23. Dewa angin

72 26 292
                                    

Chapter 23
🌻Dewa angin🌻

Dewa angin. Zephyr memilih namanya sendiri dari dewa angin, Zephyr. Ibunya ogah memberikannya nama, sedangkan kakaknya sendiri diberikan segalanya. Sejak kecil Zephyr sudah makan asam garam kehidupan. Ibunya ogah memberikannya makanan asli yang lezat. “Kau anak cadangan,” kata Ibu. Zephyr kecil tak mengerti apa artinya itu. Tapi, sekarang dia tahu maksudnya. Dia tak pernah diberi kasih sayang ibunya, dicintai layaknya kakaknya, dihormati seperti manusia pada umumnya, diajak bermain seperti anak-anak lainnya. Namun, itu tak lagi penting. Kini usianya melebihi rata-rata manusia normal. Kecerdasannya juga di atas rata-rata. Begitu pula kekuatannya. Dengan satu mantra sihir dia mampu merobohkan sebuah pasukan dan meratakan sebuah desa hingga menyatu dengan tanah. Tapi, Zephyr tidak sejahat itu. Dia punya hati nurani. Hal paling mendasar yang harus ada dalam diri tiap manusia adalah hati nurani, katanya pada diri sendiri. Jadi, dia hanya akan bicara baik-baik pada warga di sini untuk memberikannya takhta yang sejak awal memang sudah menjadi miliknya. Jika mereka tak mau ... yah ... dia terpaksa akan melakukan opsi selanjutnya yang tidak akan terlalu banyak menggunakan hati nurani.

🍄🍄🍄

Awalnya Aveline mengira suara itu datang dari atas. Dia sudah mendengar soal penyerangan ini. Aveline dan Lilia sendirian di rumah, sembunyi dalam bayang-bayang ketakutan dan kengerian yang mencekam. Orangtuanya berada di kantor kepala desa, pasti sedang berembuk untuk memikirkan rencana selanjutnya.

Suara itu muncul lagi. Kali ini Aveline yakin datangnya dari pintu rumah. Ia mulai mendekati pintu.

“Ave, jangan!” kata Lilia.

Pintu itu diketuk-ketuk dan kemudian suara yang familier terdengar di baliknya, “Ave, cepat buka!” itu Rocky.

Sontak Aveline membuka pintu. “Rocky? Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau baik-baik saja?”

Namun, luka yang menganga di perut Rocky terlihat begitu parah. Darah merah segar mengalir sampai ke kaki lelaki itu.

Aveline menutup mulut, tidak percaya apa yang dilihatnya. “Astaga.... Ayo, masuk,” kata Aveline sambil membantu Rocky berjalan.

Rocky duduk perlahan di sofa empuk ruang tamu. Pakaian khusus penjaga desanya berantakan. Tubuhnya penuh luka goresan. Ia tak henti-hentinya meringis kesakitan. Bau anyir darah tercium dari perutnya yang terluka parah.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” Aveline menangis.

“Jangan menangis, Ave. Aku baik-baik saja.”

Aveline menggelengkan kepala. Rocky memang terkenal kuat dan pemberani, tapi ini sudah kelewatan. Tidak ada yang ‘baik-baik’ saja dari tubuh lelaki itu. “Tidak. Kau tak baik-baik saja. Lilia, tolong ambilkan semangkuk air dan kain.”

Kemudian Aveline membersihkan luka Rocky dan membalutnya dengan kain di sekitar perutnya. Dia tak punya alat medis yang lengkap, jadi dia hanya melakukan sebisanya. Aveline terus menangisi Rocky. Padahal lelaki itu tidak sedikit pun meneteskan air mata. Alih-alih menangis, Rocky malah tersenyum sambil menggenggam tangan Aveline dengan erat. Aveline tahu Rocky berusaha untuk menghiburnya, tapi dia tidak mungkin bisa memberikan senyuman pada lelaki itu jika situasinya tetap seperti ini.

“Tolong berikan aku penjelasan tentang apa yang terjadi,” pinta Aveline sambil menangis tersedu-sedu.

Rocky mengelap air mata Aveline menggunakan ibu jarinya. “Sayang, jangan menangis. Di luar situasi sedang kacau, tapi aku akan sembuh. Aku yakin itu. Aku hanya membutuhkanmu dan, dan a-aku—“ belum selesai bicara, kepala Rocky terjatuh di atas pundak Aveline.

As Sweet As Caramel Where stories live. Discover now