7. Gadis pembuat onar

228 171 557
                                    

Chapter 7
🌻 Gadis pembuat onar🌻

Perjalanan pulang Caramel menuju rumah jamur Nenek Ingrid cukup melelahkan. Hari menjelma menjadi sore. Matahari berseluncur lebih cepat dari yang bisa Caramel bayangkan. Namun selelah apa pun Caramel, ia merasa cukup bahagia. Petualangannya hari ini dapat menggantikan hari-hari sebelumnya yang menyedihkan saat ia mengurung diri di kamar dan menangis.

Stone, peri lelakinya yang berambut silver terbang di atas bahunya. Sayapnya yang memancarkan cahaya emas mengepak dengan santai. Caramel hampir bisa merasakan emas itu berjatuhan di bahunya, menggelitik dan sedikit dingin.

Caramel tak percaya kini ia sudah punya peri. Dan walaupun bukan Caramel sendiri yang memilih, ia tetap bersyukur bisa mendapatkan peri. Stone memang terlihat sedikit kaku dan canggung, tapi Caramel yakin itu karena dia masih baru. Mereka belum mengenal satu sama lain dengan jauh. Caramel harap Stone dapat bersikap menjadi lebih santai padanya. Karena meskipun dia peri, Caramel tetap ingin berteman dengannya layaknya dia berteman dengan manusia lainnya.

Mereka sudah sampai pedesaan lagi, melihat perumahan yang terbuat dari pohon dan jamur, merasakan ramainya penduduk Arcadia yang sedang melakukan aktivitas keseharian mereka, sementara mentari menyorotkan sinar jingga yang terang dan menyilaukan seakan Arcadia adalah panggung teater dan mereka adalah pemain yang sedang memainkan peran.

Saat hampir sampai rumah, seseorang datang menghampiri Caramel dan teman-temannya. Caramel masih ingat gadis itu. Gadis cantik berambut merah muda yang melihat keributannya dengan Marvin.

“Feather?” kata Aveline.

Satu sudut bibir Feather terangkat, sulit untuk menentukan apakah itu sebuah senyuman yang tulus. Ada peri lelaki berambut biru yang terbang di sampingnya. Rupanya Aveline tidak berbohong saat mengatakan kalau setiap orang di Arcadia memiliki peri.

“Haiii...” sapa Feather, bersikap terlalu ramah. “Apa kabar Ave, Lilia?”

Lilia menyilangkan tangan sementara Aveline menjawab dengan sedikit dingin, “Baik. Kau mau apa?”

Caramel terkejut mendengar nada bicara Aveline yang terkesan tidak peduli. Mungkin itu hanya karena Caramel belum mengenal Aveline dengan dalam, tapi dia merasa kalau Aveline bukan tipe orang yang gampang melontarkan sikap sinis. Selama Caramel mengenalnya—yaitu satu setengah hari—tak pernah ia mendapatkan perilaku Aveline yang tidak mengenakkan. Gadis itu sangat baik. Bahkan ketika bicara dengan Elowyn si kelinci yang garang.

Bibir Feather langsung menyungging ke bawah. “Awww... Padahal tadi aku bertanya baik-baik. Kenapa kau bertanya dengan ketus begitu?”

Aveline menghela napas seolah frustrasi. “Aku tidak ketus. Aku hanya bertanya apa maumu.”

“Aku hanya mau berbincang-bincang saja kok. Kalau kau tak mau tak apa. Aku bisa pergi dari sini.”

“Ya sudah sana pergi!” pekik Lilia.

Feather tampak tersinggung. Ia lalu menatap peri miliknya, seakan memberi kode.

“Hei, kalau bicara tolong dijaga,” kata peri lelaki milik Feather.

“Hmmph! Tak usah ikut campur kau, Banyu.”

“Sudah-sudah,” kata Aveline, menghentikan pertikaian Lilia dan Banyu.

“Baiklah,” ucap Feather. “Aku pergi saja.” Baru berjalan satu langkah, Feather lalu berhenti di depan Caramel dan memerhatikan wajahnya, seakan ia baru menyadari kehadiran Caramel. “Kau bukannya gadis pembuat onar kemarin?”

Caramel mengangguk canggung. Sekarang dia akan dicap sebagai pembuat onar. Padahal yang dilakukannya hanyalah masuk ke Arcadia tanpa izin. Dan sebenarnya Caramel menyalahkan Marvin untuk itu. Mana dia tahu kalau ingin masuk ke Arcadia dia harus meminta izin.

As Sweet As Caramel Donde viven las historias. Descúbrelo ahora