berjalan di pinggir sungai. Air yang sewarna pirus beriak di sampingnya, memantulkan cahaya matahari terang yang hampir membutakan mata. Sesekali Caramel mencelupkan kakinya ke dalam sungai, mencucinya dari tanah yang mengotori sepatunya tadi. Sekarang sepatu tulip putih buatan Ayah terlihat lebih bersih, walaupun yah ... basah kuyup. Paling tidak Ibu tak akan menyesal menyuruhku ke sini.

As Sweet As Caramel Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang